1.24.2011 | By: Fairynee

UNTITLED

Kuumpamakan saja matamu itu lautan yang luas
sembunyikan segala misteri juga jawab untuk tanya yang memang tak sempat kuujar
belakangan aku kerap terhanyut
diombangambingkan gelombang yang bergelung
:sesakkan dada

kuumpamakan saja matamu itu laut
dan aku ingin menjadi senja yang luruh di permukaanmu
:indah bukan?

SELEPAS HUJAN

selalu kubayangkan,
selepas hujan kita memandang lengkung pelangi sambil berandai,
: bagaimana jadinya bila pelangi itu kausemat di mataku?
1.23.2011 | By: Fairynee

DI SELA JEDA


Lalu dalam setengah perjalananmu
kau bersimpuh
tergugu menghitung getir yang pecah di dada
kecewa bergelung lalu setumpuk keluh yang terujar
buramkan mimpi yang tersembunyi di balik bantal
Sementara rindu telah beku, tak sempat dijenguk
bibir pucat menghitung resah tentang
esok yang memang tidak pernah pasti.

Nyatanya semua lalu serupa angin
dicatat oleh waktu dalam lembar yang disebut kenangan
(pikirmu, benar adanya, segala terjadi bukan tanpa seijinNnya)

Lalu kau meletakkan kuatir di atas meja perjamuan
meski lutut masih gemetar, kakimu melangkah mantap
:cukup dengan percaya. Besok akan baikbaik saja

(Kelak kau membaca kenangan dengan syukur yang tak henti meluncur)

Medan, 011911

GERIMIS TERAKHIR DI PENGHUJUNG OKTOBER


Ternyata genap dua purnama, gerimis bermigrasi ke mataku, jatuh lalu pecah di kaca jendela kamarku yang buram. Peraduanku hampir tenggelam, gagap, lalu tercekik sunyi yang paling pekat. Sementara aku melihat kau asyik bersulang dengan bulan yang kemarin kupikir telinga yang dipinjamkan bidadari malam untukku.

Dua purnama, bukan waktu yang sebentar, aku menghabiskannya demi entah. Mimpi yang entah, waktu yang entah, pun kenangan yang entah. Aku memang bodoh, menanti entah sambil mengingkari penanda. Padahal berulang kali, angin mengingatkanku, getir tersembunyi di balik matanya. kelak mengiris nadimu hingga kau tak sempat mengumpat sesal. Tapi percaya telah kuletakkan di meja perjamuan, ketika dia mendongengkan kisah tentang ksatria pemberani yang bertarung.

Aku tak sempat memaki saat menyadari selama ini kau membuat kesepakatan dengan bulan, mencari cara paling manis sebelum menikamkan sembilu yang telah kau asah tengah malam, kala aku terpulas. Bulan pecah di atas kepalaku.

Aku tersedak air mataku sendiri.

Medan, 30 Oktober 2010
1.22.2011 | By: Fairynee

PARODI TELEVISI

Sangat mengherankan,
setelah kemarin sibuk mengisahkan air mata
hingga aku megap dikepung getir,
tibatiba saja televisi berbaik hati
menayangkan parodi menggelikan tentang tikus yang beranak pinak di sarang ular.
mengadaada memang, tapi
setidaknya buatku lupa akan cemas tadi siang tersebab
harga mimpi yang kian merosot.
1.05.2011 | By: Fairynee

SUMPAH PALAPA

Berbangsa satu, bangsa Indonesia
anak-anak negeri mengemis di tanah orang. Diperjualbelikan serupa sapi digiring ke pembantaian demi sejengkal perut dan seperiuk mimpi yang tak juga matang.
ibu sibuk beranak, bapak lupa cara mengajar akhlak.


Bertanah air satu, tanah Indonesia
Bahkan mayatmayat menggotong kerandanya sendiri, mencari-cari tempat istirah yang belum diklaim hak milik, tanah yang katanya kepunyaan para penguasa telah digadai untuk mencicil biaya hura-hura di lantai dansa, atau membeli kenikmatan di negeri seberang yang kemarin diiklankan di layar kaca. Sementara jiwajiwa yang baru keluar dari rahim, melarung nafas di sungai keruh. cuma bisa melenguh karena tak bisa memandang getirnya sendiri membias di permukaan air.


Berbahasa satu, bahasa Indonesia
Sorry, syaya tjidak mengerti tuan punya maksud? Bisa you translate in English, Lidah gagu melafalkan rindu dalam bahasa ibu. katanya, tidak keren bila tidak mengekor jaman: budaya adalah aib.


Sepertinya kita memang harus bertanya maksud Gadjah Mada menggemakan sumpah agar mengerti bagaimana melafalkan dengan intonasi benar, tak sekedar serta dalam ritualisme perayaan semata.


: tidak mau bukan kelak mulut yang sekedar ikut-ikutan malah menyumpahimu kelak?