9.15.2010 | By: Fairynee

KENANGAN DI BAWAH POHON NATAL

Dengan bersusah payah aku berusaha menyeret kotak itu keluar dari dalam gudang. Aku sedikit kewalahan karena kotak ini terlalu besar untuk perempuan berukuran mini sepertiku. Debu-debu berhamburan, menggelitik syaraf sensorik indera penciumanku. Aku berkali-kali bersin.

 Peluh mengucur. Aku mengusap wajahku dengan punggung tangan yang telah dipenuhi debu pula. Tak pelak debu itu kini terjebak di antara titik-titik keringat. Wajahku kini belepotan debu yang telah membentuk bercak kehitaman. Aku tak peduli. Aku hanya ingin mengeluarkan kotak ini dan memasang sebuah pohon natal. Seperti biasa.

Biasa? Ya, acara pemasangan pohon natal tiap akhir tahun memang biasa dilakukan oleh keluargaku. Katanya tradisi menjelang penyambutan perayaan natal.Tapi tahun ini entah mengapa terasa begitu hampa bagiku. Semenjak bahagia memutuskan meninggalkanku dalam kesendirian. Tanpa penopang. Tanpa pegangan yang menguatkanku. Tak ada lagi suka cita yang diwarnai derai tawa yang ku rasa. Hatiku benar-benar kosong. Kosong.

Hah! Sebenarnya aku enggan merepotkan diri untuk melakukan rutinitas ini. Toh, aku cuma punya hampa dan kenangan yang akan menorehkan luka. Ya, luka yang bersusah payah aku hempaskan dalam kesibukanku selama ini. Lagipula sudah sangat terlambat. Besok sudah tanggal 25, artinya besok adalah hari perayaan. Biasanya sebentuk pohon natal nan tinggi menjulang telah berdiri kokoh di pojok ruang keluarga dengan taburan hiasan yang cantik sebelum tanggal 23 Desember.

Ah, andai Deana tak mengajukan tanya dengan nada meminta, aku benar-benar enggan melakukan rutinitas ini.

Peluh kian mengucur. Aku masih berusaha dengan sekuat tenaga menyeret kotak ini menuju ruang keluarga. Aku tak ingin mengecewakan Deana, putri semata wayangku yang tiga bulan lalu berusia genap tiga tahun. Yang tiga bulan lalu pula ditinggalkan oleh bahagia. Dia milikku satu-satunya di dunia ini. Aku takkan mengecewakannya.

Tiba-tiba saja, satu kekuatan bertumpu di kedua belah tanganku. Genggaman erat di atas jemariku membuat beban ini terasa lebih ringan. Aku menoleh. Kaget. Aku menemukan sebentuk senyum tepat di belakangku.

“Sayang, mengapa tak memanggilku untuk membantumu?” tanyanya dengan suara berbisik, tepat di telingaku. Ada deru napas lembut menyentuh pipiku.

“Apakah begitu susah menyingkirkan sedikit saja prinsip kemandirianmu dan memintaku untuk membantumu? Padahal aku selalu berada di sisimu, tak pernah beranjak sedikit pun”

Aku tersenyum. Manis. Tak menyahut pertanyaan sekaligus sindiran halus yang benar-benar menyentilku itu. Aku meneruskan pekerjaanku tapi kali ini dengan bantuannya.


Sebentar saja. Sebentuk pohon natal telah menjulang dengan anggun di pojok ruangan ini. Aku hanya perlu menghiasnya dengan rangkaian lampu warna-warni, bola-bola, dan pernik lainnya.

“Ma, aku ingin memasang bola-bola dan bintang ini, ” tutur Deana dengan binar mata lucu. Penuh semangat. Kedua tangan mungilnya dijejali bola-bola warna-warni dan sebentuk bintang besar. Dia tampak kewalahan menampung seluruh benda-benda itu dalam genggamannya. Sementara kotak-yang berada dekat pintu-tempat benda-benda penghias pohon natal itu tersimpan tampak berantakan.

Aku berjongkok.

“Tapi Dea janji ya, akan bobo setelah ini?”

Deana mengangguk pertanda dia tak menolak syaratku.

Aku tersenyum lalu mengangguk kecil. Deana girang. Dia terlihat penuh semangat membantuku menghias pohon natal ini.
...

“Indah bukan?” tanyanya membuyarkan lamunanku yang terpaku pada pesona kerlip lampu-lampu kecil yang menghias pohon natal. Tiba-tiba saja dia telah berada tepat di belakangku dan kini memeluk pinggangku. Mesra. Dia menyandarkan dagunya di bahuku sehingga pipi kami pun saling beradu. Hangat.

Pandangan penuh kekaguman masih membias dalam mataku. Rangkaian lampu-lampu kecil itu ganti bergantian mengerjap seolah saling berkejaran menuju puncak. Di sana tampak sebuah bintang besar bermegah dengan sangat anggun.

Wush...

Angin bertiup. Lembut. Sepertinya aku lupa mengunci jendela sehingga dingin menelusup masuk. Dingin dengan lancang menitipkan gigil dalam gemerutuk dan meniupkan sepotong rindu. Ya, rindu yang begitu menyesak, yang memaksaku menangisi ketidakberdayaan hampir tiap malam.

Bergegas aku menarik daun jendela dan menguncinya. Tapi rasa dingin itu masih tetap ada, enggan pergi. Ah, bukan dingin tapi hampa. Hampa yang begitu pekat dan mengggigit.

Aku merasakan nyeri di ulu hatiku. Sementara rindu enggan beranjak walau aku telah menghardiknya kasar. Rindu itu malah mengerjap dalam kabut di mataku yang mulai menebal.

“Kamu tahu, sayang. Binar matamu lebih indah dari apapun, juga dari binar lampu-lampu itu,” tuturnya lembut di telingaku. Aku tak bergeming, masih saja menatap ke arah pohon natal itu.
Sebenarnya aku tersanjung akan pujiannya tapi aku tak mau membuatnya merasa berhasil hanya dengan pujian kecil seperti itu.

Dia memutar badan. Kini tatapan kami saling beradu. Aku bisa menatap manik matanya. Mata itu tersenyum sebagai wujud ketulusan atas pernyataannya barusan.

“Kamu tahu. Aku berjanji takkan membuat mata ini mengucurkan air mata,” tuturnya sambil menyentuh daguku. “Aku akan selalu membuatmu bahagia.”

Aku masih tak menyahut. Tapi kali ini karena aku terlalu sibuk mengagumi binar mata itu. Kami tenggelam dalam diam. Entah berapa lama.

Dia menggenggam jemariku lalu mengecupnya lembut. Tiba-tiba saja dia mengedipkan mata lalu berbisik,

“Maukah Tuan Putri berdansa denganku?”

Aku menggeleng pelan sebagai bentuk penolakan atas kejahilannya. Wajahnya merengut. Aku tergelak kecil melihat mimiknya. Mimik itu serupa anak kecil yang ngambek karena tak diberi permen.

Tapi mimik itu cuma sebentar karena dia telah melangkah menuju music player lalu memilih priringan hitam dan memutarnya. Instrumen lagu I’ll be home for christmas mengalun lembut.
Hmm, tampaknya dia mengerti bagaimana menaklukan penolakan. Tapi aku masih dalam keenggananku. Aku pun menggeleng sambil menangkupkan kedua tanganku di dada dan menyodorkan tatapan penuh ejek. Well, maaf saja. Tak semudah itu menaklukkanku.
Dia tak menyerah. Dia melangkah menujuku dengan penuh percaya diri lalu,

“Aku mohon. Sudilah kiranya Tuan Putri mengulurkan tangan dan mengabulkan permintaan hamba. Aku mohon, berdansalah dengan hamba yang begitu mengagumi anda,” pintanya dengan lirih dalam posisi berlutut. Dia mengulurkan tangan ke arahku. Wajahnya memelas penuh harap.

“Aku mohon...”suaranya kian lirih.

Mukaku merona merah karena malu mendapat perlakuan manis seperti itu, malah sedikit norak menurutku. Dengan ragu-ragu aku menyambut uluran tangannya.

Dia bangkit dengan sebentuk senyum kemenangan.

Musik terus mengalun. Lembut.

Aku terbuai.

Aku merebahkan kepala dalam pelukannya dan membiarkan musik menuntun gerakan kami. Sesekali kakinya menginjak kakiku. Aku mengaduh. Permintaan maaf meluncur dari bibirnya disela derai tawa.

Kami terus menari dalam alunan lagu yang begitu lembut. Tak peduli bila sang waktu telah melesat cepat dan di atas sana rembulan pun mulai berbenah.

Aku benar-benar bahagia.

Sangat bahagia.

Ah, aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Sungguh! Aku tak mau beranjak sedikitpun dari tempat ini bahkan aku tak ingin menghentikan irama lagu yang berpendar-pendar di tiap sudut ruang. Aku hanya ingin terus menari dalam pelukannya. Bersamanya. Selamanya. Tak mengapa bila waktu berhenti
Sungguh aku tak mau apa-apa lagi. Aku hanya menginginkan dia.

Aku hanya menginginkan dia.

Aku hanya...
...
“Mama?”

Aku tersentak.

Aku mengangkat kepalaku dan mencari pemilik seruan itu. Sosok Deana dengan boneka beruang lusuh dalam pelukannya membias dalam mataku yang telah dipenuhi kabut. Bahkan setitik hujan telah menggantung dan hampir jatuh.

Deana memandangku dengan raut penuh kebingungan.

Aku tercekat. Dadaku serasa terhimpit bongkahan batu besar saat melempar pandang ke sekelilingku.
Ruangan ini masih temaram. Hanya ada binar lampu-lampu natal yang ganti bergantian mengerlip seolah saling berkejaran ingin menyentuh bintang besar yang bermegah di puncak. Lagu I’ll be home for christmas pun masih mengalun lembut.

Tapi,

Tapi aku tak menemukan sosoknya. Telingaku pun tak mendengar suara lirihnya dan tak merasakan deru napas hangat di pipiku. Tak ada dia. Tak ada!

Tes!

Titik hujan itu akhirnya jatuh. Tak hanya setitik tapi menderas tanpa bisa kuhentikan.

Tak bisa sama sekali

***

0 komentar:

Posting Komentar