1.11.2014 | By: Fairynee

READING CHALLENGE: RECEH UNTUK BUKU 2014

Biasanya sehabis berbelanja, saku saya penuh dengan uang receh. Receh-receh tersebut tertumpuk di atas lemari, karena untuk membawanya dalam dompet cukup merepotkan. Tak jarang pula, receh-receh tersebut tercecer. Karena itu saya ingin "sedikit" mendisiplinkan diri untuk mengumpulkan receh-receh tersebut.
 
Tantangannya sederhana. Kamu hanya perlu mengumpulkan uang receh dari Januari-Desember. Jangan dihitung sampai akhir tahun 2014
Setelah semua uang terkumpul, belikan buku yang kamu inginkan/bukunya dihadiahkan ke orang lain. Buat posting mengenai challenge ini di blog masing-masing (tidak harus blog buku) kemudian masukkan link dari postingan kamu di mr.linky
 
Terakhir, pasang banner Receh Untuk Buku
 
 
10.19.2012 | By: Fairynee

AN OCEAN APART





Now we are together, sitting outside in the sunshine
But soon we'll be apart and soon it'll be night at noon
Now things are fine, the clouds are far away up in the sky
But soon I'll be on a plane and soon you'll feel the cold rain

You promised to stay in touch when we're apart
You promised before i left that you'll always love me.
Time goes by, people cry, everything goes too fast.


Now we have each other enjoying each moment with one another
But soon I'll be miles away and soon the phone will be our only way

You promised we'll never brake up over the telephone
You said our love was stronger than an ocean apart
Time goes by and people lie, everything goes too fast.

Let's not fool ourselves in vain, this far away trip will give us pain
We'll have to be so strong to keep our love from going wrong
Distance will make us cold, even put our love on hold
But soon we'll meet again and soon it'll be bright at noon again

You promised not to loose faith in our love when i'm away
You promised so much to me but now you've left me
We go by and then we lie all this time we wasted
Time goes by, people lie everything goes too fast.

Time went by, and then we died, everything went too fast.



(Ost. Before Sunset, by Julie Delpy)
8.20.2012 | By: Fairynee

TAMU

Semestinya dia tidak perlu merasa heran melihat pria itu berdiri di muka pintu rumahnya sore ini. Bukankah sebelumnya pria itu juga sering berkunjung, hampir tiap minggu, meski bukan untuk mengunjunginya secara khusus. Tapi itu dulu, pikirnya. Saat ini pria itu sudah tidak memiliki alasan untuk kembali memencet bel rumahnya, tepatnya sejak sebulan yang lalu. Itu sebabnya dia sampai mengerutkan kening melihat kemunculan pria itu lagi.


“Boleh aku masuk?”

Dia tergagap, menyadari kalau sedari tadi hanya memandang tajam ke arah tamunya itu, tanpa mengatakan apa-apa, apalagi mempersilahkannya masuk. Dia mengangguk, menyingkir sedikit ke samping, dan membuka pintu lebih lebar. Pria itu tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih, lalu melangkah masuk. Dia masih diam, menutup pintu, dan mengikuti langkah pria itu dari belakang dengan ragu.

Mereka memasuki ruang tamu. Meski terlihat berantakan, dia tidak berusaha merapikannya. Di atas sofa bermotif animal print tergeletak bantal dan selimut sembarangan. Sementara di atas meja, ada beberapa gelas, botol wine, dan kotak pizza yang isinya tinggal separuh yang dipesannya semalam. Belakangan ini dia lebih memilih tidur di sofa sambil memandangi televisi yang terus menyala ketimbang di kamarnya sendiri. Rumahnya seperti sudah lama tidak dihuni. Jendela tertutup, kotak surat tidak diperiksa, bahkan rumput di halaman depan tidak dipangkas. Hanya suhu air conditioner yang disetel lebih rendah dari biasanya yang menunjukkan kalau rumah ini masih dihuni olehnya.

“Apa kau baik-baik saja?”

Dia tahu, pertanyaan itu cuma basa-basi. Hampir sama ketika dulu dia menyapa pria itu setiap kali membukakan pintu. Tetapi dulu dia hanya perlu mengucapkan sapaan, hai apa kabar, memanggil Ryan, lalu melakukan aktivitasnya, seperti menonton program memasak di televisi, membaca novel yang baru dibelinya dari bazaar Gramedia di dekat kantornya, atau menyelesaikan calon novelnya yang sudah memasuki usia satu tahun namun tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Sekarang dia bingung bagaimana menyambut tamunya ini.

Pria itu melangkah menuju dapur. Dia terus mengikutinya. Sebenarnya dia ingin mencegah ketika pria itu mencari sakelar lampu dan menekannya. Ruangan mendadak terang. Mereka bisa memandangi setiap sudut dapur, yang kondisinya tidak bisa dikatakan lebih rapi dari ruang tamu. Ruangan ini menyatu dengan ruang makan, sehingga aktivitas masak memasak dapat terlihat jelas dari meja makan. Perabot tidak banyak. Hanya meja bundar dengan perkakas makan tersusun di atasnya, kulkas dua pintu, dan lemari gantung penyimpan berbagai jenis peralatan masak. Peralatan masak yang dimilikinya tergolong lengkap dan bagus, tapi dia sudah jarang memakainya. Sebenarnya dia hampir tidak pernah memakainya. Seingatnya, dulu dia membeli semua itu bukan untuk digunakan olehnya sendiri.

Pria itu berhenti, membalikkan badan, lalu memandang ke arahnya.

“Sudah makan?”

Dia tidak tahan berlama-lama membalas tatapan itu. Alih-alih menjawab, dia malah menggeser salah satu kursi, lalu duduk sambil melipat tangan di atas meja makan.

Pria itu tidak bertanya lagi atau meminta jawaban atas pertanyaannya, berjalan lurus, lalu membuka jendela yang langsung mengarah ke lapangan. Mungkin hampir satu minggu-dia tidak ingat persis-tidak membuka jendela, tidak juga menggosok bak cuci, menyalakan kompor, atau menata meja. Roti yang dibeli ibunya di supermarket ketika berkunjung seminggu lalu sudah membusuk, dan telah memenuhi keranjang sampah di bawah bak cucinya. Pria itu memandang ke luar jendela, pada sekelompok anak yang bermain sepak bola. Suara mereka riuh rendah. Hampir sepuluh menit, mungkin juga lebih, dia tidak menghitung. Sementara langit terlihat semakin pucat.

“Aku lapar. Kau juga pasti belum makan.”


Dia merasa tersinggung. Mendadak dia ingin menghardik pria itu keluar dari rumahnya segera. Beberapa menit yang lalu pria itu berdiri di muka pintu rumahnya, bertanya kabarnya, lalu sekarang seenaknya berkata kalau dia lapar, dan tanpa merasa bersalah pula membongkar-bongkar isi kulkasnya.

Kenapa mencari makanan di rumahku? Apa perempuan itu sudah bosan memasak untuknya setiap hari? Atau jangan-jangan dia merasa bosan mencicipi masakan buatan perempuan itu, dan ingin mencari sedikit selingan?

Itu sangat tidak mungkin. Dia ingat, dulu setiap kali Ryan pulang dari rumah mereka, dia selalu bercerita dengan penuh semangat mengenai menu makanannya. Dengan suara cadelnya, Ryan bilang, menu makanannya selalu berbeda setiap minggu, dan kesemuanya sangat enak. Tapi dia tidak akan berpikir sejauh itu bila pria itu tidak berada di hadapannya sekarang, membuka jendela dapurnya dan mengacak-acak isi kulkasnya.

Tampaknya pria itu tidak menemukan apa-apa, selain dua bungkus mie instan, sedikit mentega, dan tiga butir telur ayam ras. Beberapa bumbu dapur yang sudah layu dalam keranjang yang digantung di dekat lemari penyimpanan peralatan masak.

Persediaan makanan yang dibeli Ibunya seminggu yang lalu telah habis. Sebagian besar isinya terbuang ke keranjang sampah, atau terpaksa dimasak sendiri ala kadarnya demi memenuhi janji pada ibunya untuk makan teratur. Terkadang dia merasa ibunya terlalu cerewet, tidak pernah benar-benar menganggapnya dewasa, dan masih saja memperlakukannya seperti ketika pertama sekali masuk sekolah. Bertanya ini itu yang sebenarnya tidak perlu dikuatirkan. Bahkan sehari sesudah kepulangan ibunya, telepon terus berdering, dan dari seberang ibunya selalu mengingatkan tentang banyak hal, terutama pola makan dan istirahat yang teratur.


Kompor dinyalakan. Lalu bunyi pisau beradu dengan papan talenan. Tak berapa lama, bau harum bawang merah dan bawang putih yang ditumis dengan mentega bergantian menyerbu hidungnya. Dia masih terpekur sambil bertopang dagu, memperhatikan punggung pria itu yang bergerak-gerak dengan cepat. Sama sekali tidak berubah, pikirnya. Sejak dulu selalu saja cekatan memasak.

Dulu dia juga suka duduk tenang di kursi ini sambil memandangi pria itu memasakkan sesuatu untuk mereka berdua. Sepulang kantor atau ketika akhir pekan. Sup sayur, spaghetti, nasi goreng, omelette keju, atau hidangan lainnya. Berbagai jenis hidangan dari berbagai negara, dan kesemuanya sangat enak.

“Makanlah,” kata pria itu beberapa menit kemudian sambil menenteng dua piring mie goreng instan dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu menghidangkan omelette. Pria itu menuang air mineral dingin dalam dua gelas, menggeser kursi, dan duduk persis di hadapannya. Dia masih berdiam diri, memperhatikan pria itu yang mulai makan dengan lahap.
Pria itu berhenti makan, dan memandang ke arahnya.

“Makanlah, aku yakin kau belum makan apa-apa sejak pagi tadi.”

Dia mengangguk saja, tapi pria itu terus menatapnya, tidak memberinya kesempatan untuk beralasan. Dengan malas dia mengambil sendok lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya yang sejak sebulan lalu lebih banyak disentuh wine dan makanan siap saji yang dipesannya lewat telepon. Dia memang sedang tidak ingin keluar rumah atau bertemu banyak orang yang menurutnya sengaja memakai topeng simpati ketika berpapasan dengannya. Bahkan minggu lalu dia telah mengajukan surat permohonan cuti, dan berencana menghabiskan seluruh jatah cutinya tahun ini, meski tidak kemana-mana.


Tidak bisa dipungkirinya, makanan itu lumayan enak. Dia menikmatinya. Suara sendok mereka yang beradu dengan piring mengusik keheningan. Dari bingkai jendela yang terbuka, malam turun perlahan. Anak-anak yang bermain bola tadi sudah tidak terlihat.

***

Mereka selesai makan bersamaan. Entah bagaimana caranya pria itu bisa menyesuaikan ritme makannya sehingga dia tidak didahului, dan tidak punya alasan untuk berhenti sebelum menghabiskan seluruh makanan di piringnya.

Di depan bak pencucian, mereka berdiri berdampingan. Tadi dia tidak membiarkan pria itu mengangkat piring yang dipakainya. Mereka tidak mengatakan apapun. Hanya suara air mengalir, dan desah napas mereka yang sesekali terdengar.

Pria itu memaksanya untuk ikut membersihkan ruangan ini. Dia merasa tidak enak jika hanya duduk memperhatikan pria itu mencuci seluruh peralatan makan yang berdebu, membuang sampah ke bak sampah yang tidak jauh dari rumahnya, mengepel lantai, dan menata meja makan. Untung saja pria itu tidak berniat memotong rumput.

“Buat apa kau kemari?” tanyanya ketika mereka sudah tidak melakukan apa-apa, hanya duduk berhadapan dan saling berdiam diri di meja makan.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku baik-baik saja, cuma lagi males terjebak kemacetan, apalagi mengurusi proyek yang lama-kelamaan terasa membosankan.”

“Bukankah kau menyukai pekerjaan itu sejak dulu?”

Entah mengapa dia merasa pertanyaan barusan lebih mirip ejekan. Seperti penegasan kalau pilihan yang pernah dibuatnya itu memang kesalahan terbesar.

“Sekarang tidak lagi,” katanya dengan suara datar.

“Kau baik-baik saja?” ulang pria itu, kali ini dengan sedikit penekanan.

“Tentu saja,” katanya dengan suara mendadak tinggi. Dia tersinggung, sejak dua minggu yang lalu, orang-orang selalu mengajukan pertanyaan serupa, seolah-olah dia tidak pantas lagi dipercayai untuk menjaga dirinya sendiri.

“Tapi kau terlihat berantakan.”

“Maksudmu? Aku baik-baik saja, dan akan terus baik-baik saja.” Tapi dia tahu, pria di hadapannya ini tidak akan mempercayai ucapannya. Dengan rambut kusut seperti sekarang, muka berminyak, bibir kering dan pecah-pecah, bahkan daster yang dikenakannya semalam belum juga diganti, siapa pun tahu kalau dia tidak dalam kondisi baik.


“Oh, memang aku terlihat sedikit berantakan, tapi aku baik-baik saja. Hanya sedikit malas, maksudku bosan…” ralatnya dengan nada tidak yakin. “Terima kasih, dan aku pikir, sebaiknya kau pulang saja sekarang. Sudah malam.”

Pria itu menghela napas. Tidak menyahut. Padahal dulu setiap kali suaranya meninggi maka akan disambut suara meninggi pula. Lalu mereka bertengkar, mempermasalahkan banyak hal, saling menuding, dan mengungkit kesalahan masing-masing. Dulu dia sempat menyesali keputusannya menikah, karena ternyata mereka memiliki banyak sekali perbedaan, jauh dari yang dapat dia bayangkan sebelumnya.

Pria itu menaruh bungkus rokok yang dikeluarkannya dari saku di atas meja, tapi tidak menyulutnya.

“Aku mengerti perasaanmu saat ini.”

“Kau tahu apa? Kau tidak mengerti apapun!”

“Aku juga masih mengingatnya sampai sekarang.”

Kepalanya serasa berputar.

“Kau tidak ada di sana, tidak menyaksikan semua kejadian dari awal.” Suaranya parau, seperti tersedak bebijian sebesar kelereng. Dadanya serasa mau meledak, seperti ada yang menaruh bom di sana.

“Tapi aku juga merasa kehilangan,” kata pria itu. “Kita sama-sama kehilangan.”

“Tapi aku yang telah menyebabkan semuanya.”

Dia tidak tahan lagi. Dadanya berguncang hebat. Mendadak dia menyaksikan kembali peristiwa mengerikan itu. Ryan, mobil yang melaju kencang, lalu teriakan paniknya saat melihat Ryan berlumuran darah.

Dia menjatuhkan kepala di kedua tangannya yang tertangkup di atas meja. Air matanya mengalir cepat.

Pria itu tidak menyalahkannya. Tapi justru itu, dia merasa muak dengan wajah simpati dan kata-kata yang berusaha menghiburnya. Dia tahu, mereka berdusta dengan berpura-pura tidak menyalahkannya atas semua hal buruk yang telah terjadi.

Bahunya disentuh. Dia masih menangis. Pundaknya ditarik perlahan. Semula dia berontak, tapi pegangan di pundaknya tidak melemah. Mungkin kesedihan tak terhingga telah mendorongnya meletakkan kepala di pelukan pria itu. Mungkin karena dia merindukan sentuhan seperti itu, atau mungkin tidak kedua-duanya. Dadanya semakin sesak. Dia meraung. Kedua tangannya merangkul pria itu dengan erat, sampai dia susah bernapas.

“Aku yang menyebabkan semuanya ini. Aku yang membuat Ryan meninggal.” Lidahnya terasa asin.

Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya memeluknya. Dia semakin membenamkan wajahnya. Meski hidungnya terasa penuh, tapi dia sempat mencium aroma pria itu. Wewangi kayu-kayuan bercampur keringat.

Sudah lama sekali dan kini tiba-tiba dia merindukan pelukan itu. Terakhir kali ketika mereka bertemu di rumah sakit. Pria itu datang tepat ketika dokter keluar dari IGD. Tubuhnya melemah dalam pelukan pria itu saat mendengar perkataan dokter. Sekarang, satu per satu, dia bisa mengingat jelas pelukan-pelukan sebelumnya yang lain. Ketika dokter mengucapkan selamat atas kehamilannya, ketika mendapat pekerjaan yang bagus, atau ketika dia panik karena demam Ryan tidak juga turun. Tapi saat prosesi pemakaman, dia tidak mau menemui pria itu apalagi memeluknya. Dia hanya berdiri mematung dengan kaca mata hitam besar. Tidak juga menyahut ketika perempuan yang datang bersama pria itu mengucapkan turut berduka. Dia juga ingat, ketika keputusan hakim dibacakan, dia menolak untuk menemui pria itu, dan bergegas pulang bersama Ryan.

Tapi saat-saat seperti ini dia tidak mau sendirian. Dia lelah memandangi foto Ryan dan menangisinya. Dia sangat kesepian. Ryan sudah tidak ada dan dia tidak mau mati mengenaskan dalam kesepian.

Pelukannya masih erat. Sekarang dia tidak bisa mengingat apa yang menyebabkan mereka tidak bersama lagi, selain perasaan tidak suka yang berlebihan terhadap perempuan yang datang bersamanya ketika prosesi pemakaman. Justru dia merindukan sisa-sisa keringat yang melekat di kemeja pria itu, percakapan seusai bercinta, atau perdebatan mereka mengenai banyak hal. Bahkan kalau ingin jujur, belakangan dia lebih memilih tidur di atas sofa sambil menonton pertandingan sepak bola tengah malam karena ingin merasakan keberadaan pria itu bersamanya di sana.

Dia menengadah, memandang dirinya dalam bola mata pria itu. Terlihat sangat berantakan. Pipinya cekung dan rambutnya sangat kusut. Tapi dia tidak bisa melihat bagaimana bentuk matanya setelah menangis di sana. Maka dia mendekatkan wajahnya, memandang bola mata itu lekat-lekat hingga bisa merasakan terpaan napas hangat di wajahnya.
***


Dia terbangun. Bukan di sofa animal print di ruang tamu seperti malam kemarin. Cahaya matahari menerobos lewat gorden jendela besar kamar tidurnya. Dia melihat ke samping, pria itu tertidur pulas.

Dia beringsut, menendang selimut tebal yang menutupi tubuhnya, meraih daster lusuhnya yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya dengan sembarangan. Dia melirik jam weker di atas meja, di samping ranjangnya. Pukul tujuh pagi.

Dipandanginya pria itu lagi yang tertidur dengan menyembunyikan sedikit wajahnya di balik bantal yang dipakainya tadi. Persis Ryan, pikirnya. Tanpa disadarinya dia tersenyum tipis.

Dia beranjak, melangkah menuju dapur dengan bertelanjang kaki. Tidak berniat mencari sandalnya yang mungkin tersuruk di kolong ranjang. Dia merasa haus, mungkin karena terlalu banyak menangis semalam.
Sepanjang melangkah, dia mengingat-ingat kembali peristiwa semalam. Bagaimana dia menangis meraung-raung dalam pelukan pria itu, memintanya untuk tidak pergi, lalu mereka berciuman dalam waktu yang sangat lama. Sampai dia susah bernapas.

Dia membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral, menuangnya ke dalam gelas lalu meneguknya dengan cepat. Setelah itu dia duduk terpekur, memandangi embun air di dinding gelas. Tapi hanya sebentar. Dia merasa harus membangunkan pria itu sekarang dan segera menyuruhnya pulang.

Dia bangkit, menyeret langkah menuju kamar tidur. Di lorong, dia berhenti sebentar, memandangi lukisan hasil karya Ryan ketika mengikuti lomba melukis dan mewarnai di sekolahnya. Ryan membuat gambar dua orang dewasa dan anak kecil, lalu  menaruh tulisan di atasnya. Anak kecil itu diberi namanya sendiri, Ryan. Sementara dua gambar orang dewasa diberi tulisan Papa dan Mama. Tapi saat ini, entah mengapa dia merasa tidak pernah berada dalam gambar itu.

***










7.31.2011 | By: Fairynee

DAY 05: HUBUNGAN CINTA DAN KATA-KATA


Begitu selesai membaca buku 9 dari Nadira karya Leila s Chudori, ada perasaan sesak karena disajikan ending yang menggantung seperti itu. Berbagai pertanyaan muncul di kepala saya. Bagaimana kisah cinta antara Nadira dan Utara Bayu selanjutnya? Sejujurnya, sisi melodrama saya (yang mungkin banyak dipengaruhi berbagai kisah “kebetulan” dan “ketidaksengajaan”) menuntut happily ever after ending, seperti yang sering saya temukan di sinetron atau melodrama di televisi.
Well, saya tidak akan bercerita lebih banyak tentang novel ini karena topik 30 days me of me kali ini bukan meresensi atau membuat sinopsis mengenai buku yang telah saya baca. Topik 30 days me of me kali ini tentang discuss your feelings on the word “love” and the way it’s used in today.  Topik yang sangat luas untuk diuraikan dan pasti akan menyesatkan saya dalam kebingungan-kebingungan yang lain (tersebab saya sendiri bingung mengartikan kata itu), sehingga saya memutuskan untuk mengangkat masalah yang telah menarik perhatian saya sehabis membaca novel 9 dari Nadira menjadi sub topik dari 30 days me of me ini.

ANTARA NADIRA DAN UTARA BAYU
Hal yang menarik untuk dibahas dan berkaitan dengan tema cinta yang menjadi pekerjaan rumah saya ini adalah mengenai kisah cinta Nadira dan Utara Bayu yang sepertinya tidak akan pernah bertemu di satu titik. Di sini sosok Tara (panggilan Utara Bayu) digambarkan sebagai atasan Nadira yang tegas, terkesan kaku, dan meskipun selalu berada di sisi Nadira (bahkan membantu perempuan ini mencari bunga Seruni di segala sudut kota saat pemakaman ibunya), Tara tidak pernah sekalipun menyatakan perasaan yang disembunyikannya pada Nadira.
Perihal ini pernah saya perbincangkan dengan salah seorang teman, tentu saja dari sudut pandang masing-masing. Saya sebagai perempuan merasa pasti akan melakukan hal yang sama dengan Nadira, berhenti menunggu Tara melakukan sesuatu untuk memperjelas “kebersamaan” mereka selama ini, dan memutuskan untuk meraih sesuatu yang lebih pasti yang ditawarkan seorang Niko (meski pun pada akhirnya keputusannya ini justru membuatnya terjatuh kembali dalam kubang kepedihan yang lain lagi). Mengapa? Begitu teman saya bertanya, bukankah karakter Utara Bayu yang mencintai Nadira dengan tulus, menerimanya apa adanya termasuk polemik yang dihadapi perempuan itu, dan senantiasa “ada” saat-saat paling sulit dalam hidup Nadira merupakan karakter pria yang banyak diinginkan perempuan manapun?
Benar. Tapi seorang Utara Bayu yang mengaku mencintai Nadira malah melupakan satu hal yang menurut saya penting. Dia tidak pernah benar-benar mengulurkan tangan ke arah Nadira yang terperosok ke dalam lubang kubur yang sesak, penuh teka-teki, dan gelap sejak kematian ibunya. Dia hanya berdiri di bibir lubang, memandangi Nadira yang setengah mati berusaha keluar dari lubang tersebut. Bahkan ketika dia menerima selembar “undangan pernikahan” yang semakin memustahilkan ikatan perasaannya dengan Nadira, Utara Bayu hanya murung dan gelap, dan sekali lagi mengulang kesalahannya, tidak mampu mengungkapkan kejujuran (termasuk perasaan kuatirnya karena reputasi percintaan Niko yang tidak baik) ketika Nadira memergokinya sedang dalam keadaan payah dan mabuk berat di kantor bersama dua rekannya yang lain.

“Nadira…, aku harus mengatakan sesuatu…”
Jantungku berloncatan kian-kemari. Tara, Tara, aduh…
“Ya, Mas….”
Hening.
Udara kantor terasa seperti kandungan seorang ibu yang berusia Sembilan bulan yang siap jebol kapan saja. Dan isi kandungan itu adalah rasa cinta yang sia-sia.
“Aku… mengenal Niko dengan baik….”
“Ya, Mas?”
“Nadira…, aku ingin kamu berbahagia dengan Niko… Itu saja.”
         Itu saja. Dia tidak mengemukakan sesuatu yang semestinya dikatakannya sejak awal. Dia hanya pasrah dan malah menenggelamkan diri dalam kegelapan yang justru diciptaannya sendiri.

CINTA DAN PERNYATAAN
Mungkin sebagai pembaca, banyak yang menyayangkan keputusan Nadira yang meninggalkan Tara dengan segala kebungkamannya. Meski dia menyikapi pilihannya dengan meniadakan dirinya saat memutuskan akan menikah dengan Niko, dan berusaha menyesuaikan diri dengan kesukaan lelaki itu--konsep yang salah sebenarnya dalam menjalin suatu hubungan karena dalam bersama-sama hidup adalah satu pilihan untuk saling meng-ada satu sama lain--tapi dia telah melakukan gebrakan baru dalam hidupnya, bangkit dan memutuskan menyambut uluran tangan seorang Niko. Empat tahun merupakan waktu yang sangat lama terhimpit dalam liang kubur, dan memang semestinya dia bangkit dan melanjutkan hidup.
Memang setelah itu, dia diperhadapkan dengan kenyataan bila Niko ternyata tidak selamanya menjadi sumber kebahagiaannya, tapi bukankah itu salah satu resiko yang pasti dihadapi ketika kita mengambil suatu keputusan. Resiko yang seringkali kita anggap salah “terbaca” di kemudian hari dan acap menjadi sandungan yang selalu kita anggap perlu disesali.
Saya bisa membayangkan, setelah empat tahun berkutat dalam kesedihan selepas kepergian Ibunya yang tak wajar (dan menjadi suatu aib bagi keluarga), lalu saudara-saudaranya yang memutuskan melarikan diri dari kenyataan, dan dia mesti menemani Bram, ayahnya yang--merasa disakiti harga dirinya ketika dipindahkan ke unit kerja yang tidak disukainya dan memilih pensiun—merasa frustasi karena tidak bisa melakukan apa-apa selain menonton televisi, sementara lelaki yang “diketahuinya” menaruh hati padanya. Sudah ratusan tahun, tepatnya…, demikian hiperbolis dari Kang Arya, kakaknya ketika mempertanyakan kembali keputusannya, sama sekali tidak melakukan apa-apa untuk membantunya keluar dari segala polemik hidupnya, keputusan untuk menyambut uluran tangan Niko menjadi pilihan terbaik baginya. Semenjak mengenal Niko hidupnya berubah. Penuh warna—tidak lagi abu-abu--dan dia lebih bergairah untuk menghadapi hari esok. Bukankah gairah merupakan kunci dalam menjalani hidup? Ketika gairah seseorang padam, maka sesungguhnya dia telah mati meski masih bernapas.

Tahukah, Kang.. selama bertahun-tahun sejak Ibu pergi meninggalkan kita, ada sebuah batu besar yang membebani tubuhku, hatiku, jantungku, yang menyebabkan aku hanya bisa celentang di dalam kubur itu, tanpa bisa hidup, dan juga mati?
Dan tahukah, Kang Arya, tidak ada satu pun, tidak ada siapapun yang bisa mengangkatku dari lubang kubur. Tara hanya bisa menjenguk diriku dari permukaan liang kubur dan memberikan wajah simpati…
Sampai akhirnya hanya satu, ya satu lelaki yang datang dan menyodorkan tangannya. Dia langsung mengambil tanganku dan menyodorkan tangannya. Dia langsung mengambil tanganku dan mengajakku untuk bangun dari lubang kubur itu. tanpa ragu, tanpa jeda. Dia tidak membutuhkan waktu untuk berpikir ulang karena dia yakin aku harus bersama dia. (CIUMAN TERPANJANG, hal 149-150).

Saya pernah mendengar, cinta lebih dari kata-kata. Benar sekali, saya mengamini hal tersebut. Kata bukan sekedar kata-kata yang bisa diumbar kepada siapa dan kapan saja. Cinta itu suci, sakral, tidak bisa dipersamakan dengan keinginan kedagingan semata. Tapi cinta juga perlu diungkapkan, dinyatakan lewat kata-kata. Kedua hal tersebut, saya pikir saling berkaitan satu sama lain.
Semua orang berhak bahagia.
Dan hal itu yang dilakukan Nadira, memutuskan menerima uluran tangan lelaki yang tanpa sungkan mengulurkan tangan ke arahnya. Tidak lagi menunggu Tara yang terus menerus hanya menjenguknya di dalam lubang kubur dari permukaan, tapi tidak pernah memintanya untuk menyambut uluran tangannya dan keluar dari kubur yang selama ini menekan. Hal tersebut tergambar jelas, ketika dia meminta pak Satimin untuk tidak mengusik Nadira yang meringkuk di kolong meja kerjanya, dan juga mengingatkan rekan sekantor untuk tidak protes akan kelakuan Nadira tersebut. Hanya itu. Dia hanya memandangi Nadira yang larut dalam dunianya yang lain.
Benar sekali, cinta lebih dari kata-kata. Tapi sebagai manusia, yang terbatas dalam mengartikan atau memaknai sesuatu, diperlukan kata-kata untuk meyakinkan kalau percik-percik yang muncul tidak absurd. Bahwa getar dan perasaan-perasaannya itu tidak salah alamat. Bila kita tinjau, Tara sebagai seorang atasan, sangat wajar bersimpati kepada salah satu bawahannya yang sedang dirundung kemalangan. Wajar pula bila dia menunjukkan perhatian (dan saya pikir, perhatiaannya hampir sama dengan Kris yang ternyata juga memperhatikan Nadira) serta membantu Nadira mencari bunga seruni demi memenuhi keinginan Ibunya untuk terakhir kalinya. Itu saja. Tidak ada yang lain. Saya pikir, hal yang sama pasti akan dilakukan orang lain dalam suatu hubungan pertemanan. Tidak bisa diartikan lebih.

MISKOMUNIKASI
Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, seorang teman perempuan saya datang kepada saya sambil menangis, bercerita mengenai peristiwa yang dianggapnya sangat memalukan.
“Aku malu bukan karena sudah menyatakan cinta padanya, tapi karena ternyata aku salah mengartikan kedekatan kami selama ini.”
Saya sangat mengingat pernyataan teman saya itu. Dan saya sama terkejutnya dengan dia, karena selama ini dia dan F (inisial teman pria yang diceritakannya itu) sangat dekat. Bukan saya saja, tapi yang teman-teman yang lain juga menduga kalau mereka bukan sekedar berteman. Tapi dugaan itu dipatahkan hanya dengan satu pernyataan. Tidak pernah ada apa-apa di antara mereka.
Sungguh kata-kata bisa membalikkan segala dugaan.
Bagi saya sendiri, kata-kata itu semacam deklarasi atau jaminan. Ketika ia menyatakan perasaan dalam kata-kata, sama halnya dia telah menyiapkan kereta kuda, lalu menyodorkan tangan sambil berkata, ikutlah aku, dan aku akan menunjukkan makna bahagia itu. Pernyataan sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang dirasakannya. Naïf memang, tapi demikian pentingnya kata-kata itu, sama hal dengan perasaan cinta itu sendiri.
Kata-kata menafsirkan dugaan-dugaan yang absurd, menghilangkan keraguan, dan menyingkirkan ketakutan. Sehingga tidak akan terjadi salah paham atau miskomunikasi. Tidak ada yang lebih memalukan daripada salah menduga, bukan?
...
Pada akhirnya, perjalanan Nadira dan Niko dalam novel ini diceritakan kandas, tapi itulah resiko dari suatu pilihan. Saya pribadi tidak menganggap itu sebuah kesalahan yang perlu disesali seumur hidup bila ditilik dari masa lalu Nadira. Seandainya dia tidak menyambut uluran tangan Niko, dia tidak akan pernah mencecap kehidupan yang disebut bahagia itu. Meski sebentar, tapi pada akhirnya dia telah keluar dari lubang kubur yang selama ini menekannya, dan menjalani fase hidupnya yang lain. Seandainya dia menepis uluran tangan Niko, ia tidak akan pernah kemana-mana, tidak akan memiiki Jodi, napas hidupnya yang baru, dan tidak akan pernah tahu bahwa dia sebenar sangat mencintai Tara.
Mungkin selama ini aku terlalu sibuk mencari lilin, mencari obor… Hidup ini selalu saja gelap, Kang. Aku terus mencari dan mencari, hingga ke Pedder Bay… Hingga ke ujung bukit Victoria. Dan tiba-tiba aku baru menyadari, di mana pun aku berada, selalu ada Tara. (At Pedder Bay, hal 267)
            Penyesalan selalu datang terlambat.
Semua pembaca pasti mengamini hal tersebut ketika membaca part akhir ini saat Nadira mengirimkan email kepada Arya perihal keputusannya untuk pulang. Kita akan geram dengan pilihan Nadira yang salah. Tapi itulah hidup, keterbatasan kita sebagai manusia, tidak bisa mereka-reka apa yang akan terjadi besok, atau menebak-nebak apakah keputusannya salah atau tidak, tapi mesti diperhadapkan pada kenyataan untuk memutuskan.
Orang yang berhasil adalah yang segera mengambil tindakan, bukan hanya diam, sibuk  berkutat dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan. Orang yang berdalih sedang berhati-hati dalam bertindak, pada dasarnya tidak pernah melakukan apa-apa, dan tentu saja dia tidak akan pernah mendapatkan apa-apa.

“Sebelum terlambat, katakan apa yang semestinya dikatakan. Kepada siapa saja yang kau kasihi. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok. Mencintailah seolah-olah tidak ada hari esok.”


7.27.2011 | By: Fairynee

DAY 08: YOUR FAVOURITE INTERNET FRIEND

SENJA DI STASIUN

Hampir pukul lima. Bila sesuai jadwal, seharusnya 30 menit lagi kereta yang ditunggunya akan tiba. Tapi sejam lalu dia menerima pesan singkat yang mengatakan kalau tamu yang sedang ditunggunya ternyata menumpang kereta ekonomi, dan seperti yang diketahui, suatu hal yang aneh bila kereta ekonomi tidak terlambat.
Dia membeli minuman kaleng bersoda, lalu duduk di bangku panjang, tak jauh dari penjual minuman itu. selain dia, di bangku itu ada juga segerombol orang yang sepertinya sedang menunggu kereta yang sama. Tapi dia yakin, mereka tidak sedang menunggu seseorang. Seorang perempuan setengah baya yang baru saja selesai berbicara, memandang ke arahnya, mereka saling tersenyum. Di antara mereka ada wajah yang lesu, mendengar satu per satu nasihat yang ditujukan padanya.
Sekelilingnya sangat hiruk pikuk. Berbagai suara saling tumpang tindih, suara penjual makanan, tukang Koran, lalu anak-anak menangis, dan lengking kereta bisnis yang akan memulai perjalanan. Tak jauh darinya, orang-orang saling berpelukan, memeluk ayah, ibu, anak, sanak, pacar mungkin juga kekasih gelapnya. Mata mendadak memerah, menahan haru. Ada yang bersungguh-sungguh, tapi ada pula yang menganggapnya sebagai ritual semata.
Ponsel dalam sakunya berbunyi.
Kereta akan terlambat. Apa kamu sudah di stasiun?
Tepat seperti dugaan sebelumnya, kereta yang ditunggunya akan datang terlambat. Dia mengetikkan kalimat, memberi tahu bila dia telah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Tapi tak jadi, dia tidak ingin menimbulkan perasaan-perasaan sungkan.
Sebentar lagi mereka akan bertemu, saling bertatap muka. Sejak kemarin dia berusaha membayangkan pertemuan yang biasa. Begitu mereka saling berhadapan, mungkin akan dimulai dengan sapaan, bertanya apa kabar sambil berjabat tangan, kemudian saling bertanya mengenai pekerjaan masing-masing. Percakapan akan berlanjut sembari melangkah meninggalkan stasiun.
Saat pesan singkat diterimanya dua hari yang lalu, dia sempat kaget sekaligus bingung. Besok saya akan datang ke kotamu. Hanya itu, untuk urusan apa, dia dibiarkan penasaran sendirian.
Dia sendiri merasa lucu akan kebingungannya menanggapi kabar itu.  Bukan karena tidak suka, dia justru senang karena akhirnya bisa bertemu dengan seseorang, setelah hampir satu tahun empat bulan hanya berbincang di ruang maya, tapi entah mengapa dia mulai dikuatirkan hal-hal sepele, mulai dari perihal bagaimana hingga apa yang mesti dilakukannya bila bertemu nanti.
Semua kekuatiran sungguh beralasan bila dikaitkan dengan sifatnya yang kaku. Dia sendiri tidak tahu persis mengapa dia begitu pendiam dan membosankan, padahal seingatnya dulu, kedua orang tuanya termasuk golongan yang dikenal banyak orang. Ayahnya berkali-kali menjadi ketua lingkungan di kompleks tempat tinggalnya, atau ditunjuk menjadi ketua Sosial Tolong Menolong, sementara ibunya banyak mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang sebenarnya tidak penting. Hampir tiap minggu, ayah dijemput oleh teman-temannya, katanya untuk menghadiri rapat. Sedangkan ibunya sibuk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Mengobrol panjang lebar, tentang banyak hal, termasuk membahas gosip-gosip di televisi. Mereka cekakak-cekikik sampai malam. Mereka sepertinya tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
Saudara-saudaranya juga bukan orang yang membosankan. Arya, saudara tertuanya, dengan mudah berganti-ganti pacar, melancarkan rayuan maut dengan kata-kata manis, sementara Ranti, adik bungsunya sering terlibat dengan berbagai organisasi di kampus. Kedua saudaranya itu pintar berbicara dan selalu berhasil meyakinkan orang-orang untuk mempercayai ucapan mereka. Sementara dia, selalu bingung bila hendak memulai pembicaraan. Di kantor dia terkenal sangat irit  suara, berbicara bila hanya berkaitan dengan pekerjaan dan proyek-proyek yang sedang dijalankannya. Bahkan dalam rapat dia lebih banyak mendengar ketimbang mengajukan interupsi, seperti rekan-rekannya yang lain.
Mungkin itu sebabnya, mengapa Lisa, kekasihnya pergi dua tahun yang lalu, dan semenjak itu tak seorang pun perempuan yang mau mendekatinya. Mereka bilang, dia lebih mirip gunung es. Dingin.
Semestinya saya tidak membiarkan pikiran-pikiran ini mengganggu, pikirnya, gusar, mengusap wajahnya yang berminyak dengan sapu tangan. Minumannya habis. Dia memutar-mutar kaleng minuman itu. Tak berniat bangkit, apalagi membuang sampah anorganik itu pada tempatnya. Di sampingnya, orang-orang tadi sudah letih berbicara, mereka saling diam, mungkin juga sama gusarnya dengan dia, atau mungkin lebih.
Selama ini tidak pernah ada kesepakatan. Tidak ada yang perlu dikuatirkan. Berulang kali dia berusaha meyakinkan diri. Saya bisa bersikap seperti biasanya, saat kami menghabiskan sepanjang malam dengan mengobrol ke sana kemari. Tapi di tahu pasti, mengetikkan kalimat tidak sama dengan berbicara langsung.
Hmm, bila bertemu nanti, sebaiknya saya mengajaknya ke kafe favourite saya. Saya akan memilih meja dekat jendela yang mengarah ke trotoar, mengobrol sambil memandangi orang-orang yang lalu lalang. Dia menyusun rencana, termasuk memilah topik-topik pembicaraan yang dianggapnya tidak akan membosankan.
Dia ingat, mereka berkenalan pertama kali enam bulan yang lalu. Saat itu dia mendaftar di sebuah komunitas menulis pemula. Cuma iseng, hanya karena ingin tulisannya dibaca orang lain setelah semua media menolaknya. Entah siapa yang mulai menyapa, dia tidak ingat. Tahu-tahu dia sudah terlibat percakapan seru dan lebih banyak omong kosong di kotak chatting.   Saling bertukar nomor telepon, karena merasa kata-kata tidak lagi cukup menyampaikan apa yang hendak mereka bicarakan. Bukan dia yang menelepon lebih dulu.
Tapi tamu yang sedang ditunggunya saat ini sangat pandai mencairkan suasana. Dia suka bercerita, apa saja, tanpa memusingkan betapa kakunya lawan bicaranya. Ceritanya sangat mengesankan, lagipula dia merupakan pencerita yang memikat. Lewat cerita, kita yang menyimak ceritanya seperti diseret untuk mengalami pengalaman menakjubkan di berbagai tempat, seperti mengunjungi Mesir, menyusuri padang pasir atau memandang sungai Nil, atau duduk di bawah menara Eiffel sambil menghitung bintang. Dia kerap terheran-heran karena bisa terseret dalam cerita-cerita yang belum pasti kebenarannya.
Dia tidak lagi membenci kesunyian.
Pak Nurdin, koleganya yang ditemuinya dalam acara launching produk perusahaan sebulan yang lalu berkomentar kalau dia banyak berubah. Lebih mudah tersenyum dan wajahnya terlihat lebih cerah. Dia sampai mematut di depan cermin toilet untuk memastikan kebenaran ucapan itu, karena sebelumnya, beberapa rekannya juga berkata serupa.
Tapi dia tidak yakin sepenuhnya. Buktinya dia masih merasa gusar. Dia mentertawai dirinya sendiri, karena tingkahnya lebih mirip anak ingusan yang akan kencan pertama kalinya. Ini hanya pertemuan biasa, seharusnya saya bisa bersikao secara biasa.
Satu jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan. Dia gelisah. Langit di stasiun mulai terlihat muram. Berkali-kali dia bertanya pada petugas, tapi tampaknya mereka juga tidak mengetahui apa-apa. Orang-orang di sampingnya juga terlihat gelisah.
Dia menekan tombol ponselnya, hendak mencari tahu. Tapi mbak-mbak operator bilang kalau nomor yang dituju berada di luar service area. Dia mengulang panggilan. Sama saja. Pesan yang dikirimnya juga dalam posisi menunggu.
Hari mulai gelap.
           Dia kian dicekam gelisah.