9.28.2010 | By: Fairynee

MENGAPA

“mengapa” adalah pertanyaan yang paling mengundang kecemasan untuk saya
cemas saat harus menguraikan apa yang terlalu luas saya rasakan
yang keluasannya membuat saya tidak menemukan tepi untuk berhenti.


adalah “mengapa” saat kita memandang gunung yang menjulang biru menemui langit
adalah “mengapa” saat kita mencermati ombak yang berlari menuju pantainya
adalah “mengapa” saat kita merasakan angin yang menyentuh pucuk-pucuk cemara
lalu saya berdiam di kuil hati saya untuk terus mencari jawaban

sebuah jawaban yang ternyata tidak akan saya temui di dalam kitab-kitab cinta manapun
sebuah jawaban yang tidak akan pernah saya temui di lembah-lembah tempat para pengelana berbaring dari penat perjalanan
sebuah jawaban yang tidak akan pernah saya temui meski kapal hidup membawa saya mengarungi seluruh luas samudera

Yang tercinta,
dengan segala kerendahan hati,
saya sangat mencintaimu karena hanya ada satu Mr. Mis Mas Queridos yang lahir dan membuat saya mencintainya, yang mebuat saya menjadi pribadi yang lebih baik, yang membuat saya tahu bagaimana harus mengerti meski kadang-kadang harus melawan........

Aku sangat mencintaimu!

BULAN DALAM MATAMU

mungkinkah bulan terperangkap dalam matamu yang abu. malamku beku didera rindu.
:menderu di hatiku yang biru

ELEGI MALAM


Setelah malam itu kita berjanji untuk tidak saling sapa
walau nyeri menelurkan bulirbulir air mata
meski denyut yang kautikam buatku sekarat
kepalaku tak urung mengangguk. tak biarkan angkuh juga takluk
kali terakhir aku letakkan percaya
kelingking bertaut
:senyumku palsu

tapi mengapa kau ingkar,
khianati sepakat. diamdiam selipkan kenangan
di balik bantalku. lelapku purna
:malam masih mendendangkan sunyi. Aku membacamu dalam angan

9.27.2010 | By: Fairynee

KAU DAN HUJAN

tengadahku pada langit,
pinta curahkan hujan deras sore ini
setidaknya riak yang menggelegak
tersapu rerintik yang jatuh di wajahku

punggungmu kian samar dari tatap
: bibirku kelu.

PERAPIAN

Tungku perapian tak bosan baurkan hangat 
halau gigil. gemerutuk
: kau suka membunuh waktu yang tak bosan menitipkan sunyi.

tapi kau kerap tergugu saat
bara yang menyala-nyala dalam matamu
pantulkan bayang di penjuru ruang
meliuk siluit yang teramat kau kenal. melalap purna seisi kepala
setetes air mata urung runtuh
tersuruk di balik sweater kumal

sengau pemutar musik tua dendangkan pilu
sembunyi di sela jejak jam di dinding
melenting. meretak beku yang kerap membuatnya gagu
: mimpimimpinya disesaki sesal.pekat.

: aku akan menunggu waktu lelah menjelajah mimpi.
  karena aku stasiun, tempat kau berhenti kelak. Janji kenangan saat itu
diam-diam kau suruk dalam kantung bekalmu.

tapi waktu tak punya kompromi
paksamu seumur hidup mengunyah nyeri
tanpa memberi kesempatan untuk mengujar tanya
apalagi alasan keterlambatanmu
(sejak itu. Kau membuat jadwal bertemu kenangan sambil menggenggam sebilah pisau: kekalkan senyumnya dalam ingatan)
9.22.2010 | By: Fairynee

KADOKATA

Lalu dentang jam di dinding membuatmu pucat
gelisah hadapi waktu yang kian renta
padahal jemari masih lincah merenda mimpi
yang katanya cuma milik kanakkanak

(kau ingat. kita suka protes pada takdir yang acap culas, selipkan tanya dalam lipatan mimpi. dan saat letih mengurai maki, kita pun belajar mentertawai kecewa)

terkadang rindu pecah di matamu
akan sepotong cinta yang menusuknusuk relung
hingga berkubang darah
: pangeran berkuda lupa jalan pulang. ke hatimu

(maka seperti malammalam pekat sebelumnya, kita pun berbagi cerita lewat katakata. tentang rindu, tentang haru, tentang abu yang kerap menyapa harimu sendu)

SENO GUMIRA AJIDARMA: SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.

Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.

“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993
--Dikutip dari http://sukab.wordpress.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/

AMPUNI AKU, TUHAN...

Aku berkata pada hatiku:
sebaiknya kita tinggalkan pentas angkara ini
di mana kasih hanya bernilai sekeping perak
di mana janji hanya lautan katakata manis
aku-kamu terbakar hasrat memburu
tak segan  saling menyikut tuk merebut pijakan mencapai tempat tertinggi.

Aku sendiri lupa,
sudah berapa lama menutup mata hingga
aku tidak mengerti langgam pinta dari tangantangan dekil itu.
Aku juga lupa,
sejauh manatersesat dalam gemerlap dunia. 
: aku pun menggadai tuhanku demi kenikmatan


Aku berkata pada hatiku:
sebaiknya kita tinggalkan pentas keserakahan ini
di mana kesombongan adalah hak milik dan
nurani terinjak-injak di keramaian pasar.

wajah-wajah kristus yang terpampang manis di mimbar-mimbar umum
lenyap sudah
saat aku memahkotai aku dengan egois, dan
aku lupa bila gerimis air mata telah berubah menjadi hujan 
: Aku pun hilang bentuk. Remuk


Aku berkata pada hatiku:
sebaiknya kita tinggalkan pentas kemunafikan ini
di mana setiap orang sibuk mencari 
siapa yang patut di persalahkan? Atau barangkali 
apa yang mesti dibenarkan dari kesalahan ini?

(Aku pun bertelut.  berseru) 
: Tuhan…Ampuni aku!
9.21.2010 | By: Fairynee

PESAN

 Tebing Tinggi, Juli 2009
Sebelum pergi,
aku menoleh sejenak ke belakang
menjenguk kenangan dan berbisik:

: Tolong, ajari kembali cara menangis saat aku terlalu banyak menuai tawa

MIMPI VS TAKDIR

 Kotari, 2009
Begini jadinya bila mimpi terpasung takdir
kaki enggan melangkah
cuma ada desah napas, berjibaku dengan segala keharusan
: tanpa tujuan

SEBELUM HATIKU TERGADAI

 Medan, 2008
Aku memandang hatiku, sekali lagi
menimbangnya sejenak lalu mengelusnya. tak rela
tapi aku tak bisa apaapa
jaman telah memaksa menggadai hatiku. besok
: katanya sih biar bisa hidup

HATI

hari ini,
aku lupa menaruh hatiku di mana
hingga saat tangantangan dekil itu
terulur. meminta kasih

aku sama sekali tidak mengerti

TELEGRAM

 Inderalaya, 2005
pntg:
aku sekarat,
cpt kembalikan hatiku!!!

SEPAKAT

 Inderalaya, 2006

begini saja,
malam ini kita buat kesepakatan
aku serahkan hatiku cuma-cuma
asal kau berjanji mau menjaganya--di hatimu.

:setuju?

TENTANG SATU CINTA

 : Inderalaya, 2003

Siapakah yang mengajarmu, sayang
tuk dekapku dalam hangatmu
hingga takutku lenyap saat kegelapan memagut malam.

Siapakah yang memberitahumu, sayang
tuk mengerti resahku saat dunia buatku kecewa
kau belai lembut hingga terlelap.

Siapakah yang mengatakan padamu, sayang
tuk menyebut namaku dalam doamu
bahkanrela memetik bulan demi mimpi-mimpiku.
Kau katakan: aku berarti bagimu melebihi permata terindah,
bahkan kau menangis saat takdir memaksaku pergi jauh.

Siapakah yang menyuruhmu, sayang
tuk berbuat demikian,
aku bertanya-tanya
kauhanya tersenyum
matamu berbinar berlimpah kasih
saat aku kembali dari persaingan hidup
sembari memanggilku:
”anakku sayang...“

SENANDUNG TANYA LEA

Akankah aku menemukan orang yang tepat?

Pertanyaan itu senantiasa bergelayut dalam hatiku. Sejak mengenal istilah cinta monyet di usia belasan tahun hingga semua orang memberi label warning karena usiaku telah menginjak kepala tiga. Aku masih saja berkutat dengan pertanyaan bodoh itu.

Aku sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sosok yang dapat dikategorikan tepat? Apakah harus memiliki sorot mata indah seperti kejora, lengan kuat, atau hati yang tulus bak malaikat? Aku sering mendengar pula celoteh-celoteh segelintir orang yang memaknai tepat hanya untuk orang setara Donald Trump atau Bill Gates. Benarkah?

  Aku menghela napas. Gusar.

“Lea, apa yang membuatmu belum memutuskan untuk menikah?” demikian mereka mencecarku dengan pertanyaan yang selalu memaksaku mengeluh. Bila lima tahun silam, aku masih bisa mengemukakan ketidaksiapan sebagai alasan. Kini alasan itu malah menjadi bumerang bagiku.

“Apa yang membuatmu belum siap? Bukankah usiamu telah matang dan siap.”

Benar. Bila ditinjau dari segi usia aku memang dikategorikan dewasa dan siap menuju komitmen yang serius. Tapi apakah karena kata matang itu, aku tak diberi kesempatan untuk mengajukan kriteria tepat bagi orang yang kelak menjadi pasanganku walau dapat aku pastikan pula orang itu pun tidak benar-benar tepat. Apakah orang yang tepat itu benar-benar ada? Lalu siapa yang akan menjadi orang yang tepat bagiku? Atau jangan-jangan aku telah melewatkan orang yang tepat itu?

Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya ke udara.

Mungkinkah aku telah melewatkan orang yang tepat itu? Aku memandang lantai kamarku, mencari jawab di permukaan ubin yang dingin. Ah, jangan-jangan aku memang telah melewatkan orang yang tepat itu, sesalku.

Perlahan–lahan ingatan membimbingku menjenguk kenangan di masa lalu, tepatnya tiga tahun silam. Saat itu, sesosok lelaki yang entah layak atau tidak kuberi label tepat pernah singgah dalam hidupku. Bukan cuma singgah tapi mengisi kekosongan hatiku dengan limpahan kasih sayang. Dia pula yang mengajarkanku merajut mimpi tentang masa depan.

Kuakui, dia tidak memiliki sorot mata indah seperti kejora. Sedikit redup tapi cukup meneduhkan. Dia tak memiliki lengan penuh otot, namun selalu membuatku merasa nyaman. Dia juga tak luput dari kesalahan sehingga tidak dapat dipersamakan dengan malaikat. Tapi dia begitu berlapang dada untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan itu.

Ando. Sesosok lelaki yang sangat aku cintai. Bahkan aku sempat berpikir kalau dia adalah orang yang tepat bagiku. Kami pernah mengukir janji. Malam itu, ketika hujan meteor di langit. Tak lupa kami mengajukan permohonan. Entah karena percaya pada mitos konyol itu atau sekedar memberi kesan menyentuh seperti drama-drama percintaan di layar kaca. Tapi kenangan itu masih tersimpan apik dalam ingatanku.

Sudahkan aku menemukan orang yang tepat?

Entahlah.

Aku bertanya bukan karena merasa tidak cukup atas kehadiran Ando dan memilih terus melaju menuju perhentian selanjutnya. Tidak. Tapi justru takdir yang menyatakan kalau dia bukan orang yang tepat untukku.

Dia. Sosok yang akan aku kenakan label tepat malah direnggut secara paksa beberapa saat menjelang prosesi pemberkatan janji menjadi ikatan seumur hidup. Aku cuma bisa termangu dalam tangis yang tak kunjung usai hingga saat ini.

Mungkin aku memang belum menemukan orang yang tepat, demikian aku berujar, menghibur hati. Perlu sedikit kesabaran hingga menemukan orang tepat pada waktu yang tepat. Yah, waktu yang tepat, imbuhku lagi, masih berusaha sekuat tenaga membujuk hatiku agar mau menerima putusan takdir.

Tapi kapankah waktu dapat dikatakan tepat? Apakah aku masih memiliki waktu? Bila benar, mengapa justru mereka yang diterjang panik dan terus saja menyodorkan pertanyaan menyebalkan itu?
...

Aku menatap sebentuk bayang yang membias di cermin. Sementara di atas meja berserakan botol-botol, tube-tube dan kotak kosmetik dengan berbagai merek juga setumpuk kapas bekas pakai. Aku menyisir rambut ikalku yang belum kering benar dengan perlahan sembari mengajukan pertanyaan,

“Apa kamu sudah menemukan orang yang tepat?”

Sosok dalam cermin itu malah berkomat-kamit dengan gerak bibir yang serupa denganku. Tak memberi jawab apapun.

Aku berbalik. Memandang sosok yang terpulas dalam dengkur-dengkur halus. Wajahnya begitu polos laik bocah yang kelelahan setelah seharian mengejar layang-layang yang putus. Aku menekuri tiap lekuk di wajahnya. Sempurna. Alis yang hitam legam, hidung yang bangir juga guman lirih dari bibir yang agak menghitam oleh tar. Tak ada yang salah. Lalu mengapa aku masih saja berkutat dengan pertanyaan itu?

Apa dia bukan orang yang tepat itu?

Berulang kali aku mengajukan pertanyaan itu, berulang kali pula aku memungut entah. Aku mengalih pandang kembali ke arah cermin. Mengajukan pertanyaan yang sama.

“Sudahkah aku menemukan orang yang tepat?”

Hah! Aku kembali tenggelam dalam pertanyaan semu.

***


Aku mengeluh saat mendengar ultimatum Bapak. Sore itu.

“Lea, Bapak pikir sudah saatnya kamu mencari pendamping hidup. Kakak dan adik-adikmu sudah menikah. Bapak berharap kamu juga segera menyusul mereka.” Aku bungkam. Tak berani membalas tatapan Bapak apalagi menyahutnya.

“Masalah ketidaksiapan akan selalu menghalangi langkahmu, Lea. Padahal waktu terus berlalu dan usiamu bertambah. Bapak mengerti bila di hatimu masih ada Nak Ando, tapi jangan biarkan kenangan menghalangimu untuk bahagia,” suara Bapak melemah, sedikit parau oleh batuk yang belakangan sering menyerang.

“Lea, turutilah permintaan bapakmu ini agar Bapak lebih tenang. Bapak ingin melihatmu bahagia sebelum Tuhan memanggil kelak,” pinta Bapak. Aku tak mampu membantah.

Aku hanya mengangguk ketika bapak menyodorkan satu nama yang dianggap paling sempurna untuk menjadi pasangan hidupku. Kita telah mengetahui bobot, bibit, dan bebetnya, ujar Bapak beralasan.

Hah, setidaknya aku telah memenuhi angan-angan bapak untuk mempererat hubungan persahabatan menjadi kerabat. itu sebabnya aku tak protes demi melihat senyum bapak yang terus saja mengembang selama upacara pernikahan berlangsung.

Saat itu, mereka mengulurkan tangan sebagai ucapan selamat dan memberiku selarik doa. Aku menyambut uluran itu tanpa perasaan apapun. Tak ada linangan air mata tak pula segiris tawa renyah. Sungguh berbeda dengan dongeng-dongeng dalam serial drama percintaan Hollywood.

Lalu, bahagiakah aku? Entahlah. Aku meliriknya sejenak. Dia tersenyum sambil menyambut uluran-uluran tangan mereka. Bahagiakah dia?

***

“Ok, Tari. aku segera meluncur ke sana,” jawabku meyakinkan teman yang telah tak bertegur sapa dalam kurun waktu yang terbilang lama.

“Haha, aku tak sabar melihat Tari kecil yang sering kamu ceritakan,” kataku lagi. Aku mendengar celoteh renyah dari seberang sana. Aku mempercepat laju mobil. Hari hampir gelap, kerling lampu-lampu di tiap sudut kota menandai kehidupan malam mulai bergulir. Aku berbelok.

“Aku hampir tiba. Eh, awas loh kalau tidak membawa oleh-oleh buatku,” ancamku. Aku tertawa kecil mendengar jawaban Tari yang masih saja konyol, seperti ketika kami masih siswa SMU dulu.

Tiba-tiba saja seberkas sinar dari arah berlawanan membentur mataku. Aku tak sempat memutar haluan untuk menghindar. Tubuhku terhempas keras. Lalu segalanya pun menjadi hitam. Pekat.

***

Sudahkan aku menemukan orang yang tepat?

Sepertinya pertanyaan itu akan selalu memenuhi pikiranku. Atau mungkin takdir telah menggariskan bila aku takkan pernah mampu menjawab karena memang tak pernah menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Atau mungkin pula aku terlalu memusatkan perhatian pada kata tepat sehingga tidak menyadari bila orang tersebut pernah melintas dalam hidupku. Atau jangan-jangan benar kata mereka, ketidakutuhan hati membuatku tak pernah menemukan orang yang tepat. Benarkah aku takkan menemukan orang yang tepat?


Seberkas sinar berpendar di mataku.

Aku mengerjap. Lemah. Perlahan aku mencoba menggerakkan kepala. Tapi nyeri menyerang dan memaksaku merintih lirih.

“Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga, Sayang.”

Satu sosok membias di mataku. Sebentuk senyum dengan sisa-sisa kecemasan yang menggurat di wajah lelahnya memenuhi pandanganku. Terdengar nada kelegaan dalam suaranya yang mendadak parau. Aku terpaku. Membiarkan saja hangat menjalar saat dia meraih jemariku dan mendekapnya dengan lembut. Tak peduli bila jarus infus akan bergeser.

“Aku akan memanggil dokter untuk memeriksa kondisimu.” Katanya lagi dengan nada penuh sukacita.

Akankah aku menemukan orang yang tepat?

Aku terus menatap sosok itu bahkan ketika dokter memeriksa dan menyatakan kalau kondisiku mulai pulih.

Aku memejamkan mata.

Apa aku telah keliru memaknai kata tepat sehingga tidak pernah menyadari bila telah memiliki hal yang disebut tepat itu.

“Kamu beruntung, Lea. Valent begitu memahamimu dan mencintaimu. Ternyata kamu telah menemukan orang yang tepat.” Penuturan yang sempat mereka cetuskan dengan nada cemburu mengiang kembali dalam anganku.

Benarkah?

Aku membuka mata. Sosok itu kembali membias dalam mataku.

“Kamu tahu, sebenarnya kamu telah menemukan orang yang tepat tapi hatimu hanya tertuju pada Ando. Benar, kamu tak pernah menuturkan kriteria tepat, tapi cara kamu dengan tak membiarkan Valent mengetuk pintu hatimu, membuatmu tak pernah mengerti makna tepat.” Aku ingat pernyataan Kak Reni sebulan lalu saat aku mengadu tentang kegalauanku.

Aku menatap sosok itu, penuh arti.

Lihat. Dia setia menemanimu walau berulang kali kau menyodorkan sunyi. Dia berusaha menyajikan tawa walau selalu menuai segiris senyum penuh paksa. Dan kini dia pula yang mendampingimu saat kau benar-benar tak berdaya. Tak pernah lalai menitipkan doa demi kesembuhanmu.

Air mata menggenang lalu perlahan menetes.

“Ada apa, Lea? Kenapa kamu menangis? Apa masih terasa sakit? Dimana?” tanyanya dengan nada cemas saat menemukan setitik bening yang lancang jatuh. Aku menggeleng pelan.

Ternyata aku tak pernah menyadarinya…

Air mataku kian menderas.

Sepasang jemari menyentuh pipiku dan mengusapnya dengan lembut. ***
9.20.2010 | By: Fairynee

CATATAN GERIMIS

Dan untuk kesekian kalinya kau menitipkan seutas tambang
mencekik setia yang sepanjang malam kusiram dengan air mata
Lalu apalagi yang tersisa, kecuali sehela napas yang terjepit
merintih dengan bibir lepuh
terus mengeja rautmu yang kian samar di kepalaku

dan untuk kesekian kali pula aku meringis
nanar tatap gerimis yang mengembun di jendela kamarku
merindu lenting senarmu di tengah hujan. seperti dulu

MIMPI CINDERELLA

Pesta belum  usai
tapi dentang jam di dinding mengingatkan
takdir yang tak mungkin diingkar
tak punya waktu untuk menikmati mimpi


Sebelum menjejal kecewa
mata menoleh sejenak. mencari binar yang biaskan bayangnya. tadi
senyum mengembang
berdesir denyut nadi
tak peduli langkah terantuk ragu
tergesa menghitung jejak
:pulang

sejak itu. sepanjang malam aku terpekur dalam murung. mengunyah sesal
bukan karena tersilap memungut sebelah sepatu yang tertinggal di anak tangga
tapi rindu yang tak jua menemu ujung.

(ah, seharusnya aku bukan hanya meninggal sepatu kaca tapi juga nomor telepon. biar pujaan hati segera menemukanku yang terapung: antara mimpi dan nyata)

MEMPELAI SURGAKU

Andai tangis bisa menghapus duka yang menghujam
juga sorotsorot penuh iba yang terlontar
aku mau menghabiskan separuh waktu
menangisi kau yang ingkar

Langkahku terseok, tak jadi melaju
padahal senyum telah mengukir di wajahku yang merah jambu
kau malah kaku dalam bisu
tak menyahut rinduku yang meraung
: aku mengenakan gaun merah darah. mata lebam penuh kecam pada takdir yang tak mau kompromi

(Aku memang melangkah menujumu. mengenakan cincin dan cium perpisahan sebelum rinduku mati bersama kau yang terlelap dalam abadi: janji itu tak pernah mengikrar)

DALAM SUJUDKU

Kata tiba-tiba saja patah
di bibirku yang belum selesai mengeja ampun
air mata berkarat
meluruh angkuh dalam pilu
terpekurku malu

Kata tiba-tiba saja gagap
mengurai rindu. basi terlindas hasrat tanpa ujung
yang kerap butakan mata. tak bisa baca penunjuk arah
:menujuMu

Aku larut dalam dentum dentum kenikmatan
terpukau gemerlap lampu-lampu jalanan yang suka mengerling. genit
lupa kalau malam akan beranjak pagi.

: waktuku tak banyak
9.17.2010 | By: Fairynee

DONGENG PENGANTAR TIDUR

Tiga puluh sembilan menit ternyata rentang waktu tak panjang
tak sama ketika menekuk gelisah di halte bus--menantiketidakpastian
atau saat berusaha menegak tengkuk agar tak jatuh dalam kantuk
di sesi ceramah ulama yang menjemukan.

Tiga puluh sembilan menit melesat
bahkan aku belum sempat merayu waktu untuk berhenti
: tunggulah rindu ini selesai kueja. jarakmengabur—kau dalam mataku

Ah, mengapa waktu cepat berlalu padahal
aku belum sempat berkisah tentang hujan sore tadi
bunyinya seperti serak dendang resahku dicekik ragu bahkan
suara jangkrik terdengar seperti lenguh
bosan mengakrab sunyi pekat

Ah, mengapa terburu-buru
padahal aku belum sempat menyeduh segelas teh sebagai penyeling cerita
yang tak selesai walau berjuta detik bergerak merangkak
aku juga tak sempat menyajikan kuekue kering kesukaanmu yang bersusah payah kuadon dengan sabar yang entah berapa jengkal.

(apa aku sudah bercerita kalau aku sampai meminta resep kue itu dari toko langganan yang ada di seberang jalan?)

Sungguh. aku ingin mengutuk jarak yang terlalu angkuh untuk mengerti
saatnya mengucapkan salam, ujarnya pongah. aku tak rela.
tapi tak punya tenggat
Suaramu perlahan sayup lalu menghilang. ubunku kembali menelurkan gelembung rindu

RINDU DI UJUNG JEJAK RETAK

: 10 Juni 2010

Bagimu:
Waktu adalah bulirbulir rindu
menetes di kening yang mulai berkerut
keras tulang pipi
otot mengetat
perih meremah dalam kepal jari
tak gentar menantang hari--bawakan sepotong asa demi memintal mimpiku

Bagimu:
Rindu adalah janji. pantang mengingkar
walau terik acap mencibir, menyengat kulit, lepuhkan jejak kaki
memikul angan yang suka kuanyam di batas senja

aku ingin melukis pelangi, ujarku lugu. kau mematri pasti dalam hati
pagi sekali aku menemu kejora di depan pintu
aku bersorak
bangga memancar di balik peluhmu
: kalahku adalah tangismu.

Bagimu:
Janji adalah hela napas
detak nadir
tak mundur digertak takdir yang suka culas, khianati rencana yang kau eja hingga matang.

menjelang malam. sendu melirih,
kau mengeja pinta tanpa egois
:sertai anakku, Tuhan…

========================================================
Note: Puisi yang aku tulis untuk bapak yang ulang tahun

HUJAN BOLA

: a tribute to Ket_Kimura

Andai aku bisa membagi cerah rembulan di langitku
aku rela berbagi agar mendung yang tiba-tiba menyergap langitmu
sirna

: jangan biarkan duka di Italy menjelma menjadi hujan juga di matamu

(Toh, cannavaro dkk tidak tahu ada pemuda yang bernama kets menangis semalam suntuk karena kekalahan mereka. Andai mereka tahu mungkin mereka akan berusaha lebih keras)

========================================================================
Selepas kekalahan Itali di piala dunia (25 Juni 2010)

RENUNG

Bening apakah itu yang perlahan-lahan jatuh
kau susut dengan punggung tanganmu
Embun yang melebur bersama terikkah?
Atau rindumu yang tak pernah menemu ujung?

Detikdetik yang melenting di sudut kamar
mengingatkan bila waktu tinggal sedikit
tapi kau masih terpojok dalam tanya yang sunyi pun
tak punya jawab : pasti
lalu kau mulai mengeja jejak
yang retak yang lepuh yang rapuh
dalam genangan keluh yang hampir separuh mata

Kau tercekik
Sibuk menghitung pasti yang ternyata fana
: hidup

SIMFONI HUJAN AWAL JULI

 : Birthday Eve, 1 Juli 2010

Sungguh pintaku,
awal bulan Juli, kau tak mengundang gerimis
apalagi hujan menderas
walau hujan bulan juni menyisakan tanya di sela sunyi
pekat malamku.

memang. aku terbiasa menangkup gigil
kerap mengeja tetestetes rinai. hafal irama tempias hujan di atap
jatuh. menggenang di paritparit
sementara binar lampulampu jalanan kelu
tak kuasa redam riak telaga di mataku.
luapkan ingin yang kulafal dalam beku
bibir bergetar. Pucat


Tapi kali ini,
boleh aku meminta bukan
usah mengirimku mendung pun guntur pun dingin pun gigil pun hujan
setidaknya di angka yang kuberi tanda lingkaran pada kalender yang menggantung
dekat jendela kamarku.

Kalau perlu, aku mau mengujar ulang pinta:
ingin senyumku cerah di matamu
selepas kau menyanyikan rindu di telinga

HAIKU-HAIMU: DERING RINDU

/I/
Dering telepon
sapa senjaku sendu
:rindu bertaut

Jarak menggigil. cemburu
tak mampu pecundangi waktu

/II/
mengingkar sipu
bulan malah tertawa
:memecah sunyi

inginku menjadi pujangga
:mampu memakna deru

SENJA MUSIM GUGUR

: separuh hidup. bibirku kelu mengunyah sesal

sore ini aku kembali menyusuri setapak itu
sambil menggenggam sepotong rindu
bergegas menemui binar matamu yang mungkin juga sedang menungguku
sepanjang sabar bangku tua di taman kota. dulu

Kau menyodorkan seulas senyum
lalu tiba-tiba saja senja luruh di pipiku

aku terus menjejak langkah
mengeja setapaksetapak retak. tuai sunyi kekal
daundaun akasia berayun di udara. sekejap luruh
sembunyikan kerontang menahun di mataku.

senja hampir lindap
aku masih tersesat dalam pekat tanya—tentangku tentangmu: kita?
berkalikali mengajukan pinta pada lampau
ingin kueja kembali parasmu yang lapuk oleh waktu

Sepanjang jalan yang kulalui,
kupungut katakata yang tercecer di antara ilalang
di antara semak di antara jajaran pohonpohon randu
lalu kujalin dalam seikat puisi ranum.
akan kuserahkan sebelum sunyi menuturkan basabasi lagi. tak mau membiarkan waktu tergelincir seperti dulu.

(Bila diijinkan. Aku ingin menulis kembali kisah itu. tentang jemari yang akhirnya bertaut di ambang senja)

RAMALAN CUACA

Mungkin kau salah meramal cuaca
Sangkamu mendung siang ini pertanda hujan
padahal mungkin sekedar isyarat
agar berjagajaga, atau mungkin pula
matahari lagi bosan menggagahi langit dan memilih mendengkur
di balik awan pekat.
Ah, mungkin juga langit terlalu merindu bumi
meluruh bulir-bulir dingin: dari matamu-mataku.

Terlalu banyak kemungkinan yang tak mungkin kueja satu per satu.

usah selalu mendongak ke langit dengan sorot cemas
hanya gejala alam yang kupikir itu alami
kau hanya perlu membiasakan diri agar tak selalu sembunyi dalam takutmu
bukankah selepas hujan ada lengkung pelangi?

memang bukan milikmu seutuhnya tapi
setidaknya indahnya pasti membias dalam matamu

SENJA ITU, KETIKA KAU MELANGKAH MENJAUH DARIKU

ketika jarak terasa kian panjang
ketika rindu kian menggeliat. tak malu
ketika katakata enggan mengurai makna dalam dada
aku pun memohon dalam isak-dalam diam-dalam deru

:Tuhan, beri aku lengan yang lebih panjang agar aku dapat menjangkau punggungnya.

tapi, jarak pun
kian jauh-kian jauh-kian kian jauh-kian jauh…
aku tergugu dalam kelu

=================================================================
Dimuat di Majalah Story

METAFORA LAUT (Versi Revisi)

: Fany Cahya Ning Tyas

laut biru berhias ikanikan hitam.kecilkecil
lincah menari beriringan membentuk rindu
: antara kalian

kokoh kapal pesiar paksaku melihat kemesraan
tanyaku dalam cemburu
: tibakah musim kawin?

cerobong asap membakarku. Mengepul--gelegak
saksikan ikanikan itu merayumu tanpa malu
terjebak kau, wahai kuda lautku
dalam cumbu masa lalu. tak mau dengar kataku

ingin kujerat badai dan arus gelombang lalu kuhempas
padanya--ikanikan kecil yang mengusikmu. Tanpa malu

makiku untukmu, kuda laut bodoh!!
sini kukuliti tubuhmu yang ternoda sisik
bukankah katamu dulu. kau hanya milikku seorang—cuma kau dan aku
aku kini. tak ingin menjadi satu dengan lampau.

: bukankah sendu telah kau hempas. Senja itu?

MUSIM PENGHUJAN

bau tanah menyergap. kuhidu kerontang
mengayun di udara. sebentar lalu menguap
terhempas angin

bulan sembunyi
mungkin menggigil oleh dera rinai yang kian menderas
langit pekat

rindu luruh di mataku
: samsara sunyi


(dari jauh aku melihat bayangmu berlari. menujuku)

HAIKU-HAIMU: MALAM MINGGU

/I/
Senja meluruh
Endap pekat di langit
waktu bertemu.

Senyumku likat serupa laku kucing. menyambutmu


/II/
Bulan mengendap
Bintang mengerling genit
rindu bertaut.

Sepakat mengujar dalam sunyi yang tercekat di tenggorokan

MENGENANG SENJA

Usah menekuk tanya pun berburuk sangka
nantiku kali ini bukan untuk
berkisah tentang rindu yang membatu. beku
atau mengaduh kalau bulanku repih. kelu.

Tak ingin berlama-lama. Bukankah senja sudah surut?

Kataku tanpa ragu:
hanya ingin mengembalikan senyum yang kemarin tertinggal 
mungkin kau terlupa memungutnya saat
beranjak pergi: menghujamku pilu.

aku pergi sambil menggenggam sepakat: takkan menoleh walau hati memucat oleh genangan air mata.

: selamat tinggal kenangan.

HAIKU-HAIMU: SESAL

Separuh bulan
sepi mencekik malam
rinduku maki

Sembilu yg menikam jantungmu, kini di jantungku

SUMPAH DI ANTARA RERUNTUHAN

 Ambacang, 30 September 2009

Kekasih, bukankah di sana pernah ada janji
di jemari telah melingkar tanda;
tidak ada kau tidak ada aku--hanya kita

tetes air mata ungkap bahagia
lirik doa mengalun dalam janji depan altar suci

demikian mereka bukan lagi dua tapi satu, tidak dapat dipisahkan oleh manusia kecuali oleh maut dan kematian

namun…

ada tanya yang entah kupertanyakan pada siapa
tentang sayap yang dipilihkan untukmu.
kau terbang menuju taman firdaus. kepulanganmu
: altar abadi lain. bertemuNya

mengapa lindungmu menyemat duka lain dalam fana?
tahukah kau, aku terlunta dalam ketidakberdayaan
di sisa nafasku. entah kapan bisa menujumu yang entah.
: sumpah yang kita ikrarkan kemarin, tertimbun di antara reruntuhan.

Ah, kekasih… mengapa tak membiarkanku mengikuti langkahmu. Mengapa pupus tanda setia di kening yang kemarin kau kecup. Mengapa?

ISA

Isa mati dalam gelas perjamuan saat kuteguk dunia dalam kelu
kujajakan hati pada berhala; kujual nurani demi kepingkeping emas

Isa tercecer dalam lariklarik kata
pada kesaksian di gerbang-gerbang katedral
pada pujianpujian panjang. memuakkan
pada seruanseruan kosong. tak bermakna

Isa mati dalam hati saat kutawarkan kasih semu
kusangkal Dia dengan gairah dunia
aku pun hilang bentuk.
Remuk

BINGUNG

aku tak tahu,
apa harus merasa iba atau malah tertawa
melihat pemimpin negeriku
ikut berlakon dalam ketoprak humor. tadi malam

MENGIRIM KENANGAN

Aku telah memutuskan. Aku akan melupakannya dan membuka lembaran baru. Tanpanya. Tanpa seseorang yang pernah membuat jantungku berdenyut lebih cepat. Tanpa seseorang yang pernah kutitipkan sepotong hatiku. Seseorang yang pernah mengukir janji di terminal keberangkatan dulu.

Aku mulai mengumpulkan segala hal yang mengingatkanku tentangnya. Seluruh kenangan baik yang terpajang di dinding kamar, tergeletak di atas meja kerja, berceceran dalam album-album foto, tersimpan dalam kotak pesan, termasuk kata-kata dalam catatan harianku. Aku mengumpulkan semuanya tanpa sisa. Aku sudah memutuskan, tak ada lagi penantian untuknya. Aku akan mengembalikan seluruh kenangan ini padanya.

Pukul delapan malam, berarti sudah hampir satu jam aku mondar-mandir dalam ruangan 4x4 m ini sembari terus memungut benda berlabel kenangan tentang dia. Ternyata sangat banyak, gumanku. Aku memandang kardus mie instan yang kubeli dari warung mbah Ijah sore tadi, sepulang mengajar. Ternyata kotak ini tak cukup menampung seluruhnya.

Hah! Aku melengos. Napasku terengah-engah karena lelah. Aku menghenyakkan duduk di atas sofa yang berada di pojok kamar. Berpikir, “Bagaimana caranya aku mengepak seluruh benda ini? Banyak sekali. Hah…” Aku mengedarkan pandang pada benda-benda yang berantakan di lantai. “Pantas saja aku tak bisa melupakan si brengsek itu.”

Brengsek?

Ah, sebenarnya dia tak benar-benar brengsek. Bahkan bila dilihat dari penampilan, siapapun setuju kalau dia terlalu sempurna untuk julukan seorang brengsek. Sebenarnya dia lelaki yang sangat memikat untuk diberi label kekasih. Tak dapat dipungkiri bila dulu aku begitu mencintainya. Tutur kata yang lembut, senyum yang memikat, tak romantis tapi mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita, dan…

Damn! Aku menggeleng. Buru-buru meralat apa yang baru saja melintas dalam kepalaku. Aku mengetuk-ngetuk pelipisku dengan geram.

Tidak! Takkan kuijinkan kenangan-kenangan itu mengusik keputusanku. Aku menghela napas tak panjang. Menyandarkan bahu yang terasa begitu penat. Bagaimana aku bisa melupakannya bila seluruh waktuku hanya untuk mengenangnya? Segala hal tentang dia. Cuma tentang dia. Bahkan sofa ini pun mengukir kenangan tentangnya. Di tempat inilah aku selalu hinggap saat suaranya menyapa. Aku selalu melayang begitu mendengar senandung rindu dari seberang sana. Di seberang pulau, di kota yang di juluki Paris van Java.
Sudah tahun ke empat, sejak kami membuat kesepakatan di depan terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Sejauh apapun takdir memberi jarak di antara kami, takkan mengubah apapun.
Aku mempercayainya. Selalu. Kuatir yang menerjang saat orang tuaku memintaku kembali ke Medan begitu menyelesaikan studi, lenyap sudah. Aku percaya bila kisah yang pernah kami jalin takkan berubah, pun oleh jarak.

“Mungkin ini salah satu ujian yang harus kita hadapi,” dia menyatakan itu tanpa segurat keraguan. Air mata ketidakrelaan dengan lancang menetes di pipiku. Satu per satu. Dia menyentuh wajahku lalu menatapku penuh arti. “Aku mempercayai cinta kita. Aku mempercayaimu, Tere. Biar percaya ini yang menguatkan cinta kita. Tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.” Perlahan dia menghapus rinai yang menetes di pipiku sembari berujar, “Aku mau menjalani ujian ini. Aku harap kau pun demikian.”

Dia menggenggam jemariku. Erat.

“Aku akan menjemputmu. Suatu hari nanti. Saat aku telah memperoleh hidup. Saat aku telah mampu untuk menghidupimu dalam hidupku. Aku janji, sayang.”

Lalu seruan dari board pengumuman mengingatkanku bila kisah kami harus berhenti sejenak, tapi dalam kepal jemariku ada setumpuk percaya. Itu cukup sebagai bekal. Aku pun mengucapkan kata pamit. Dia memelukku dalam isak yang tertahan.

Beberapa kali aku menoleh ke belakang, menatap sosoknya yang menatapku sendu. Aku melambai pelan. Matanya tersenyum.

I love you always,” aku membaca gerak bibirnya. Aku mengangguk dan berbisik, I love you too.

Indah bukan? Tapi kenyataan tak seindah kata-kata. Mimpi pun melebur dalam kecewa.

Air mata menetes. Aku merasakan nyeri di ulu hati.

Cobalah beri dia kesempatan. Sedikit lagi. Mungkin dia memang belum siap, hatiku berbisik. Lirih. Takut kalau aku akan tersinggung. Tapi aku terlanjur terluka.

Apa! Kesempatan! Apa belum cukup ketidakpastian yang dia hujamkan? Hah!

“Mengapa tak memberi kabar atau membalas smsku, Gen?”
“Ah, aku lupa. Maaf. Kamu tidak marah bukan?”

Aku menggumankan sinis, mengejek diriku, mengejek hatiku, mengejek bibirku yang selalu menggumankan kata tidak apa-apa untuk kelalaian seorang Genta.

Trrr-trrr-trrr…

Getar ponsel mengejutkanku. Kepalaku serasa berat, kantuk menggantung di mataku. Badanku dijejali penat. Aku melirik weker yang bertengger di atas meja, di sisi ranjang. Pukul 11.54 WIB.
“Halo, sayang. Ah, syukurlah kamu masih terjaga. Belum terlambat bukan untuk mengucapkan selamat ulang tahun, my dear.”
“Sepertinya kamu sibuk sekali, Gen hingga lupa hari ini.”
“Eh, aku…Eh, maaf…”
Tit-tit-tit
Percakapan terputus. Aku melengos. Kembali terbenam dalam kecewa.

Lihat! Bahkan ulang tahunku pun dia lupa. Bukan cuma itu, dia juga melupakan moment-moment penting lainnya, termasuk hari jadi kami. Dan kemarin malam adalah puncak keruntuhan toleransiku. Dia telah menghujamkan sebilah pisau di hatiku.

“Ter, apa kau benar-benar mencintaiku?”
“Mengapa bertanya seperti itu?”
“Entahlah, aku selalu dihantui perasaan takut. Aku takut tidak bisa bersamamu.”
Ada-ada saja, dengusku. Kesal karena dia meragukan perasaanku.
“Lihat! Kau begitu sempurna. Cantik, baik, lembut, dan memiliki karir yang menjanjikan. Siapapun pasti ingin menjadi pendampingmu kelak.”
“Tapi aku hanya menginginkanmu.”
Dia menghela napas.
“Entah mengapa aku selalu merasa diriku belum pantas untuk mendampingimu,” lirihnya. Aku terhenyak. “Aku hanya seorang lelaki dengan segala ketidakmapanan bahkan untuk mencukupi kebutuhanku pun aku masih kelabakan apalagi mengajakmu dalam takdirku. Ah, aku tak tega membuatmu menderita.”
“Mengapa seenaknya berkata kalau aku akan menderita?” Suaraku tercekat. “Aku telah siap, Gen, sejak dulu. Apa aku pernah mengajukan syarat ketika mengatakan iya? Apa aku pernah berkata kalau dirimu tak sempurna hingga tak layak mendampingiku? Apa aku pernah menyatakan hal itu?” Air mata mulai mengalir.
“Maafkan aku, Tere. Aku tak ingin mengecewakanmu.”

See! Lalu kesempatan apa lagi yang akan kau berikan, hah! Aku menuding-nuding ketololan hatiku.
Aku bangkit. Aku telah memutuskan keluar dari lingkaran ketidakjelasan maka aku harus menyelesaikannya sesegera mungkin.

Dengan cepat aku mengumpulkan seluruh benda-benda yang masih berserakan lalu mengambil cutter dari dalam laci meja kerja. Tak ada cara lain, aku pun mengiris-iris seluruh kenangan ini menjadi repihan agar muat dalam kardus. Termasuk nama yang masih melekat di hatiku. Aku mengeratnya. Aku tak mau ada yang tersisa. Seluruhnya harus dikepak. Harus!

Hatiku berdenyut tak karuan, nyeri. Telaga di mataku membuncah. Setitik air menggantung. Aku segera menghapusnya, juga menghardik hatiku. Keras. Sudahlah! Usah ditangisi. Semua sudah berakhir, ujarku. Tapi hatiku masih menggeliat. Gelisah. Aku kian geram. Aku menyambitnya.

“Aku tak mau merasa nyeri lagi. Ingat! Jangan cengeng.”

Bergegas aku mengambil spidol marker dari laci meja kerjaku. Menutup kardus yang telah penuh dan melekatkan selotip hitam di atasnya. Berkali-kali hingga rekat. Lalu menggoreskan sebuah alamat juga sebaris ucapan: Selamat tinggal kenangan.

Aku menghembuskan napas lega. Sekarang aku hanya perlu mengangkutnya ke luar agar pak Min mengirim paket ini besok. Aku melirik weker di meja. Sudah beranjak ke angka sembilan. Semua sudah selesai. Takkan ada lagi kenangan tentangnya.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang, memeluk Teddy bear yang selalu menemani malam-malamku. Aku menemukan seulas senyum, sepertinya dia pun setuju dengan sikapku. Aku memejamkan mata.

“Sejauh apapun takdir memberi jarak, takkan mengubah apapun dalam kisah kita. Percayalah.” Aku menatapnya. Sendu.

“Mungkin ini salah satu ujian yang harus kita hadapi, Re.” ucapnya tanpa segurat keraguan. Air mata ketidakrelaan dengan lancang menetes di pipiku. Satu per satu. Dia menyentuh wajahku lalu menatapku penuh arti.

“Aku mempercayai cinta kita. Aku mempercayaimu. Biar percaya ini yang menguatkan cinta kita tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.” Perlahan dia menghapus rinai yang menetes di pipiku sembari berujar, “Aku mau menjalani ujian ini. Dan aku harap kau pun demikian.”

Aku mau menjalani ujian ini. aku berharap kau pun demikian…Aku berharap kau pun demikian….. Aku mau menjalani ujian ini. aku berharap kau pun demikian…

Aku tersentak. Setetes air mata jatuh, menyentuh punggung tanganku. Aku meraba pipiku yang basah.

Ternyata aku melupakan sesuatu. Mimpi. Selama ini dia selalu mengisi mimpi-mimpiku. Lalu bagaimana caranya menyertakan mimpiku dalam paket itu?

Aku menjatuhkan kepala dalam ketidakberdayaan.

========================================================================
Dimuat di majalah Femina edisi Agustus 2009
9.15.2010 | By: Fairynee

SABDA HUJAN RINDU

: Apa yang harus aku ceritakan tentang hujan sore ini?
camar bergegas pulang lebih awal
memilih mendengkur dengan cerita kembara yang mungkin belum utuh
katak bersorak. menabuh girang
sementara para jangkrik sibuk menyajikan musik pengiring
hingar bingar--pesta menyambut hujan
lalu dari kejauhan langkahlangkah panjang dan tergesa
menyibak rinai dengan muka pucat.

: Apa yang harus aku ceritakan tentang hujan sore ini?
terik tiba-tiba saja lindap
tetestetes air mengalunkan gigil
merasuk hingga ke tulang. lelampu jalanan basah kuyup
mengigau tentang sunyi yang mulai mengekal. pekat turun perlahan

Tak beda dengan awal musim penghujan tahun lalu bukan?

Tapi kali ini, tak ada kau yang sedang menggenggam Hujan Bulan Juni
menjelma menjadi Sapardi
: mendendangkan sabda rindu.

Pernahkah aku mengujar jujur, kau tak perlu menjadi pujangga untuk mengajarku memaknai senyummu?

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masuk sebagai sepuluh terbaik dalam lomba menulis puisi cinta majalah Story
Gambar diunggah dari www.google.com

HAIKU-HAIMU: MALAM MINGGU

/I/
Senja meluruh
endap pekat di langit
waktu bertemu.

Senyumku likat serupa laku kucing. menyambutmu


/II/
Bulan mengendap
bintang mengerling genit
rindu bertaut.

Sepakat mengujar dalam sunyi yang tercekat di tenggorokan

POTRET KENANGAN

:Kisah bingkai tua yang tersudut di pojok, mengulum sepotong kisah tentang senyum

Waktu pernah berkisah tentang
senyum yang mengembang di ambang senja
kala terik lelah, menyerah dalam dengkur
jemari bertaut dalam rindu yang merepih: semburat bahagia

kisah ini tentang bidadari bersayap senja, perempuan itu suka bercerita
membagi bahagia sama rata;
mengikis amarah yang tertumpuk dalam genggam sang kekasih--merangkul sendu yang ditiupkan di ubun-ubun--mengelus kesal yang mengendap di dada kedua buah hati
: bukti cintanya mengekal.

mereka menuju senja dalam gelak. tertawai bayang yang kerap cemburu
membingkai senyum dalam kenangan

lalu waktu mengeja lampau.
senja berganti. Berkali-kali.

Kini senyum tak lagi menoreh
sepi menggertak, ditimpali tangis dan maki
saling mengumbar emosi di atas mimbar—atas nama keadilan

cinta yang kerap mereka jaga kini terpekik di bawah kucur keran
sembilu menyayat nadi. kenangan mati

(senyum itu masih mengekal. Di dinding yang beku oleh lapuk air mata)

SALAH RINDU

Teruntuk mendung yang kerap bertandang ke sunyiku
pintaku ampun atas pijarpijar yang tak mampu ku ingkar
gemuruh-guruh. tak dapat kuhenti
padahal hanya sesorot mata dalam rentang waktu yang tak terbilang
cuma sedetik
:Senyumku malah rekah

(mungkin aku terlalu kekanakkanakan mengartikan tanda,
“Ayolah…itu cuma selarik sapa untuk pertemuan pagi hari yang sama dengan sebelumnya.”)

Salahku memang bermain rindu
menyangka api sekedar suam yang akan mencairkan beku
di rongga yang kerontang oleh jarak yang begitu angkuh.
tatap teduh menghujam
menusuknusuk setia yang sudah kupancang dalam mimpiku. senja itu.

Bimbang meraja kala memejam mata
dalam mimpi tersebut dua rindu--rinduku yang untukmu
terantuk ragu membatu
kini tertimpa rindu akan seulas senyum pada pagipagi berikutnya.

: ah, mungkin aku yang salah mengartikan tanda

PERTUNJUKAN TERAKHIR

Tak ada tepuk tangan
Tak ada pekik riuh

Sepi menghentak logika; derak menderak,
gemuruh tanya dalam riak ragu; membuncah
sementara lariklarik nada yang kerap kita petik. dulu
perlahan samar lalu
bungkam dalam kelam yang mengekal
mencekik napas hingga terengah

Cemas merayap melalap hati yang meronta. kian sumbang

”cepatlah datang dan akhiri elegi ini, atau
Biarkan senarsenar ini melenting dalam desah terakhir”

: sudah selesai, desisku. Meluruh

PENJAJA MIMPI

doadoa berkejaran
menggelinding di setapak lengang
lingkar terus berputar
bunyinya berdenyit di sela gigil yang beradu
acap enggan searah dengan nyata.

pagi meninggi
menggerus keluh menetes peluh
tapak pun kian melepuh
menyusuri jejak asa yang entah berujung ke mana.

suaraku sudah parau
menjajakan mimpi yang kuadon tadi malam
di sela letih dan rengek miris--meminta bulan yang tak mungkin tergapai
Angan nyalang membayang
akan tanya yang menggelayut. malam nanti
: mak, bawa apa hari ini?

Haruskah aku menunjukkan saku yang masih kosong atau mimpi-mimpi yang masih utuh di bakul?

DALAM PENCARIAN

kau sering berujar. penuh keluh
: mengapa tak mendengarkanku padahal
aku telah lelah berseru.

Dia pun mengajukan tanya
: pernahkah kau mendengar saat Aku menyeru?

kau tak bergeming dari lukamu

kau sering bertutur. mengucur air mata
: mengapa meninggalkanku dalam ketidakberdayaan padahal
aku berkali-kali mengetuk.

Dia bertanya. Lagi 
: pernahkah kau sadar bila Aku tak pernah beranjak;
kau malah menjauh saat Aku mendekat.

kau masih tak bergeming dari dukamu. tak mengerti

lalu kau mengayun langkah
mengulum sejuta tanya yang belum ada jawab
memalingkan wajah dan mencaricari–nya yang lain
kau pikir:
: mungkin dia memang sedang sibuk. di suatu tempat

SAJAK TENTANG STASIUN YANG MERINDU KERETA

Bukankah aku tak pernah marah bila kau terlambat datang
karena pikirku: yang namanya kereta memang selalu terlambat

Usah cemas usah pula melenguh. aku takkan beranjak walau telah
memucat-menggigil oleh genangan duka yang kian meninggi
:karena aku stasiun tempatmu berhenti walau harus pergi lagi. Kelak.

(sore itu.aku melihat kaca jendelamu mengembun. Entah karena air hujan yang memecah entah pula air mata yang meleleh. Tapi aku sangat tahu bila itu bukan air matamu)

STASIUN KERETA

Kau selalu bercerita tentang kereta yang senantiasa melaju
lupakah kau akan stasiun yang tak pernah lelah menunggu?


RUANG KENANGAN

Rinduku pada kebun di belakang sekolah
menjelma menjadi sekotak kenangan. melirih
dalam katakata
rerupa tawa-canda-pun jemarijemari kecil yang saling
bertautan. menyatu dalam larik cerita
tak lapuk oleh deru kereta

rinduku pada kebun di belakang sekolah
mengusik selarik tanya yang hingga kini belum punya jawab
: apa kau mencintaiku?

KENANGAN DI BAWAH POHON NATAL

Dengan bersusah payah aku berusaha menyeret kotak itu keluar dari dalam gudang. Aku sedikit kewalahan karena kotak ini terlalu besar untuk perempuan berukuran mini sepertiku. Debu-debu berhamburan, menggelitik syaraf sensorik indera penciumanku. Aku berkali-kali bersin.

 Peluh mengucur. Aku mengusap wajahku dengan punggung tangan yang telah dipenuhi debu pula. Tak pelak debu itu kini terjebak di antara titik-titik keringat. Wajahku kini belepotan debu yang telah membentuk bercak kehitaman. Aku tak peduli. Aku hanya ingin mengeluarkan kotak ini dan memasang sebuah pohon natal. Seperti biasa.

Biasa? Ya, acara pemasangan pohon natal tiap akhir tahun memang biasa dilakukan oleh keluargaku. Katanya tradisi menjelang penyambutan perayaan natal.Tapi tahun ini entah mengapa terasa begitu hampa bagiku. Semenjak bahagia memutuskan meninggalkanku dalam kesendirian. Tanpa penopang. Tanpa pegangan yang menguatkanku. Tak ada lagi suka cita yang diwarnai derai tawa yang ku rasa. Hatiku benar-benar kosong. Kosong.

Hah! Sebenarnya aku enggan merepotkan diri untuk melakukan rutinitas ini. Toh, aku cuma punya hampa dan kenangan yang akan menorehkan luka. Ya, luka yang bersusah payah aku hempaskan dalam kesibukanku selama ini. Lagipula sudah sangat terlambat. Besok sudah tanggal 25, artinya besok adalah hari perayaan. Biasanya sebentuk pohon natal nan tinggi menjulang telah berdiri kokoh di pojok ruang keluarga dengan taburan hiasan yang cantik sebelum tanggal 23 Desember.

Ah, andai Deana tak mengajukan tanya dengan nada meminta, aku benar-benar enggan melakukan rutinitas ini.

Peluh kian mengucur. Aku masih berusaha dengan sekuat tenaga menyeret kotak ini menuju ruang keluarga. Aku tak ingin mengecewakan Deana, putri semata wayangku yang tiga bulan lalu berusia genap tiga tahun. Yang tiga bulan lalu pula ditinggalkan oleh bahagia. Dia milikku satu-satunya di dunia ini. Aku takkan mengecewakannya.

Tiba-tiba saja, satu kekuatan bertumpu di kedua belah tanganku. Genggaman erat di atas jemariku membuat beban ini terasa lebih ringan. Aku menoleh. Kaget. Aku menemukan sebentuk senyum tepat di belakangku.

“Sayang, mengapa tak memanggilku untuk membantumu?” tanyanya dengan suara berbisik, tepat di telingaku. Ada deru napas lembut menyentuh pipiku.

“Apakah begitu susah menyingkirkan sedikit saja prinsip kemandirianmu dan memintaku untuk membantumu? Padahal aku selalu berada di sisimu, tak pernah beranjak sedikit pun”

Aku tersenyum. Manis. Tak menyahut pertanyaan sekaligus sindiran halus yang benar-benar menyentilku itu. Aku meneruskan pekerjaanku tapi kali ini dengan bantuannya.


Sebentar saja. Sebentuk pohon natal telah menjulang dengan anggun di pojok ruangan ini. Aku hanya perlu menghiasnya dengan rangkaian lampu warna-warni, bola-bola, dan pernik lainnya.

“Ma, aku ingin memasang bola-bola dan bintang ini, ” tutur Deana dengan binar mata lucu. Penuh semangat. Kedua tangan mungilnya dijejali bola-bola warna-warni dan sebentuk bintang besar. Dia tampak kewalahan menampung seluruh benda-benda itu dalam genggamannya. Sementara kotak-yang berada dekat pintu-tempat benda-benda penghias pohon natal itu tersimpan tampak berantakan.

Aku berjongkok.

“Tapi Dea janji ya, akan bobo setelah ini?”

Deana mengangguk pertanda dia tak menolak syaratku.

Aku tersenyum lalu mengangguk kecil. Deana girang. Dia terlihat penuh semangat membantuku menghias pohon natal ini.
...

“Indah bukan?” tanyanya membuyarkan lamunanku yang terpaku pada pesona kerlip lampu-lampu kecil yang menghias pohon natal. Tiba-tiba saja dia telah berada tepat di belakangku dan kini memeluk pinggangku. Mesra. Dia menyandarkan dagunya di bahuku sehingga pipi kami pun saling beradu. Hangat.

Pandangan penuh kekaguman masih membias dalam mataku. Rangkaian lampu-lampu kecil itu ganti bergantian mengerjap seolah saling berkejaran menuju puncak. Di sana tampak sebuah bintang besar bermegah dengan sangat anggun.

Wush...

Angin bertiup. Lembut. Sepertinya aku lupa mengunci jendela sehingga dingin menelusup masuk. Dingin dengan lancang menitipkan gigil dalam gemerutuk dan meniupkan sepotong rindu. Ya, rindu yang begitu menyesak, yang memaksaku menangisi ketidakberdayaan hampir tiap malam.

Bergegas aku menarik daun jendela dan menguncinya. Tapi rasa dingin itu masih tetap ada, enggan pergi. Ah, bukan dingin tapi hampa. Hampa yang begitu pekat dan mengggigit.

Aku merasakan nyeri di ulu hatiku. Sementara rindu enggan beranjak walau aku telah menghardiknya kasar. Rindu itu malah mengerjap dalam kabut di mataku yang mulai menebal.

“Kamu tahu, sayang. Binar matamu lebih indah dari apapun, juga dari binar lampu-lampu itu,” tuturnya lembut di telingaku. Aku tak bergeming, masih saja menatap ke arah pohon natal itu.
Sebenarnya aku tersanjung akan pujiannya tapi aku tak mau membuatnya merasa berhasil hanya dengan pujian kecil seperti itu.

Dia memutar badan. Kini tatapan kami saling beradu. Aku bisa menatap manik matanya. Mata itu tersenyum sebagai wujud ketulusan atas pernyataannya barusan.

“Kamu tahu. Aku berjanji takkan membuat mata ini mengucurkan air mata,” tuturnya sambil menyentuh daguku. “Aku akan selalu membuatmu bahagia.”

Aku masih tak menyahut. Tapi kali ini karena aku terlalu sibuk mengagumi binar mata itu. Kami tenggelam dalam diam. Entah berapa lama.

Dia menggenggam jemariku lalu mengecupnya lembut. Tiba-tiba saja dia mengedipkan mata lalu berbisik,

“Maukah Tuan Putri berdansa denganku?”

Aku menggeleng pelan sebagai bentuk penolakan atas kejahilannya. Wajahnya merengut. Aku tergelak kecil melihat mimiknya. Mimik itu serupa anak kecil yang ngambek karena tak diberi permen.

Tapi mimik itu cuma sebentar karena dia telah melangkah menuju music player lalu memilih priringan hitam dan memutarnya. Instrumen lagu I’ll be home for christmas mengalun lembut.
Hmm, tampaknya dia mengerti bagaimana menaklukan penolakan. Tapi aku masih dalam keenggananku. Aku pun menggeleng sambil menangkupkan kedua tanganku di dada dan menyodorkan tatapan penuh ejek. Well, maaf saja. Tak semudah itu menaklukkanku.
Dia tak menyerah. Dia melangkah menujuku dengan penuh percaya diri lalu,

“Aku mohon. Sudilah kiranya Tuan Putri mengulurkan tangan dan mengabulkan permintaan hamba. Aku mohon, berdansalah dengan hamba yang begitu mengagumi anda,” pintanya dengan lirih dalam posisi berlutut. Dia mengulurkan tangan ke arahku. Wajahnya memelas penuh harap.

“Aku mohon...”suaranya kian lirih.

Mukaku merona merah karena malu mendapat perlakuan manis seperti itu, malah sedikit norak menurutku. Dengan ragu-ragu aku menyambut uluran tangannya.

Dia bangkit dengan sebentuk senyum kemenangan.

Musik terus mengalun. Lembut.

Aku terbuai.

Aku merebahkan kepala dalam pelukannya dan membiarkan musik menuntun gerakan kami. Sesekali kakinya menginjak kakiku. Aku mengaduh. Permintaan maaf meluncur dari bibirnya disela derai tawa.

Kami terus menari dalam alunan lagu yang begitu lembut. Tak peduli bila sang waktu telah melesat cepat dan di atas sana rembulan pun mulai berbenah.

Aku benar-benar bahagia.

Sangat bahagia.

Ah, aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Sungguh! Aku tak mau beranjak sedikitpun dari tempat ini bahkan aku tak ingin menghentikan irama lagu yang berpendar-pendar di tiap sudut ruang. Aku hanya ingin terus menari dalam pelukannya. Bersamanya. Selamanya. Tak mengapa bila waktu berhenti
Sungguh aku tak mau apa-apa lagi. Aku hanya menginginkan dia.

Aku hanya menginginkan dia.

Aku hanya...
...
“Mama?”

Aku tersentak.

Aku mengangkat kepalaku dan mencari pemilik seruan itu. Sosok Deana dengan boneka beruang lusuh dalam pelukannya membias dalam mataku yang telah dipenuhi kabut. Bahkan setitik hujan telah menggantung dan hampir jatuh.

Deana memandangku dengan raut penuh kebingungan.

Aku tercekat. Dadaku serasa terhimpit bongkahan batu besar saat melempar pandang ke sekelilingku.
Ruangan ini masih temaram. Hanya ada binar lampu-lampu natal yang ganti bergantian mengerlip seolah saling berkejaran ingin menyentuh bintang besar yang bermegah di puncak. Lagu I’ll be home for christmas pun masih mengalun lembut.

Tapi,

Tapi aku tak menemukan sosoknya. Telingaku pun tak mendengar suara lirihnya dan tak merasakan deru napas hangat di pipiku. Tak ada dia. Tak ada!

Tes!

Titik hujan itu akhirnya jatuh. Tak hanya setitik tapi menderas tanpa bisa kuhentikan.

Tak bisa sama sekali

***