7.31.2011 | By: Fairynee

DAY 05: HUBUNGAN CINTA DAN KATA-KATA


Begitu selesai membaca buku 9 dari Nadira karya Leila s Chudori, ada perasaan sesak karena disajikan ending yang menggantung seperti itu. Berbagai pertanyaan muncul di kepala saya. Bagaimana kisah cinta antara Nadira dan Utara Bayu selanjutnya? Sejujurnya, sisi melodrama saya (yang mungkin banyak dipengaruhi berbagai kisah “kebetulan” dan “ketidaksengajaan”) menuntut happily ever after ending, seperti yang sering saya temukan di sinetron atau melodrama di televisi.
Well, saya tidak akan bercerita lebih banyak tentang novel ini karena topik 30 days me of me kali ini bukan meresensi atau membuat sinopsis mengenai buku yang telah saya baca. Topik 30 days me of me kali ini tentang discuss your feelings on the word “love” and the way it’s used in today.  Topik yang sangat luas untuk diuraikan dan pasti akan menyesatkan saya dalam kebingungan-kebingungan yang lain (tersebab saya sendiri bingung mengartikan kata itu), sehingga saya memutuskan untuk mengangkat masalah yang telah menarik perhatian saya sehabis membaca novel 9 dari Nadira menjadi sub topik dari 30 days me of me ini.

ANTARA NADIRA DAN UTARA BAYU
Hal yang menarik untuk dibahas dan berkaitan dengan tema cinta yang menjadi pekerjaan rumah saya ini adalah mengenai kisah cinta Nadira dan Utara Bayu yang sepertinya tidak akan pernah bertemu di satu titik. Di sini sosok Tara (panggilan Utara Bayu) digambarkan sebagai atasan Nadira yang tegas, terkesan kaku, dan meskipun selalu berada di sisi Nadira (bahkan membantu perempuan ini mencari bunga Seruni di segala sudut kota saat pemakaman ibunya), Tara tidak pernah sekalipun menyatakan perasaan yang disembunyikannya pada Nadira.
Perihal ini pernah saya perbincangkan dengan salah seorang teman, tentu saja dari sudut pandang masing-masing. Saya sebagai perempuan merasa pasti akan melakukan hal yang sama dengan Nadira, berhenti menunggu Tara melakukan sesuatu untuk memperjelas “kebersamaan” mereka selama ini, dan memutuskan untuk meraih sesuatu yang lebih pasti yang ditawarkan seorang Niko (meski pun pada akhirnya keputusannya ini justru membuatnya terjatuh kembali dalam kubang kepedihan yang lain lagi). Mengapa? Begitu teman saya bertanya, bukankah karakter Utara Bayu yang mencintai Nadira dengan tulus, menerimanya apa adanya termasuk polemik yang dihadapi perempuan itu, dan senantiasa “ada” saat-saat paling sulit dalam hidup Nadira merupakan karakter pria yang banyak diinginkan perempuan manapun?
Benar. Tapi seorang Utara Bayu yang mengaku mencintai Nadira malah melupakan satu hal yang menurut saya penting. Dia tidak pernah benar-benar mengulurkan tangan ke arah Nadira yang terperosok ke dalam lubang kubur yang sesak, penuh teka-teki, dan gelap sejak kematian ibunya. Dia hanya berdiri di bibir lubang, memandangi Nadira yang setengah mati berusaha keluar dari lubang tersebut. Bahkan ketika dia menerima selembar “undangan pernikahan” yang semakin memustahilkan ikatan perasaannya dengan Nadira, Utara Bayu hanya murung dan gelap, dan sekali lagi mengulang kesalahannya, tidak mampu mengungkapkan kejujuran (termasuk perasaan kuatirnya karena reputasi percintaan Niko yang tidak baik) ketika Nadira memergokinya sedang dalam keadaan payah dan mabuk berat di kantor bersama dua rekannya yang lain.

“Nadira…, aku harus mengatakan sesuatu…”
Jantungku berloncatan kian-kemari. Tara, Tara, aduh…
“Ya, Mas….”
Hening.
Udara kantor terasa seperti kandungan seorang ibu yang berusia Sembilan bulan yang siap jebol kapan saja. Dan isi kandungan itu adalah rasa cinta yang sia-sia.
“Aku… mengenal Niko dengan baik….”
“Ya, Mas?”
“Nadira…, aku ingin kamu berbahagia dengan Niko… Itu saja.”
         Itu saja. Dia tidak mengemukakan sesuatu yang semestinya dikatakannya sejak awal. Dia hanya pasrah dan malah menenggelamkan diri dalam kegelapan yang justru diciptaannya sendiri.

CINTA DAN PERNYATAAN
Mungkin sebagai pembaca, banyak yang menyayangkan keputusan Nadira yang meninggalkan Tara dengan segala kebungkamannya. Meski dia menyikapi pilihannya dengan meniadakan dirinya saat memutuskan akan menikah dengan Niko, dan berusaha menyesuaikan diri dengan kesukaan lelaki itu--konsep yang salah sebenarnya dalam menjalin suatu hubungan karena dalam bersama-sama hidup adalah satu pilihan untuk saling meng-ada satu sama lain--tapi dia telah melakukan gebrakan baru dalam hidupnya, bangkit dan memutuskan menyambut uluran tangan seorang Niko. Empat tahun merupakan waktu yang sangat lama terhimpit dalam liang kubur, dan memang semestinya dia bangkit dan melanjutkan hidup.
Memang setelah itu, dia diperhadapkan dengan kenyataan bila Niko ternyata tidak selamanya menjadi sumber kebahagiaannya, tapi bukankah itu salah satu resiko yang pasti dihadapi ketika kita mengambil suatu keputusan. Resiko yang seringkali kita anggap salah “terbaca” di kemudian hari dan acap menjadi sandungan yang selalu kita anggap perlu disesali.
Saya bisa membayangkan, setelah empat tahun berkutat dalam kesedihan selepas kepergian Ibunya yang tak wajar (dan menjadi suatu aib bagi keluarga), lalu saudara-saudaranya yang memutuskan melarikan diri dari kenyataan, dan dia mesti menemani Bram, ayahnya yang--merasa disakiti harga dirinya ketika dipindahkan ke unit kerja yang tidak disukainya dan memilih pensiun—merasa frustasi karena tidak bisa melakukan apa-apa selain menonton televisi, sementara lelaki yang “diketahuinya” menaruh hati padanya. Sudah ratusan tahun, tepatnya…, demikian hiperbolis dari Kang Arya, kakaknya ketika mempertanyakan kembali keputusannya, sama sekali tidak melakukan apa-apa untuk membantunya keluar dari segala polemik hidupnya, keputusan untuk menyambut uluran tangan Niko menjadi pilihan terbaik baginya. Semenjak mengenal Niko hidupnya berubah. Penuh warna—tidak lagi abu-abu--dan dia lebih bergairah untuk menghadapi hari esok. Bukankah gairah merupakan kunci dalam menjalani hidup? Ketika gairah seseorang padam, maka sesungguhnya dia telah mati meski masih bernapas.

Tahukah, Kang.. selama bertahun-tahun sejak Ibu pergi meninggalkan kita, ada sebuah batu besar yang membebani tubuhku, hatiku, jantungku, yang menyebabkan aku hanya bisa celentang di dalam kubur itu, tanpa bisa hidup, dan juga mati?
Dan tahukah, Kang Arya, tidak ada satu pun, tidak ada siapapun yang bisa mengangkatku dari lubang kubur. Tara hanya bisa menjenguk diriku dari permukaan liang kubur dan memberikan wajah simpati…
Sampai akhirnya hanya satu, ya satu lelaki yang datang dan menyodorkan tangannya. Dia langsung mengambil tanganku dan menyodorkan tangannya. Dia langsung mengambil tanganku dan mengajakku untuk bangun dari lubang kubur itu. tanpa ragu, tanpa jeda. Dia tidak membutuhkan waktu untuk berpikir ulang karena dia yakin aku harus bersama dia. (CIUMAN TERPANJANG, hal 149-150).

Saya pernah mendengar, cinta lebih dari kata-kata. Benar sekali, saya mengamini hal tersebut. Kata bukan sekedar kata-kata yang bisa diumbar kepada siapa dan kapan saja. Cinta itu suci, sakral, tidak bisa dipersamakan dengan keinginan kedagingan semata. Tapi cinta juga perlu diungkapkan, dinyatakan lewat kata-kata. Kedua hal tersebut, saya pikir saling berkaitan satu sama lain.
Semua orang berhak bahagia.
Dan hal itu yang dilakukan Nadira, memutuskan menerima uluran tangan lelaki yang tanpa sungkan mengulurkan tangan ke arahnya. Tidak lagi menunggu Tara yang terus menerus hanya menjenguknya di dalam lubang kubur dari permukaan, tapi tidak pernah memintanya untuk menyambut uluran tangannya dan keluar dari kubur yang selama ini menekan. Hal tersebut tergambar jelas, ketika dia meminta pak Satimin untuk tidak mengusik Nadira yang meringkuk di kolong meja kerjanya, dan juga mengingatkan rekan sekantor untuk tidak protes akan kelakuan Nadira tersebut. Hanya itu. Dia hanya memandangi Nadira yang larut dalam dunianya yang lain.
Benar sekali, cinta lebih dari kata-kata. Tapi sebagai manusia, yang terbatas dalam mengartikan atau memaknai sesuatu, diperlukan kata-kata untuk meyakinkan kalau percik-percik yang muncul tidak absurd. Bahwa getar dan perasaan-perasaannya itu tidak salah alamat. Bila kita tinjau, Tara sebagai seorang atasan, sangat wajar bersimpati kepada salah satu bawahannya yang sedang dirundung kemalangan. Wajar pula bila dia menunjukkan perhatian (dan saya pikir, perhatiaannya hampir sama dengan Kris yang ternyata juga memperhatikan Nadira) serta membantu Nadira mencari bunga seruni demi memenuhi keinginan Ibunya untuk terakhir kalinya. Itu saja. Tidak ada yang lain. Saya pikir, hal yang sama pasti akan dilakukan orang lain dalam suatu hubungan pertemanan. Tidak bisa diartikan lebih.

MISKOMUNIKASI
Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, seorang teman perempuan saya datang kepada saya sambil menangis, bercerita mengenai peristiwa yang dianggapnya sangat memalukan.
“Aku malu bukan karena sudah menyatakan cinta padanya, tapi karena ternyata aku salah mengartikan kedekatan kami selama ini.”
Saya sangat mengingat pernyataan teman saya itu. Dan saya sama terkejutnya dengan dia, karena selama ini dia dan F (inisial teman pria yang diceritakannya itu) sangat dekat. Bukan saya saja, tapi yang teman-teman yang lain juga menduga kalau mereka bukan sekedar berteman. Tapi dugaan itu dipatahkan hanya dengan satu pernyataan. Tidak pernah ada apa-apa di antara mereka.
Sungguh kata-kata bisa membalikkan segala dugaan.
Bagi saya sendiri, kata-kata itu semacam deklarasi atau jaminan. Ketika ia menyatakan perasaan dalam kata-kata, sama halnya dia telah menyiapkan kereta kuda, lalu menyodorkan tangan sambil berkata, ikutlah aku, dan aku akan menunjukkan makna bahagia itu. Pernyataan sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang dirasakannya. Naïf memang, tapi demikian pentingnya kata-kata itu, sama hal dengan perasaan cinta itu sendiri.
Kata-kata menafsirkan dugaan-dugaan yang absurd, menghilangkan keraguan, dan menyingkirkan ketakutan. Sehingga tidak akan terjadi salah paham atau miskomunikasi. Tidak ada yang lebih memalukan daripada salah menduga, bukan?
...
Pada akhirnya, perjalanan Nadira dan Niko dalam novel ini diceritakan kandas, tapi itulah resiko dari suatu pilihan. Saya pribadi tidak menganggap itu sebuah kesalahan yang perlu disesali seumur hidup bila ditilik dari masa lalu Nadira. Seandainya dia tidak menyambut uluran tangan Niko, dia tidak akan pernah mencecap kehidupan yang disebut bahagia itu. Meski sebentar, tapi pada akhirnya dia telah keluar dari lubang kubur yang selama ini menekannya, dan menjalani fase hidupnya yang lain. Seandainya dia menepis uluran tangan Niko, ia tidak akan pernah kemana-mana, tidak akan memiiki Jodi, napas hidupnya yang baru, dan tidak akan pernah tahu bahwa dia sebenar sangat mencintai Tara.
Mungkin selama ini aku terlalu sibuk mencari lilin, mencari obor… Hidup ini selalu saja gelap, Kang. Aku terus mencari dan mencari, hingga ke Pedder Bay… Hingga ke ujung bukit Victoria. Dan tiba-tiba aku baru menyadari, di mana pun aku berada, selalu ada Tara. (At Pedder Bay, hal 267)
            Penyesalan selalu datang terlambat.
Semua pembaca pasti mengamini hal tersebut ketika membaca part akhir ini saat Nadira mengirimkan email kepada Arya perihal keputusannya untuk pulang. Kita akan geram dengan pilihan Nadira yang salah. Tapi itulah hidup, keterbatasan kita sebagai manusia, tidak bisa mereka-reka apa yang akan terjadi besok, atau menebak-nebak apakah keputusannya salah atau tidak, tapi mesti diperhadapkan pada kenyataan untuk memutuskan.
Orang yang berhasil adalah yang segera mengambil tindakan, bukan hanya diam, sibuk  berkutat dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan. Orang yang berdalih sedang berhati-hati dalam bertindak, pada dasarnya tidak pernah melakukan apa-apa, dan tentu saja dia tidak akan pernah mendapatkan apa-apa.

“Sebelum terlambat, katakan apa yang semestinya dikatakan. Kepada siapa saja yang kau kasihi. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok. Mencintailah seolah-olah tidak ada hari esok.”


7.27.2011 | By: Fairynee

DAY 08: YOUR FAVOURITE INTERNET FRIEND

SENJA DI STASIUN

Hampir pukul lima. Bila sesuai jadwal, seharusnya 30 menit lagi kereta yang ditunggunya akan tiba. Tapi sejam lalu dia menerima pesan singkat yang mengatakan kalau tamu yang sedang ditunggunya ternyata menumpang kereta ekonomi, dan seperti yang diketahui, suatu hal yang aneh bila kereta ekonomi tidak terlambat.
Dia membeli minuman kaleng bersoda, lalu duduk di bangku panjang, tak jauh dari penjual minuman itu. selain dia, di bangku itu ada juga segerombol orang yang sepertinya sedang menunggu kereta yang sama. Tapi dia yakin, mereka tidak sedang menunggu seseorang. Seorang perempuan setengah baya yang baru saja selesai berbicara, memandang ke arahnya, mereka saling tersenyum. Di antara mereka ada wajah yang lesu, mendengar satu per satu nasihat yang ditujukan padanya.
Sekelilingnya sangat hiruk pikuk. Berbagai suara saling tumpang tindih, suara penjual makanan, tukang Koran, lalu anak-anak menangis, dan lengking kereta bisnis yang akan memulai perjalanan. Tak jauh darinya, orang-orang saling berpelukan, memeluk ayah, ibu, anak, sanak, pacar mungkin juga kekasih gelapnya. Mata mendadak memerah, menahan haru. Ada yang bersungguh-sungguh, tapi ada pula yang menganggapnya sebagai ritual semata.
Ponsel dalam sakunya berbunyi.
Kereta akan terlambat. Apa kamu sudah di stasiun?
Tepat seperti dugaan sebelumnya, kereta yang ditunggunya akan datang terlambat. Dia mengetikkan kalimat, memberi tahu bila dia telah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Tapi tak jadi, dia tidak ingin menimbulkan perasaan-perasaan sungkan.
Sebentar lagi mereka akan bertemu, saling bertatap muka. Sejak kemarin dia berusaha membayangkan pertemuan yang biasa. Begitu mereka saling berhadapan, mungkin akan dimulai dengan sapaan, bertanya apa kabar sambil berjabat tangan, kemudian saling bertanya mengenai pekerjaan masing-masing. Percakapan akan berlanjut sembari melangkah meninggalkan stasiun.
Saat pesan singkat diterimanya dua hari yang lalu, dia sempat kaget sekaligus bingung. Besok saya akan datang ke kotamu. Hanya itu, untuk urusan apa, dia dibiarkan penasaran sendirian.
Dia sendiri merasa lucu akan kebingungannya menanggapi kabar itu.  Bukan karena tidak suka, dia justru senang karena akhirnya bisa bertemu dengan seseorang, setelah hampir satu tahun empat bulan hanya berbincang di ruang maya, tapi entah mengapa dia mulai dikuatirkan hal-hal sepele, mulai dari perihal bagaimana hingga apa yang mesti dilakukannya bila bertemu nanti.
Semua kekuatiran sungguh beralasan bila dikaitkan dengan sifatnya yang kaku. Dia sendiri tidak tahu persis mengapa dia begitu pendiam dan membosankan, padahal seingatnya dulu, kedua orang tuanya termasuk golongan yang dikenal banyak orang. Ayahnya berkali-kali menjadi ketua lingkungan di kompleks tempat tinggalnya, atau ditunjuk menjadi ketua Sosial Tolong Menolong, sementara ibunya banyak mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang sebenarnya tidak penting. Hampir tiap minggu, ayah dijemput oleh teman-temannya, katanya untuk menghadiri rapat. Sedangkan ibunya sibuk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Mengobrol panjang lebar, tentang banyak hal, termasuk membahas gosip-gosip di televisi. Mereka cekakak-cekikik sampai malam. Mereka sepertinya tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
Saudara-saudaranya juga bukan orang yang membosankan. Arya, saudara tertuanya, dengan mudah berganti-ganti pacar, melancarkan rayuan maut dengan kata-kata manis, sementara Ranti, adik bungsunya sering terlibat dengan berbagai organisasi di kampus. Kedua saudaranya itu pintar berbicara dan selalu berhasil meyakinkan orang-orang untuk mempercayai ucapan mereka. Sementara dia, selalu bingung bila hendak memulai pembicaraan. Di kantor dia terkenal sangat irit  suara, berbicara bila hanya berkaitan dengan pekerjaan dan proyek-proyek yang sedang dijalankannya. Bahkan dalam rapat dia lebih banyak mendengar ketimbang mengajukan interupsi, seperti rekan-rekannya yang lain.
Mungkin itu sebabnya, mengapa Lisa, kekasihnya pergi dua tahun yang lalu, dan semenjak itu tak seorang pun perempuan yang mau mendekatinya. Mereka bilang, dia lebih mirip gunung es. Dingin.
Semestinya saya tidak membiarkan pikiran-pikiran ini mengganggu, pikirnya, gusar, mengusap wajahnya yang berminyak dengan sapu tangan. Minumannya habis. Dia memutar-mutar kaleng minuman itu. Tak berniat bangkit, apalagi membuang sampah anorganik itu pada tempatnya. Di sampingnya, orang-orang tadi sudah letih berbicara, mereka saling diam, mungkin juga sama gusarnya dengan dia, atau mungkin lebih.
Selama ini tidak pernah ada kesepakatan. Tidak ada yang perlu dikuatirkan. Berulang kali dia berusaha meyakinkan diri. Saya bisa bersikap seperti biasanya, saat kami menghabiskan sepanjang malam dengan mengobrol ke sana kemari. Tapi di tahu pasti, mengetikkan kalimat tidak sama dengan berbicara langsung.
Hmm, bila bertemu nanti, sebaiknya saya mengajaknya ke kafe favourite saya. Saya akan memilih meja dekat jendela yang mengarah ke trotoar, mengobrol sambil memandangi orang-orang yang lalu lalang. Dia menyusun rencana, termasuk memilah topik-topik pembicaraan yang dianggapnya tidak akan membosankan.
Dia ingat, mereka berkenalan pertama kali enam bulan yang lalu. Saat itu dia mendaftar di sebuah komunitas menulis pemula. Cuma iseng, hanya karena ingin tulisannya dibaca orang lain setelah semua media menolaknya. Entah siapa yang mulai menyapa, dia tidak ingat. Tahu-tahu dia sudah terlibat percakapan seru dan lebih banyak omong kosong di kotak chatting.   Saling bertukar nomor telepon, karena merasa kata-kata tidak lagi cukup menyampaikan apa yang hendak mereka bicarakan. Bukan dia yang menelepon lebih dulu.
Tapi tamu yang sedang ditunggunya saat ini sangat pandai mencairkan suasana. Dia suka bercerita, apa saja, tanpa memusingkan betapa kakunya lawan bicaranya. Ceritanya sangat mengesankan, lagipula dia merupakan pencerita yang memikat. Lewat cerita, kita yang menyimak ceritanya seperti diseret untuk mengalami pengalaman menakjubkan di berbagai tempat, seperti mengunjungi Mesir, menyusuri padang pasir atau memandang sungai Nil, atau duduk di bawah menara Eiffel sambil menghitung bintang. Dia kerap terheran-heran karena bisa terseret dalam cerita-cerita yang belum pasti kebenarannya.
Dia tidak lagi membenci kesunyian.
Pak Nurdin, koleganya yang ditemuinya dalam acara launching produk perusahaan sebulan yang lalu berkomentar kalau dia banyak berubah. Lebih mudah tersenyum dan wajahnya terlihat lebih cerah. Dia sampai mematut di depan cermin toilet untuk memastikan kebenaran ucapan itu, karena sebelumnya, beberapa rekannya juga berkata serupa.
Tapi dia tidak yakin sepenuhnya. Buktinya dia masih merasa gusar. Dia mentertawai dirinya sendiri, karena tingkahnya lebih mirip anak ingusan yang akan kencan pertama kalinya. Ini hanya pertemuan biasa, seharusnya saya bisa bersikao secara biasa.
Satu jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan. Dia gelisah. Langit di stasiun mulai terlihat muram. Berkali-kali dia bertanya pada petugas, tapi tampaknya mereka juga tidak mengetahui apa-apa. Orang-orang di sampingnya juga terlihat gelisah.
Dia menekan tombol ponselnya, hendak mencari tahu. Tapi mbak-mbak operator bilang kalau nomor yang dituju berada di luar service area. Dia mengulang panggilan. Sama saja. Pesan yang dikirimnya juga dalam posisi menunggu.
Hari mulai gelap.
           Dia kian dicekam gelisah.
7.25.2011 | By: Fairynee

DAY 05: SONG THAT REMIND YOU OF SOMEONE

SAAT TERLAMBAT PULANG



Dia melirik jam tangan murahan di pergelangan tangan kirinya. Pukul tujuh malam. Sepanjang matanya memandang hanya ada kegelapan.
“Pinggir, Pak.”
Suara mendecit. Mobil mendadak berhenti. Para penumpang mengumpat karena tubuh mereka terlempar ke depan, saling berbenturan.
Dia acuh, tidak peduli umpatan penumpang lain, bergegas turun setelah menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan lusuh kepada supir. Supir separuh baya itu menajamkan penglihatannya untuk memastikan kalau penumpangnya berhak atas kembalian tiga ribu rupiah.
Angkutan itu pergi, meninggalkan asap knalpot yang tebal. Dia mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir kepulan asap lalu membetulkan letak tas yang menggantung di bahunya. Dia menyeka wajahnya yang berminyak. Lelah. Belakangan aktivitas organisasi kampus sangat padat apalagi sejak program bakti sosial akhir tahun berjalan, dia terpaksa bolak-balik Inderalaya-Palembang hanya untuk mengikuti berbagai kegiatan pencarian dana.
Tadi selepas mengunjungi beberapa kantor, mengajukan proposal, teman-temannya  mengusulkan agar dia menginap saja. Mereka berencana menghabiskan semalam suntuk dengan berkaraoke bersama. Dia menolak ajakan itu dan memilih pulang karena besok kebagian tugas menjadi organis di kebaktian minggu pagi.
Tapi lorong di hadapannya kini terlihat menakutkan. Tidak ada apa-apa selain gelap. Suara jangkrik yang sahut-sahutan semacam latar, membuat ngeri. Tiba-tiba dia menyesal karena tidak mengikuti ajakan teman-temannya tadi. Ah, seandainya tidak ada kecelakaan, gantian dia mengeluhkan peristiwa di tengah perjalanan tadi, tentu jalan tidak akan macet, dan dia bisa tiba di kos sebelum hari gelap.
Dia salah memilih tempat kos. Seharusnya dulu ketika masuk kampus ini, dia memilih tempat yang lebih strategis. Misalnya di tepi jalan besar yang ramai. Tapi di mana? Rata-rata tempat kos-kosan di sini berada di pedalaman, meski pun letaknya dekat dengan kampus. Di tepi jalan malah hanya ada ilalang dan tanaman yang tumbuh liar. Sekilas bila dilihat, daerah ini mirip hutan.
Sebenarnya jarak kos-kosannya tidak jauh dari kampus. Bila sedang rajin atau kehabisan uang bulanan--dan biasanya itu terjadi hampir tiap akhir bulan—akan ditempuhnya dengan berjalan kaki. Dia termasuk perempuan yang tidak meributkan masalah warna kulit yang berubah gelap karena berlama-lama tertimpa cahaya matahari. Tapi dalam kondisi seperti ini, dia benar-benar tidak bisa bergerak kemana-mana.
            Semestinya aku menunggu Doni selesai rapat, dan pulang bersamanya. Dia menyesal karena tidak menerima usul Doni saat akan pulang tadi. Tapi dia tahu, sebagai ketua organisasi Mapala, Doni sangat sibuk. Rapat bisa sampai larut malam, dan kemungkinan mereka akan menginap di sekret Mapala.
Lima belas menit berlalu tapi dia masih terpaku, tak beranjak, memandang lorong itu dengan gelisah. Jantungnya berdegup kencang, napasnya menjadi tidak teratur, dan kedua kakinya terasa kaku. Dalam hati dia mentertawakan diri sendiri. Sangat konyol.
Sebenarnya kosnya tidak terlalu jauh ke dalam, hanya beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri sekarang. Tapi di sekelilingnya sangat gelap. Lampu di depan lorong ini juga sudah lama padam. Dia tidak tahu persis kapan karena semenjak kedatangannya dua tahun lalu, lampu itu sudah akrab dengan gelap.
Tak sampai 10 meter melangkah, akan dijumpai kos-kosan elit. Komplek itu selalu sepi pada hari sabtu dan minggu. Sebagian besar penyewanya yang berasal dari kota Palembang lebih memilih pulang. Sebenarnya kompleks kos itu tidak begitu mewah, hanya karena dikelilingi pagar besi yang rendah, lalu tersedia gen set, pompa air, dan perabot, kos-kosan itu disebut elit. Wajar, bagi mahasiswa perantauan sepertinya, mengeluarkan uang empat juta rupiah  per tahun terasa sangat memberatkan. Itu sebabnya tidak semua petak-petak kamar terisi, membuat komplek semakin sunyi dan gelap gulita.
Setelah komplek itu, berjalan sedikit maka akan dilewati tanah yang hanya ditumbuhi batang ubi, lalu puing-puing bangunan yang dikelilingi semak belukar. Menurut cerita penduduk setempat, rumah itu terbakar saat terjadi insiden kerusuhan, dan pemiliknya pergi entah kemana.
Sebelum berbelok ke arah kanan menuju kosnya, ada warung Bu Dedek. Hampir semua maha siswa yang kos di sekitaran daerah ini makan di situ, selain karena lebih murah juga bisa bon pas akhir bulan. Sampai di situ, dia bisa sedikit tenang karena jam segini warung itu cukup ramai. Dia akan singgah, mengambil rantang makan malamnya lalu mengobrol sebentar dengan teman-teman yang sedang makan sambil menyimak obrolan seru perihal tayangan di televisi. Mungkin dia akan bertemu dengan Siska dan Tom, atau teman lain yang pulang searah dengannya. Dia akan bergabung dengan pembeli yang berkelompok, sibuk mengomentari tayangan televisi. Saling berkomentar mengenai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak becus menangani masalah negara. Di tempat ini sering terlihat beberapa mahasiswa bergerombol, serius membicarakan sesuatu. Dia tidak tahu persis membahas apa, dan memilih untuk tidak mau tahu. Idealismenya masih seharga keringat orang tua di kampung.
Setelah berbelok ke arah kanan, berjalan beberapa langkah lagi, dia akan sampai di kamar kosnya. Bukan jarak yang jauh. Dia bisa saja berlari, menghiraukan sekeliling dan tak berapa lama tiba di kos. Mandi lalu beristirahat. Tapi nyatanya dia masih mematung, tak kemana-mana.
Apa sebaiknya aku menelepon Doni? Tapi buat apa? Dia masih rapat. Seandainya dia bisa pulang sekarang, dia mesti menunggu di tempat ini selama satu jam lebih. Itu pun kalau truk yang kecelakaan tadi sudah ditarik sama mobil Derek sehingga jalanan normal kembali. Tapi dia tidak yakin akan hal itu. Lagipula menunggu satu jam di tempat ini juga bukan pilihan yang baik. Tempat ini sepi, kendaraan yang lewat hanya satu-satu, sementara lampu dari gerbang kampus tidak sanggup menerangi hingga ke tempatnya berdiri saat ini.
Dia melihat sekeliling, toko kelontong Pak Maman telah tutup. Hujan tadi sore membuat ia lebih memilih menikmati siaran televisi atau bersantap makan malam bersama keluarga ketimbang menunggu tokonya yang sunyi. Akhir bulan, para mahasiswa sebisa mungkin menekan pengeluaran.
Dia melirik jam tangannya lagi. Gelisah. Ponsel dalam saku diambilnya. Dia tidak mungkin selamanya berada di tempat ini.
Dia menekan-nekan tombol ponsel sambil melangkah, cepat-cepat. Sebenarnya cahaya ponsel tidak cukup mengusir gelap, tapi dia terus melangkah. Keringat dingin deras mengucur. Dia tidak bisa menghitung detak jantungnya sendiri lagi. Tiba-tiba peristiwa seminggu lalu melintas di kepalanya. Kak Mei, seniornya dirampok beberapa orang tak dikenal saat melewati lorong ini. Tasnya direbut paksa. Dompet dan ponselnya raib. Mereka keluar dari semak-semak. Kata kak Mei, mereka bersenjata tajam.
Langkahnya semakin panjang, dan cepat-cepat.
Beberapa meter melangkah, dia melihat pendaran cahaya lampu. Pasti dari komplek kos-kosan elit itu. Tapi bukankah setiap akhir pekan selalu sunyi? Dia sedikit merasa lega.
Lamat-lamat terdengar petikan gitar yang patah-patah. Dia memperlambat langkah, takut menarik perhatian si pemetik gitar itu. Petikan gitar kian terdengar jelas.
Lagu itu sangat akrab di telinganya, meski masih dinyanyikan setengah-setengah. Mungkin orang itu sedang mengepaskan antara suara dan petikan gitarnya. Suaranya serak, permainan gitarnya juga tidak begitu piawai (dibandingkan dengan Doni yang dijuluki master of guitar oleh teman-temannya).
Dia berhenti, berdiri tak jauh dari pintu pagar kos elit itu. Tanpa sadar dia tersenyum, teringat masa-masa di awal semester dulu. Saat Doni nekat tampil ke muka dalam acara penutupan orientasi maha siswa baru. Dia memetik gitarnya sebentar sebagai pembuka, lalu menyampaikan tujuannya berdiri di pentas.
“Lagu ini khusus buat Gina, Mahadewiku.”
Semua bersuit-suit. Ada yang tepuk tangan bahkan menyorakinya. Mukanya mendadak merah, tapi dia tidak bisa protes. Sebagai junior yang belum dibabtis, dia mesti patuh kalau mau selamat sampai acara ini usai. Dia menghentak-hentakkan kaki karena kesal.
Tapi ulah seniornya itu makin menjadi-jadi. Tangannya ditarik untuk maju ke depan. Siulan makin ramai. Dia ingin menangis saat itu.
Lantunan lagu itu kian mengayun di udara. Dia terhanyut. Meski serak, tapi orang itu bernyanyi dengan penuh penjiwaan. Sejenak ia terlupa dengan ketakutannya. Dia membayangkan Doni sedang berada di hadapannya, memetik gitar dan menyanyikan lagu itu dengan mata terpejam.
Sudah lama sekali, dan dia sangat merindukan saat-saat itu kembali. Ah, tiba-tiba dia rindu suara kekasihnya, petikan gitarnya, kerlingan jahilnya, juga matanya yang terpejam saat menyanyikan lagu ini.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dia terkesiap. Suara petikan gitar juga berhenti. Dia bergegas melangkah sebelum si pemetik gitar menyadari keberadaannya. Langkahnya cepat-cepat. Di depan sudah terlihat warung Bu Deden.
Ponselnya sudah tidak berbunyi lagi.
Dia singgah di warung Bu Deden, menyapa perempuan berumur itu dengan ramah, juga beberapa temannya yang sedang makan.
            Di kejauhan, suara petikan gitar itu terdengar kembali, mengayun di udara.


7.11.2011 | By: Fairynee

DAY 07: UCAPAN

Hari ini ulang tahunmu.
Aku ingin memberikan sesuatu sebagai penyerta ucapan selamat padamu, tentu saja bukan air mata, karena sudah bukan waktunya lagi. Mungkin sebait doa untuk keselamatanmu atau memberikan salah satu dari cendera mata yang kubawa sebagai oleh-oleh saat ditunjuk mewakili perusahaan  dalam seminar di Singapura kemarin. Gantungan kunci berbentuk kepala singa atau mungkin gelas mug bergambar bendera kebangsaan Manchester United, tim sepak bola favouritemu. Aku sudah memikirkannya sejak semalam.
Tapi aku urung melakukannya, padahal sejak pagi aku sudah meletakkan bungkusan itu di atas meja kerjaku, di samping monitor komputer, sambil meyakinkan diri untuk melangkah, dan bergabung dengan teman-teman lain yang berkerumun di meja kerjamu. Mereka terlihat heboh menyelamatimu sembari menagih traktiran selepas jam kantor. Kau cuma tertawa. Dalam hati aku bertanya-tanya, Apa kau juga akan mengajakku?
Aku jadi teringat setahun yang lalu, pada tanggal yang sama. Kita merayakan ulang tahunmu bersama-sama. Perbedaan tanggal lahir yang cuma berselang dua hari memunculkan ide patungan untuk mentraktir rekan sekantor yang jumlahnya bisa menghabiskan hampir separuh gaji. Belum lagi kalau mereka mengajak karaokean, bisa dipastikan selama sisa bulan ke depannya kita diharuskan untuk mengencangkan ikat pinggang kalau tidak mau berhutang. Begitulah, entah siapa yang memulai tradisi konyol itu.
Dan sekarang, semua sangat berbeda, berubah 180 derajat. Aku bersyukur karena pada ulang tahun yang kesekian tahun ini, aku masih berada di Singapura. Menghabiskan satu hari terakhir di sana dengan berbelanja di beberapa pusat perbelanjaan yang tersohor. Sekedar menyalurkan salah satu bakat terbesarku yaitu berbelanja sampai over limit, atau lebih tepatnya mengelak dari ingatan-ingatan yang akan menguras air mata. Seharusnya seminar itu diperpanjang tiga hari lagi, dengusku.
“Kamu gak ngucapin selamat, Syel?”
Satu tepukan di bahuku, aku menoleh. Tantri menarik bangku di samping meja kerjaku, lalu memandangku tajam. Dia tahu persis apa yang sedang kupikirkan sekarang. Matanya terarah ke bungkusan yang ada di mejaku.
Aku gelagapan.
“Eh, ini oleh-oleh dari Singapura, Tan.”
Tantri menepis bungkusan itu.
“Sudahlah. Teman-teman yang lain saja sudah kebagian oleh-oleh dari kemarin. Tidak mungkin aku terlewatkan padahal aku yang menjemputmu di bandara. Aku pikir, stiletto Gucci lebih dari cukup.”
Aku menghela napas. Menggerakkan mouse yang tidak lucu dengan sembarangan sambil memandang layar monitor. Tantri menggeser bangku lebih dekat lagi. Dia mencari mataku yang mulai terasa berat. Ingin sekali aku mengatakan kalau saat ini sedang tidak ingin mendengar komentar apa-apa.
“Kamu tahu apa yang harus  kamu lakukan,” ucapnya setelah jeda lima menit. Dia bangkit, mengembalikan kursi ke posisi semula, lalu beranjak pergi, ikut bergabung dengan kerumunan itu. Aku menggerakkan kepala, mengikuti ketuk langkahnya, hingga berhenti di meja itu. Kerumunan belum berkurang, mereka terlihat merundingkan sesuatu.
Kenapa harus begini?
Aku tidak tahu bagaimana menyikapinya. Terkadang aku berpikir, untuk keluar dari kantor ini dan menjauh darimu, mungkin segalanya akan lebih mudah. Tapi aku sangat menyukai pekerjaan ini, meski tiap hari dikejar-kejar deadline yang memusingkan kepala. Pekerjaan ini hidupku, seperti dirimu yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi bila aku keluar. Setelah separuh hidupku mati sejak peristiwa itu, lalu aku diharuskan kehilangan pekerjaan ini juga, mungkin hidupku akan berakhir.
Tapi berada di tempat ini juga sama menyiksanya. Setiap saat aku diharuskan melihatmu, setidaknya berpapasan di lift, di pantry, di kantin, atau bersitatap saat berada dalam satu ruang rapat. Mau tidak mau, aku juga mesti berhubungan langsung denganmu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang diserahkan Pak Dewa. Aku sudah berusaha keras untuk lebih professional, mengesampingkan perasaan saat bekerja. Tapi aku juga manusia biasa yang kadang jatuh dalam melodrama menyedihkan yang kuciptakan sendiri.
Kalau boleh meminta, aku ingin waktu berputar dan kembali ke masa lalu. Saat-saat di mana aku dan kamu begitu dekat. Saling berbagi banyak hal karena kita merasa memiliki banyak kesamaan. Mungkin faktor zodiak yang sama, ujarmu asal menganalisis, dan aku menimpali dengan tawa lebar, tepatnya mentertawakan dugaan konyolmu. Aku tidak pernah percaya zodiak atau ramalan-ramalan sejenisnya, dan kau tahu persis itu.
Ah, seharusnya sebelum kita terlibat dalam perasaan-perasaan, kita membuat kesepakatan terlebih dahulu, sebagai bentuk antisipasi bila kondisi menjadi pelik seperti ini. Semacam perjanjian, siapa yang musti menjauh atau dijauhi.
Aku merasakan denyut menyakitkan di dada sebelah kiri. Kantung mataku kian berat. Aku mengambil bungkusan itu, membuka laci meja, lalu melemparnya ke dalam. Aku pikir, ini semua terlalu berlebihan. Kau pasti sudah mendapat kado yang lebih istimewa ketimbang benda ini. Dari seseorang yang telah membuat segalanya menjadi berbeda. Tidak, aku tidak akan menyalahkannya, karena aku bisa melihat betapa kau sangat bahagia saat ini. Cuma aku yang tenggelam dalam getir ini. Ucapan selamat dan sebaris doa, aku pikir sudah cukup.
Bergegas aku menarik tisu, membersihkan wajah, siapa tahu ada titik-titik air yang tak bisa kutahan. Aku sudah memutuskan untuk menghampirimu, lalu mengucapkan selamat ulang tahun. Sebagai rekan kerja tentu saja. Tidak lebih. Tidak ada kado konyol dan tentu saja air mata.
Setelah memastikan kalau wajahku tidak menyiratkan kegelisahan apa-apa, aku bangkit, merapikan kemeja dan rok yang kukenakan. Terakhir, menarik napas cukup dalam lalu menghembuskannya dengan cepat.
Tapi aku urung melangkah saat melihat kau berjalan menuju ke arahku dengan segaris senyum.
“Syel, kamu ikut kan, acara nanti malam. Di Happy Puppy yah.”
             Aku mengangguk. Lupa mengucapkan selamat ulang tahun seperti yang kurencanakan barusan.
             Waktu berhenti seketika.
7.09.2011 | By: Fairynee

DAY 06: SURAT BUAT TETANGGA


Dear,
Saya tahu ini sebuah kelancangan, mengirim surat tanpa berkenalan lebih dulu, bahkan kita belum pernah sekalipun bertegur sapa sejak saya pindah di kompleks ini. Kesibukan masing-masing dan mungkin masalah-masalah yang tak pernah selesai membuat kita tidak memiliki kesempatan untuk bertatap muka apalagi berbincang-bincang, meski hanya sebentar.
Sebelum melanjutkan maksud dan tujuan saya mengirimkan surat ini, ada baiknya bila saya memperkenalkan diri, meski tak lajim karena kita tidak berjabat tangan secara langsung.
Panggil saya Rose. Rose saja tanpa embel-embel mbak, kak, apalagi tante (saya pikir usia kita tidak terpaut jauh atau bahkan sepantaran). Jangan tanya mengapa nama keluarga tidak mengikuti kata Rose, lagipula itu tidak penting, bukan? Kita bukan sedang dalam tahap prosesi perjodohan, yang mesti mengenal asal-usul masing-masing?
Saya mengerti akan kebingungan anda saat membaca surat ini, tapi saya merasa harus menyampaikannya. Mengapa dengan surat? Mengapa tidak menyampaikan secara langsung? Entahlah, mungkin saya terlalu sungkan, karena selama ini kita tidak pernah bertegur sapa, bahkan ketika saya pulang kerja dan melihat anda duduk di teras rumah sambil memetik gitar dengan serius, saya hanya tercenung sebentar, mengamati, lalu melanjutkan langkah, sementara anda terlalu larut dalam pikiran-pikiran anda sehingga tidak menyadari keberadaan saya.
Sebenarnya saya tidak terganggu bila setiap jam tujuh malam, anda memainkan gitar sambil bernyanyi di teras rumah. Saya tidak merasa terganggu sama sekali, meski petikan gitar terdengar begitu jelas dari balik jendela rumah saya ini. Tidak ada yang salah dengan permainan gitar anda, bahkan suara anda tidak bisa dikatakan jelek, jika kata bagus dianggap terlalu berbasa-basi. Pemilihan lagu juga tidak salah karena suara berat anda sangat pas menyanyikan lagu tersebut. Desah suara yang diseret benar-benar menyampaikan kesedihan yang ingin diutarakan si pencipta lagu. Tapi lagu itu justru mengganggu ketenangan saya. Sekali lagi saya tegaskan bukan karena permainan gitar apalagi suara anda, tapi lagu itu mengingatkan saya akan mimpi buruk yang berusaha saya lenyapkan dari ingatan.
Setiap kali mendengar lagu itu,  saya terseret kembali dalam lubang hitam yang sangat ingin menelan saya.  Saya tahu ini sedikit tidak masuk akal. Anda mungkin akan berpikir betapa labilnya saya, seperti remaja ingusan yang mudah mencucurkan air mata karena tayangan mengharu biru sinetron di televisi. Tapi saya benar-benar tidak bisa menekannya, tiap kali mendengar anda menyanyikan lagu itu, saya hanya bisa memandang anda dari balik jendela, menggigit bibir, sambil menguatkan diri untuk bisa menegur anda dan mengatakan kalau lagu itu mengganggu saya. Sekali lagi saya katakan, saya bukan keberatan dengan kebiasaan yang anda lakukan. Dalam hal ini saya merasa kita kontradiktif. Bisa ditebak, pasti lagu itu memiliki kenangan terindah bagi anda sehingga tiap malam selalu dilantunkan, dengan raut wajah yang serius, bahkan sampai memejamkan mata karena meresapi lirik demi lirik. Sekali lagi saya meminta maaf untuk permintaan aneh saya ini.
Semoga anda tidak terganggu dengan surat ini, dan saya harap setelah ini tidak ada ketidakenakan yang semakin perlebar jarak silahturahmi kita sebagai tetangga. Sejujurnya, saya menyukai permainan gitar dan suara anda.

Salam saya,

 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Note: Ide ngasal, bahkan bingung menentukan judul tapi yang penting sih nulis kan, yah? (cari dukungan, hehehhee...)
 
7.03.2011 | By: Fairynee

DAY 01: HIDUP DAN PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG TAK SELESAI

Sebenarnya ini bahasan pengganti untuk hari pertama tantangan campuran (melirik mbak Ria Aprilia, minta persetujuan, hehehe...). Bahasan yang berat dan maaf bila melebar kemana-mana, dan racauan saya malah membingungkan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi,
yg fana adalah waktu,bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
(SAPARDI DJOKO DAMONO, HUJAN BULAN JUNI, 1978)


Apa sesungguhnya hakikat hidup? Pertanyaan itu muncul bukan hanya hari ini saja, tapi kerap melintas dalam batas-batas waktu yang tak menentu. Mungkin teman-teman juga pernah memiliki pertanyaan yang sama dengan saya saat ini?

Apa hakikat hidup yang sebenarnya?
Apakah hidup itu hanya seputar lahir, tumbuh,menjadi dewasa, menikah, lalu melahirkan jiwa yang lain lagi kemudian menua?
Apa tujuan dari perjalanan selama ini?

Betapa sangat sederhananya jika kita mengurutkan siklus hidup yang dilalui. Terlahir ke dunia, ltumbuh menjadi kanak-kanak, bersekolah, kuliah, mencari pekerjaan, lalu berkeluarga dan memiliki keturunan, kemudian menjadi tua. Sungguh kita tidak berbeda dengan makhluk ciptaanNya yang lain. Mungkin yang sedikit menjadi pembeda adalah nalar yang dianugerahkan kepada kita, tapi kemungkinan bila tidak semua manusia menggunakan akal itu dengan semestinya.tentu saja ada, bukan?
Maaf bila saya meracau lagi. Saya sedang tidak berfilsafat, atau sedang menggurui karena saya juga sedang mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Bermula dari rasa jenuh yang menghampiri, bukan saja dari rutinitas pekerjaan tapi juga pola hidup yang sepertinya mengalami stagnasi. Betapa membosankan ketika saya bangun pagi, menghabiskan waktu di kantor, lalu kembali pulang ketika matahari hampir tenggelam, makan, lalu kembali tidur, dan keesokan harinya bangun dan melakukan aktivitas yang sama. Kejenuhan itu juga muncul dalam kegiatan kepenulisan yang saya lakoni, di mana saya mulai merasa bosan, jenuh, bahkan muak dengan tulisan-tulisan saya yang hanya berputar-putar di tema dan diksi yang itu-itu saja. Saya merasa tidak kemana-mana dan bahkan tidak mengalami pertumbuhan apapun.
Oh, bukan, saya bukan sedang berpikir untuk melakukan penemuan hebat apalagi sampai mengubah dunia, tapi saya sedang menganalisis kembali, makna dari hidup itu sendiri.


MANUSIA
Gabriel Marcel mengakui bahwa manusia bukanlah suatu problem yang akan habis dipecahkan, melainkan sebuah misteri yang tidak mungkin disebutkan sifat dan cirinya secara tuntas, sehingga perlu dipahami dan dihayati). Filsafat estinsealisme memandang manusia sebagai terbuk. Manusia adalah realtas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk (Harun Hadiwiyono, 1980: 149). Rahasia yang menakutkan, tetapi juga rahasia yang menarik, rahasia yang mengajak supaya menyelidikinya. Oleh sebab itu sejak zaman dahulu manusia sudah menyelidiki dirinya sendiri (Driyarkara, 1978: 86).
Mungkin karena kemisteriusan itulah, sehingga manusia sendiri tidak bisa menghayati dan memahami hakihat keberadaannya. Tidak sedikit yang menjalani hidup dengan hanya menjadi peniru. Sesungguhnya, meniru bukan hal yang salah, bahkan dalam proses pembelajaran, meniru merupakan suatu cara metode belajar yang dianggap baik, api bila kita terus menerus berkutat pada kegiatan meniru berarti kita tidak mengalami perubahan apapun. Kesia-siaan.

CITA-CITA ATAU IMPIAN
“Kalau besar nanti, kamu ingin menjadi apa?”
Mungkin ketika masih kanak-kanak, kita akan dengan mudah menjawab pertanyaan itu, bahkan dengan penuh semangat dan suara lantang, akan mengatakan ingin menjadi dokter, presiden, Guru, Wartawan, dan segudang profesi lainnya. Bagaimana bila pertanyaan itu sedikit berubah bentuk, dan diajukan pada diri kita masing-masing saat ini?
“Apa tujuan hidup yang sebenarnya?
“Setelah ini, mimpi-mimpi apalagi yang ingin diraih? Atau kau bermimpi apa saat ini?
Pertanyaan itu pernah saya ajukan ke beberapa teman-teman dan rekan kerja. Saya sekedar ingin mencari tahu apakah itu hanya kerumitan isi kepala saya yang terkadang berada di luar jalur, atau di luar sana, banyak orang yang sampai mengalami kegelisahan karena tidak menemukan arti dari setiap hal yang dilakukan, termasuk rutinitas-rutinitas yang dijalani selama ini.
Lalu hidup baru bia dikatakan berarti bila telah melakukan penemuan hebat? Bagaimana dengan manusia yang ditakdirkan untuk menjadi biasa-biasa saja? Apakah manusia tersebut tidak berarti?
Bukan. Saya tidak sedang memikirkan hal-hal hebat, karena saya pun sangat terbatas baik dari tingkat kecerdasan maupun hal-hal lain. Tapi seseorang pernah berkata,
Ada orang yang memang ditakdirkan menjadi hebat dan melakukan penemuan-penemuan hebat. Tapi ada orang biasa-biasa saja, melakukan pekerjaan hebat dan akhirnya menjadi salah satu dari orang-orang yang disebut hebat itu.
Mungkin sedikit sama dengan kalimat bijak ini. Bakat hanya 1 persen selebihnya adalah usaha.
Kita tidak perlu menjadi orang hebat dulu untuk melakukan suatu hal yang hebat..

MANAJEMEN DIRI
Setelah melewati euphoria wisuda dan kelulusan, saya mulai diperhadapkan dengan masalah pekerjaan. Bukan hal yang mudah karena mesti bersaing dengan berjuta-juta sarjana dengan berbagai keahlian yang menjadi saingan saya. Setelah mengalami berkali-kali kegagalan, seseorang memberi beberapa saran untuk saya coba terapkan. Ketika itu, saya mulai mengevaluasi semuanya termasuk penyebab kegagalan . Ya, saat itu mencari pekerjaan menjadi tujuan hidup saya.
Saat itu saya mulai membuat grafik hasil test sehingga bisa melihat, apakah disetiap ujian saya mengalami peningkatan atau malah menurun, menganalisis kekurangan, dan tentu saja meningkatkan kualitas.

Proses pencarian itu memberi saya banyak pelajaran, dan saya sangat berterima kasih atas saran teman saya tersebut. Katanya dalam hal ini saya telah menerapkan manajemen diri dengan melakukan analisis SWOT.
Hal di atas sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa dengan dunia ini, itu hanya masalah pribadi yang sepele, yang hampir semua orang menghadapinya.
Tapi yang menjadi perhatian saya bukan ke masalah tersebut, tapi proses dari penyelesaian dari masalah-masalah yang ada.

Mario Teguh berkata, Anda tidak akan bisa mengubah dunia bila tidak mengubah diri sendiri. Salah satunya mungkin dengan menerapkan manajemen diri. Pengenalan karakter akan menuntun kita untuk bisa mengetahui kelebihan dan kekurangan. Pengenalan akan membantu untuk mengatasi kekurangan dan meningkatkan kelebihan dengan observasi lebih mendalam.
Meski bukan garis finish, tapi saya berhasil melalui fase itu dengan gemilang (menurut pendapat saya, hehehe..) dan memuaskan. Tapi ternyata perasaan puas itu malah menuntun saya ke hal-hal yang bersifat stagnasi, tidak berubah, dan membosankan. Demikian juga dalam hal kepenulisan, ketika saya merasa puas, maka saya tidak belajar, padahal ilmu itu berkembang. jawaban malah hanya membuat kita berhenti untuk menemukan hal-hal hebat lainnya.

PROSES HIDUP
Benar adanya, hidup itu adalah proses. Proses mencari jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan yang tak selesai. Bila kita merasa telah menyelesaikannya, maka sesungguhnya hidup itu telah berakhir meskipun kita masih bisa bernapas dan menjalankan aktivitas seperti biasa.
"Pertanyaan akan memicu penemuan hebat, pemikiran masyur bahkan permulaan yang agung. Sementara jawaban terkadang malah mengakhiri sebuah petualangan yang seru"
Mari mulai mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, mungkin kelima kata tanya What, When, Where, Why, dan Who bisa membantu. Lalu melewati tahap demi tahap dari proses pencarian jawaban itu.
Ah, mungkin saya yang keterlaluan dalam memikirkan sesuatu, maaf bila catatanl saya ini melantur terlalu jauh.