11.16.2010 | By: Fairynee

HUJAN (DIMUAT DI OASE KOMPAS 16 November 2010)

Aku heran, kenapa kau sangat menyukai hujan. Tiap kali langit menghitam, guruh membahana, wajahmu mendadak cerah. Lalu kau menadahkan kedua tanganmu menghadap langit, seolah sedang menjalankan ritual penyambutan sang maha hujan. Sungguh aku tidak habis pikir, kenapa kau sangat menyukai hujan padahal aku bisa melihat dengan jelas, bibirmu memucat di bawah rinainya, sementara dadamu naik turun karena megap diguyur bulir-bulir hujan yang bertubi. Dan bisa aku pastikan, setelah ini kau akan terserang flu yang sangat hebat, tidak jarang pula disertai demam yang berkepanjangan. Walau begitu, tiap kali kau mendengar gemuruh, kau pasti akan berlari ke halaman, melakukan kembali ritual itu dengan khusuk.

“Aku suka hujan, itu saja. tidak alasan lain,” ucapmu sama sekali tidak menyahut kebingunganku. Senyummu tersungging tipis, dan ternyata cukup manis di mataku, buktinya aku sempat terperangah dalam dua detik. Andai saja kau tidak membuka suara, aku takkan menyadari kalau kau terheran dengan tatapanku yang tajam.

“Kenapa kau suka hujan?”

Lagi-lagi kau tersenyum. Mengedikkan bahu sebentar lalu pandanganmu menerawang ke langit yang entah. Kusebut entah karena tidak cerah, tidak pula mendung, seperti sedang dirundung ragu. Mungkin langit sedang bimbang, menurunkan rinainya karena mengkuatirkan daya tahan tubuhmu yang melemah, sepertiku saat ini. Sejak dua hari sebelumnya kau bermain hujan tanpa henti, tak peduli waktu telah tergelincir. Kau saja yang tidak menyadari banyak yang meresahkan efek dari kesukaanmu yang ajaib itu. Padahal dokter telah berkali-kali mengingatkanmu untuk lebih ekstra menjaga kesehatan setelah insiden pingsan dua minggu yang lalu.

Pasti pawang hujan sedang melakukan ritual pengusir hujan, gerutumu tidak suka melihat kebimbangan langit. Di ujung komplek memang sedang berlangsung hajatan besar seorang pejabat. Mungkin dia menyewa seorang pawang hujan yang piawai menghardik hujan agar hajatan yang menghabiskan banyak dana itu tidak berantakan.  Kadang aku bertanya (tapi bukan kepadamu), setelah mengerahkan segenap kekuatannya, berapakah nilai yang pantas untuk menghargai sang pawang yang berjasa itu? Apakah lebih mahal dari biaya membeli satu gaun pesta yang dikenakan si istri pejabat? Atau tanda mata yang dibagi-bagikan kepada para undangan yang datang? Tapi sudahlah, tidak baik memusingkan hal yang bukan menjadi urusan kita, bukan? Toh besok infotaiment akan mengabarkan berita yang lebih komplit lengkap dengan bumbu penyedap ala sinetron. Dan kita musti belajar untuk tidak gampang terprovokasi dengan berita-berita kacangan seperti itu, agar tidak bernasib sama dengan para pengungsi Merapi yang disergap panik karena media yang sangat suka menggunakan majas hiperbola ketika siaran.

“Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku suka hujan. Mungkin aku diperanakkan oleh hujan, atau memang jelmaan hujan. Kau pasti tahu, kalau dulu ibuku pun menghilang ditelan hujan, setelah itu tidak pernah kembali. Mungkin kelak aku pun demikian, menghilang bersama rerintik hujan ini,” sahutmu tanpa melepaskan pandangan dari langit yang masih menggantung bimbang.

Aku ingat cerita itu. Saat itu kita masih kanak-kanak. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, hujan menderas di luar, terburu-buru aku mendatangimu yang menggigil di muka pintu, dibujuk oleh mama yang sama herannya denganku melihat kedatanganmu. Bukan karena kami merasa terganggu tapi kedatanganmu memang tidak terduga. Lagipula, seingatku, mendunglah yang membuyarkan permainan kita tadi, kalau tak salah sekitar sejam yang lalu. Kalau hendak belajar bersama, sangat tidak mungkin, karena kau tidak membawa buku PR.

“Mama hilang ditelan hujan,” ujarmu terbata-bata disela isak. Mama mengajakmu masuk, mengelus rambutmu yang basah oleh air hujan. Setelah itu kau tidak berkata apa-apa lagi, tertidur pulas di pangkuan mama di sofa ruang tamu.

Mama memintaku untuk tidak mengganggumu. Sepertinya mama mengetahui sesuatu tapi tidak ingin bercerita padaku. Perihal itu, aku tidak suka sebab aku temanmu dan merasa punya hak untuk mengetahui apa yang telah mengguncangmu. Itu sebabnya aku mendesak mama berkali-kali untuk memberitahuku, bahkan aku menguntit langkah mama hingga ke kamar. Mama hanya mengusap kepalaku lalu menyuruhku mengerjakan tugas sekolah yang belum kukerjakan.

Lalu esoknya kau tidak muncul di sekolah. Bukan cuma sehari tapi esok dan keesokan harinya. Aku sempat mencarimu, tapi pintu rumahmu tertutup rapat, seolah tidak pernah ada kehidupan di sana sebelumnya. Ada segel di gerbang rumahmu. Saat itu aku sempat berpikir, aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi. Untung saja takdir berbaik hati dengan mempertemukan kita kembali di kampus ini setahun yang lalu. Walau kau sekarang terlihat sedikit berbeda, tidak cerewet, dan memilih menyimpan masalahmu sendiri atau mungkin lebih memilih bercerita dengan orang lain yang kau percayai, dan aku tidak berniat memaksamu untuk mempercayaiku, tapi rasanya cukup bagiku berada di sampingmu tiap saat.

“Wah, sudah hujan,” serumu kegirangan. Beranjak dari tempatmu, lalu menadahkan kedua tanganmu ke langit, kedua kelopak matamu terpejam sambil mengulum senyum. Langit menyambut ritualisasimu dengan meneteskan satu per satu bulir-bulirnya ke wajahmu. Semakin lama semakin banyak.

Kau menoleh ke arahku yang memandangmu ragu, seakan meyakinkan kalau kesukaanmu itu memang menyenangkan untuk ditiru. Kau memanggilku, menarik tanganku gemas, lalu menuntunku untuk melakukan hal yang sejak dulu kuanggap konyol.

“Menyenangkan bukan?” tanyamu ketika aku mulai larut dalam desau hujan yang ruah. Tiba-tiba kau mencipratkan air ke wajahku, tergelak sebentar, lalu berlari menjauhiku. Aku bersumpah untuk membalasmu, lalu mengejarmu yang masih tergelak melihat kegeramanku.

Tawa kita larut dalam rintik-rintik hujan.

“Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku suka hujan. Mungkin aku diperanakkan oleh hujan, atau memang jelmaan hujan. Kau pasti tahu, kalau ibuku pun menghilang ditelan hujan, setelah itu tidak pernah kembali. Mungkin kelak aku pun demikian, menghilang bersama rerintik hujan ini.”

Tiba-tiba saja bayanganmu perlahan memudar dari pandanganku. Aku panik, mengejar punggungmu yang menjauh. Tapi bayanganmu mulai pendar menjadi partikel-partikel yang sangat kecil, sebelum akhirnya larut dalam hujan.

Mungkin aku memang jelmaan hujan, dan kelak akan menghilang bersama hujan”

“Rain! Rain! Rain!”

Aku menyibak tirai hujan yang lebat, mencari-cari sosokmu dalam kegelapan. Hanya ada desah angin, suara air yang terantuk aspal jalanan, atau dedauanan yang bergesekan.

Mungkin aku memang jelmaan hujan, dan kelak akan menghilang bersama hujan”

***

“Mama, kenapa ada foto papa Rain di koran?” tanyaku sambil menenteng harian lokal yang memuat berita tentang papa Rain dan keluarganya.

Mama mengambil Koran yang kusodorkan. Terdiam sejenak, menyimak berita yang tertera di sana. Aku tidak mengerti kenapa. Air muka mama tiba-tiba saja keruh.

Aku membaca kembali judul berita yang ditulis besar-besar.

“Terbukti Melakukan Korupsi, Seluruh Asset Pejabat disita oleh Negara”

***

Biodata singkat:
Fairynee merupakan nama pena yang sering digunakan. Saat ini bekerja di salah instansi pemerintahan. Mulai menulis sejak sekolah dasar, namun belum pernah menerbitkan buku apapun hingga saat ini. Mengagumi karya-karya dari Chairil Anwar, WS Rendra dan Seno Gumira Adjidarma. Suka bertapa di toko kecilnya di www.katalaseku.blogspot.com.

 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Silahkan dibaca di http://oase.kompas.com/read/2010/11/16/03550754/H.u.j.a.n
11.08.2010 | By: Fairynee

HAPPILY EVER AFTER

: untukmu, Cinderellaku
Untuk sebuah kehilangan. Pesan-pesan mu , kisahmu aku sungguh paham.

Jangan pernah enggan untuk bertatap muka dengan luka, meski tentu saja itu menyakitkan. Sepanjang kembara perjalanan, sepasang matamu takkan menghadirkan ilusi dari sebuah kenyataan yang kadang tak memiliki solusi. Pertanyaan menggantung di sudut ruang yang kita bangun dengan airmata, kepedihan, kehilangan maupun cinta. Seakan meninggalkan hal-hal tak selesai tapi begitu tuntas seperti jam yang menunjukkan pukul 12 malam. Pesta telah usai, dan sepatu kaca hanya tertinggal sebelah - seperti sebelah hatimu.

Ah, sayang kurasa mungkin kita hanya mendatangi pesta yang salah dan jatuh cinta pada pangeran yang salah. Kita datang ke satu perjamuan yang salah alamat bak menghadirkan dongen lain yang headlines "never happy ending story". Stupid think right? Setelahnya kita menangisi untuk sesuatu yang bukan milik kita, dan bukan untuk kita.

Tapi ketahuilah, aku sangat bersyukur pernah datang pada alamat yang salah. Karenanya aku dapat memahami arti perjumpaan karena perpisahan, aku bisa memahami arti kasih sayang karena ada jejak luka (yang tak lagi ingin ku puja, ataupun aku eja bersama rindu dendam). Dengan kepala tegak aku harus juga mengakui kekalahan meski entah untuk apa, untuk kehilangan? untuk ego? untuk kesepian? (meski aku tertunduk malu untuk malu sebuah kegagalan, bukan begitu?)

Sudahlah, jika airmatamu sudah tak tahu lagi untuk apa maka biarlah bergulir untuk sebuah rasa syukur dan doa, yang mengajarkan kita untuk mengeja keikhlasan  yang kita tahu jalannya takkan sesempurna ingin. Cukuplah sudah duka para peri menghujani november yang basah karena airmata kesedihan.

Ayolah Cinderellaku, mari kita berjalan lagi seperti apa adanya hidup yang harus kita jalani sepenuh waktu sepenuh hari dan sepenuh kecintaan mu akan hal-hal kecil yang bisa membuat kita jatuh cinta lagi (terutama untuk cintaNYA). Kisah ini akan berlalu, dan pada saatnya nanti, pada masa yang tepat akan ada headlines di buku harianmu " Happily Ever After"  kisah yang tepat di tangan Sang Sutradara Kehidupan.


Life is tough. That's the same for everybody. 
giving up doesn't always mean you're weak, sometimes it means that you're strong enough to let go

Bandung, 7 Oktober 2010
*terlipat jarak dan waktu ^^

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Note: Catatan dari bidadari penenun air mata yang merenda rerintik menjadi menara
          Terima kasih mbak Ria.
http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/ria-aprilia/-happily-ever-after/462433451672