3.31.2011 | By: Fairynee

KENANGAN DALAM SECANGKIR KOPI

Kau juga tahu bukan, sebenarnya aku tidak pernah suka dengan kopi
Hidup telah begitu pahit, mestikah lidahku yang kelu mencecap pekat kepahitan lagi?

Tapi kau mengajarkanku melihat dari sisi yang berlainan
meneguk pahit dengan seruput yang paling nikmat
lalu aku melihat surga singgah di wajahmu.

Maka untuk kesekian kali, aku mengaduk rindu dalam secangkir kopi
kepulkan aroma yang teramat kukenal sebelum kantuk benarbenar menjatuhkan kepala dalam penyesalan yang paling dalam
tersebab aku tak pernah sempat membalas genggamanmu

Waktu masih berdetak. Lambatlambat, seperti gelisah atau malas atau mungkin entah,
perlahan kusesap, sambil mengenang napasmu yang menderu di telingaku,
senja itu, selepas menyimak hujan dari balik kaca jendela yang buram
*:cintaku padamu seperti pahit kopi ini, tak pernah hilang

(masih jelas dalam ingatanku, tibatiba lengkung pelangi berpindah ke bibirku yang sepagi tadi tak henti merutuk tumpukan berkas yang sepertinya beranak pinak. Lalu kita mentertawai rutinitas yang memang membosankan--Kita saja)
3.24.2011 | By: Fairynee

MINGGU PAGI

Seperti ada sesuatu yang hilang selepas langit mencatat gerimis yang berderak di atap semalam
desik dedaunan yang membentur jendela
lalu bunyi tiang listrik yang dipukul
menjadi stanza paling memilukan sepanjang ingatan.
entahlah, aku tak mengerti
mungkin sunyi telah mentabalkan gelisah di dahiku
seperti laut. aku tersesat dalam pengembaraan
selain deru dan gelombang yang menerjang, tiada isyarat apapun

rindu telah menjelma menjadi butirbutir doa
terlipat di sela jemari. khusuk

tergugu

menghitung mungkin
dalam tiada

20032011

HUJAN SORE INI

Musim hujan. tibatiba saja tiap makhluk menjelma menjadi pujangga
langkah-langkah tergesa
pekik klakson, atau
rerintik yang ruah lalu berkubang di badan jalan yang berlubang
entah mengapa selalu layak disajakkan.

waktu menjadi tidak berarti
itu sebabnya jarum jam lebih memilih patah
berhenti berdetak ketika kau tahbiskan rindu di keningku
dan senyummu selalu menjadi epilog paling menggetarkan tiap kali pertemuan--kita

:besok akan kubawa pelangi tanpa hujan, ujarmu sebelum
menghilang dalam gelap, mengerti gusarku ketika langit perlahan buram
aku tak menyahut
mengedipkan kelopak mata penanda percaya

sementara hujan masih menjadi latar dalam almanak ingatan