6.29.2011 | By: Fairynee

DAY 04: TEKA TEKI SERIAL PUKAT

-->Serial anak-anak mamak merupakan bacaan sejuta umat, bukan saja ditujukan bagi anak-anak tapi juga pembaca yang menginginkan kesederhanaan dalam bercerita. Dalam buku ini tidak ada percintaan ala sinetron, kekerasan dan rencana-rencana jahat yang tidak masuk akal, atau kisah permusuhan sekoelompok anak sekolah (yang digambarkan berasal dari golongan berada) yang bisa melakukan tindakan anarkis. Tere liye menyajikan kesederhanaan dan apa adanya. Kisah dalam keempat serial ini banyak sekali kita temui atau bahkan terjadi di sekitar kita


Buku ini terdiri dari 4 seri yaitu, Amelia, Burlian, Pukat, dan terakhir Eliana. Namun seri Amelia yang seharusnya menjadi pembuka malah menjadi penutup serial ini (Sampai sekarang seri Amelia belum diterbitkan). Sedikit membingungkan sebenarnya, karena Eliana sebagai anak tertua justru menjadi bagian ke empat dari serial ini

Dari ketiga buku yang saya baca (minus Amelia), saya paling menyukai seri Pukat. Menurut saya, buku ini yang paling berwarna ketimbang seri yang lainnya. Dalam buku seri Burlian, pembaca hanya berkutat pada pemikiran seorang anak laki-laik sekolah dasar yang serba ingin tahu. Sementara dalam serial Eliana, cerita hanya berkutat di satu titik, yaitu masalah aksi kepahlwanan empat sekawan (kelompok buntal) dalam mengusir para pengrusak lingkungan yang tamak.


Selain itu kita akan disuguhkan cerita bukan saja dunia seorang anak yang cerdas, tapi akan diajak untuk mengenal dunia teman-temannya yang unik. Sangat berwarna, mulai dari cerita cinta monyet yang lucu seorang “Raju” yang pemalas dengan anak perempuan pindahan dari kota bernama Saleha, masa lalu bapak yang kelam, hingga seputar teka-teki yang dilontarkan Wak Yati kepadanya. Meskipun Pukat digambarkan anak yang cerdas, bukan lantas Ter Liye menggambarkan sosok yang sempurna. Anak pintar juga manusia, demikian kira-kira yang ingin disampaikan oleh Tere Liye. Itu bisa kita temui pada kisah ketika Pukat berkelahi dengan temannya hanya karena perkara sepele.

Buku ini yang paling minim dengan scene kebetulan atau super hero ala sinetron di televisi. Dalam serial Burlian, kita akan menemukan cerita di mana kecelakaan Burlian yang tertimpa gedung bangunan sekolah menyebabkannya mendadak terkenal, karena ia berani berbicara dengan yang bapak Menteri, penangkapan tahanan yang melarikan diri dari penjara, kesempatan melanjutkan sekolah ke luar negeri karena berteman dengan tuan Nakamura, dan kebetulan-kebetulan lainnya.

TEKA-TEKI

Hal yang menarik dalam seri ini adalah kisah perjalanan Pukat yang tidak terlepas dari pencarian jawaban atas teka-teki yang sering dilontarkan Wak Yati, kakak tertua ayahnya yang pandai berbahasa belanda dan bijak dalam menyikapi segala masalah. 

“Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat mangkok, hutan menghijau seperti zamrut, sungai mengalir ibarat naga, tak terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak terbilang. Maka yang manakah harta karun yang paling berharganya?”


Proses pencarian jawaban itu tidak instan tapi membutuhkan waktu hingga 10 tahun. Proses yang sangat panjang, demikian kita pasti bergumam, tapi itulah hidup. Seyogyanya hidup merupakan proses pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Saat kita berhenti bertanya, maka kita kehilangan sesuatu yang disebut semangat untuk mencapai tujuan.Segala yang hebat bermula dari pertanyaan, Kenapa, Mengapa, Siapa, Di mana, Kapan.

"Pertanyaan akan memicu penemuan hebat, pemikiran masyur bahkan permulaan yang agung. Sementara jawaban terkadang malah mengakhiri sebuah petualangan yang seru"

KUTIPAN-KUTIPAN

“Waktu adalah segalanya, tidak ada yang memilikinya. Tidak ada yang bisa meminjamkannya. Bagaimana cara menghabiskan waktu dengan baik, tanpa beban dan tanpa keluhan?

Jawabannya: berpikir,,bekerja keras,,dan bermain!!

“Tetapi apapun yang terjadi, kita sudah melaksanakan prosesnya dengan baik. Sekarang tinggal menunggu dan berharap. Itulah kebijaksanaan tertua yang dimiliki leluhur kita. Menunggu dan berharap. Selalulah meminta pertolongan dengan 2 hal itu. Menunggu itu berarti sabar. Berharap itu berarti doa.” --- hal 314



"Jangan pernah membenci Mamak kau, jangan sekali-kali… karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kalian, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.”



Sedikit intermezo:

Beratus kisah puteri jelita, tidak akan berhenti hingga kiamat nanti. Berjuta wanita hendak cantik, tidak akan pernah sedar sehingga ketuaan datang tidak tertahankan. Kau tahu kenapa?

Kerana di dunia ini, lelaki bodoh jumlahnya lebih banyak dibandingkan lelaki buta
6.28.2011 | By: Fairynee

DAY 03: GOD IS DIRECTOR

Wow, topik kali ini terasa sangat berat, selain karena masalah ini terlalu sensitive lagipula pengetahuan saya mengenai konsep agama itu sendiri masih dangkal. Tadi sempat terbersit untuk menulis lebih personal, mungkin membahas mengenai beberapa ayat dalam Alkitab lalu dihubungkan dalam kehidupan sehari-hari atau sekedar perenungan yang kontemplatif . Tapi hal itu sepertinya lebih condong ke topik Ketuhanan ketimbang pembahasan mengenai Agama (tentu saja tidak sesuai dengan topik) dan berhubung saya sudah berkomitmen untuk menyelesaikan 30days me of me ini, maka sebisa mungkin saya akan menguraikan beberapa hal meskipun ini cuma sebatas racauan.


Berbicara agama maka tidak terlepas dari pembahasan mengenai Tuhan. Agama disebut-sebut sebagai konsep ketuhanan yang diformalkan, padahal pada kenyataannya banyak orang yang bertuhan, tapi tidak beragama, maupun sebaliknya, ada yang mengaku beragama tapi ternyata tidak bertuhan.


KONSEP AGAMA SAAT INI
Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim menemukan aspek penting dalam agama yakni pemisahan antara dunia--akhirat dan pembedaan antara hal-hal yang suci (sacred) dan hal yang nyata (profane).


Sesungguhnya apa yang disebut agama berpulang pada tafsir seseorang sebagai individu. Ada hal dalam agama yang tidak dapat dijelaskan, disebut sebagai kepercayaan. Dan hal itu tidak bisa selalu dikaitkan dengan rasionalitas atau ikhtiar menemukan kebenaran.


Konsep kepercayaan itu sendiri berbeda-beda satu dengan yang lain. Perbedaan itu mungkin dipengaruhi oleh kultur, pengetahuan atau bahkan kebutuhan kita sebagai insan. Kebutuhan untuk dilindungi juga kebutuhan untuk pembenaran atas perilakunya. Seorang antropolog Jose Luiz Gonzalez berpendapat tentang asal muasal agama. Dia menyatakan,“Tekanan emosional dan ketegangan hidup saat krisis menyebabkan orang mencari tokoh simbolis yang dapat membantu mereka menghadapi bahaya.”

TUHAN ITU ESA
Artinya tunggal atau satu, tiada yang lain selain Dia. Tuhan itu satu, tidak ada duplikat, kembaran, atau pun kloningan, dan sejak dulu kita mengamini konsep itu. Tapi entah mengapa agama malah cenderung mengacaukan pengertian tersebut. 


Akhir-akhir ini, selain isu suku dan ras, perbedaan agama menjadi salah satu pemicu perpecahan, di negeri ini. Silang pendapat di antara umat beragama bisa menjadi latar belakang pertikaian di berbagai belahan bumi. Mengherankan, pembahasan mengenai agama itukah yang sensitif atau jangan-jangan kita (umat beragama) yang terlalu angkuh untuk berpikir terbuka. 


Ironi. 


Mengapa kita membagi-bagi Tuhan Yang Maha Esa itu dengan keterbatasan akal kita. Saya pernah membaca sebuah puisi karya Y Thendra BP dalam buku antologi puisinya yang bertajuk Tuhan, Telpon aku dong. Dalam puisi tersebut tergambar jelas bagaimana usaha kita (umat manusia) membagi-bagi Tuhan dengan memperdebatkan kalau tuhan dalam pikiran kita adalah yang paling benar. Di akhir puisi disebutkan, Di atas sana Tuhan tersenyum sendirian. Ya, mungkin saja, Tuhan yang sedang kita perdebatkan itu sedang geleng-geleng kepala menyaksikan usaha kita untuk “menggandakan” keberadaanNya yang Esa itu.

BUKANKAH PERBEDAAN ITU INDAH?
Isu terkait perbedaan ini tidak akan berakhir bila kita masih memaksakan kehendak untuk menyatakan bahwa konsep yang kita peganglah yang paling benar. Menurut saya, sesungguhnya konsep agama itu lebih ke hubungan kita secara personal dengan Tuhan (vertikal), sama sekali tidak bisa dicampuri oleh pihak lain (horizontal). Sebab saya pernah mendengar, menuju Surga kita tidak akan bisa membonceng apalagi dibonceng pihak lain. Masing-masing bertanggung jawab atas diri pribadi, lalu mengapa kita musti dipusingkan dengan keinginan untuk mempengaruhi konsep ketuhanan orang lain? 


Ada beberapa film yang berusaha mengangkat isu ini.  Mungkin baru-baru ini kita disuguhi dengan film “?”, atau sebelumnya dengan “My Name is Khan”, CIN(T)A, atau 3Hati 2Dunia 1Cinta, dll.
Dalam film My name is Khan, disitu digambarkan bagaimana seorang Riswan Khan, seorang pengidap autism menyikapi perbedaan itu. Sungguh terlihat sangat indah ketika dia berpelukan dengan beberapa masyarakat Negara bagian Amerika yang terkena bencana, saling bahu-membahu mengatasi masalah, bukan malah memperdebatkan identitas masing-masing. Mungkin dunia ini akan terasa sangat indah bila kita pun memandang perbedaan itu seperti seorang Riswan Khan, yang terbatas itu. 


Lalu dalam film CIN(T)A, sebuah Film Indie yang diproduseri sembilan matahari dan disutradrai oleh Sammaria, yang mengangkat isu ini melalui konflik percintaan dua manusia. Film ini bercerita tentang bagaimana dua orang yang saling mencintai tetapi terpisahkan oleh perbedaaan dalam menyembah dan menyebut Tuhan mereka. Perbedaan - perbedaan mereka ini di sarikan dalam dialog-dialog ringan yang terkadang menggelikan tapi berbau filosofis mengenai Tuhan, agama dan cinta itu sendiri, seperti: 


"Lo yakin? Tuhanku aja bisa gue khianati, apalagi lo?” 


“Apa menurut Tuhanmu, aku bisa masuk surga?” 


Kedengarannya lucu, tapi itulah yang terjadi. Secara tidak langsung sering kali kita menyatakan Tuhanku berbeda dengan Tuhanmu, padahal kita sama-sama mengamini konsep Tuhan yang Esa. Yang menarik dari film ini adalah konsep Tuhan sebagai Arsitek dan Director kehidupan. Sekeras apapun kita berusaha menyingkap, toh kita tidak akan mendapat apa-apa selain pertanyaan-pertanyaan itu sendiri.


Dan kesemua film itu masih terlalu dangkal membahas mengenai perbedaan itu sendiri, masih hanya sebatas permasalah cinta yang terlarang, tidak ada penyelesaian, apalagi jawaban. Tapi itulah yang sesungguhnya yang terjadi, Tuhan terlalu maha untuk disingkap dengan akal kita yang terbatas.


Sangat disayangkan bila Bhineka Tunggal Ika hanya slogan semata hanya karena batasan yang kita buat sendiri.


God is Director 


Saya yakin ada hal-hal indah dibalik perbedaan-perbedaan ini, mengapa kita malah menjungkirbalikkannya dengan kedangkalan pemikiran kita?
6.27.2011 | By: Fairynee

DAY 03: BUKAN DALAM DONGENG

Aku tidak tahu apakah lagu ini pantas disebut lagu yang membuat mood turun apalagi sampai menciptakan kemurungan. Tapi lagu ini sempat menjadi OST buat untuk beberapa bulan. Hmmm, mungkin bukan membangkitkan kesedihan tapi lebih tepatnya disebut sebagai semacam peringatan (warning atau alarm) untuk wake up dari angan-angan kosong.

Lagu ini dibawakan oleh Tailor Swift dalam album Fearles yang diluncurkan pada tahun 2008, merupakan single kedua setelah single Love Story. Tailor Swift sendiri merupakan penyanyi asal Pennsylvania dengan genre musik Country. Swift paling dikenal oleh media karena rambut curly emasnya dan mata kucingnya yang berwarna biru. Single ini berhasil meraih dua Grammy Award sekaligus untuk Best Country Song dan Best Female Country Vocal Performance.



"White Horse"

Say you're sorry
That face of an angel
Comes out just when you need it to
As I paced back and forth all this time
Cause I honestly believed in you
Holding on
The days drag on
Stupid girl,
I should have known, I should have known

[Chorus:]
I'm not a princess, this ain't a fairy tale,
I'm not the one you'll sweep off her feet,
Lead her up the stairwell
This ain't Hollywood, this is a small town,
I was a dreamer before you went and let me down,
Now it's too late for you and your white horse to come around

Baby I was naive,
Got lost in your eyes
And never really had a chance
My mistake, I didn't know to be in love
You had to fight to have the upper hand
I had so many dreams
About you and me
Happy endings
Now I know

[Chorus:]

And there you are on your knees,
Begging for forgiveness, begging for me
Just like I always wanted but I'm so sorry

Cause I'm not your princess, this ain't a fairytale,
I'm gonna find someone someday who might actually treat me well
This is a big world, that was a small town
There in my rear view mirror disappearing now
And it's too late for you and your white horse
Now it's too late for you and your white horse to catch me now

Oh, whoa, whoa, whoa
Try and catch me now
Oh, it's too late
To catch me now


Unsur Dongeng
Aku tidak tahu pasti, sejak kapan aku tenggelam dalam dunia dongeng itu, tapi sejak dulu aku sangat suka dengan image putri-putrian. Jangan bayangkan kalau dunia kanak-kanakku akrab dengan dongeng-dongeng seperti Disney Princess, sebab kondisi tidak mengijinkanku untuk berkenalan dengan konsep itu baik melalui media elektronik maupun bacaan, dan kedua orang tuaku bukanlah seorang pendongeng yang mahir. Dulu, aku lebih akrab dengan tokoh super hero (seperti power ranger, Superman, Sailor Moon, dll) ketimbang konsep putri super lucky yang ditakdirkan hidup bahagia selamanya.

Fairynee
Princess
Cinderella

Kesemua nickname yang sering kali kupakai itu berhubungan dengan dunia dongeng. Bila mengabaikan asal muasal julukan itu, maka orang akan berpikir betapa aku sangat terobsesi akan konsep dongeng.

I'm not a princess, this ain't a fairy tale,
I'm not the one you'll sweep off her feet,
Lead her up the stairwell
This ain't Hollywood, this is a small town,
I was a dreamer before you went and let me down,
Now it's too late for you and your white horse to come around

Lirik itu telah berhasil menyindir akan segala kenaifanku sejak dulu. Naif? Dunia dongeng dan konsep putri-putrian serba sempurna itu selalu diindentikkan dengan kenaifan. Cobalah lebih realistis, aku ingat sekali akan nasihat temanku beberapa waktu lalu.

Kita semua memiliki mimpi, dan hidup dalam mimpi-mimpi itu. Seseorang yang tidak memiliki mimpi tidak sepenuhnya hidup. Lalu apakah memeluk mimpi bisa disebut juga dengan kenaifan?

Pada Suatu Hari dalam Rentang Ingatan.
Alkisah tersebutlah seorang pangeran yang mengadakan perjamuan besar, mencari seorang pendamping hidupnya kelak. Dalam pesta tersebut dia menemukan seorang perempuan terlihat begitu menawan. Mereka menghabiskan waktu dengan berdansa dan saling menatap, dan sang pangeran merasa bahwa dia telah menemukan apa yang dicarinya. Sayang, waktu berdentang dua belas kali, pertanda mereka mesti berpisah.

Lalu kita sebagai pembaca menebak, serta dalam pencarian sang pangeran ke penjuru negeri, menenteng sebelah sepatu kaca yang tertinggal di anak tangga. Dan seperti yang dapat ditebak sebelumnya, betapa pun takdir menyembunyikan pujaan hatinya, akhirnya mereka bersatu.

ah, dongeng yang terlalu mengada-ada. Bagaimana bila kita ubah alurnya sedikit. Seorang perempuan yang datang ke suatu perjamuan pesta, memandang pangeran tampan pujaan hatinya berdansa dengan banyak perempuan cantik. Dia, yang berada di sudut yang terlihat hanya bisa membayangkan sang pangeran menghampirinya, lalu mereka berdansa. Tapi dia tidak mempunyai sepatu kaca, artinya bukan ia yang akan terpilih.

Ya, bayangkan betapa kecewanya ia saat angan-angan justru mempermainkannya. Sang pangeran tampan memang menghampirinya, lalu mereka bercengkerama panjang lebar hingga ke soal yang lebih personal. Dia jatuh hati tapi sayangnya, kebahagian menjebaknya hingga terjerembab dalam kubangan. Dia tidak mempunyai sepatu kaca sebagai penanda bagi sang pangeran untuk mencari tahu keberadaannya. Tidak ada romantisme dan tentu saja tidak ada happily ever after sebagai penutup cerita.

Sebab kita memang tidak hidup dalam dongeng, dan banyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa kita samakan dengan fairytale.

Konsep Fairytale dan Realitas
Saya tidak tahu. Mungkin selamanya konsep itu akan melekat dalam diri saya, atau mungkin pula tidak, saya benar-benar tidak tahu. Tapi masa lalu telah mengajarkan banyak hal termasuk untuk lebih realistis menyikapi apapun. Tidak ada sosok putri yang sempurna sebab dalam dunia ini tidak ada kesempurnaan, dongeng tidak berlaku di sini.

Tapi satu hal yang aku yakini, meski bukan dongeng, tapi happily ever afeter itu ada. Dunia ini tidak berbentuk persegi tapi bulat seperti roda, yang akan terus berputar. Mungkin saat ini aku berada di bawah tekanan, tapi bukan tidak mungkin besok aku akan menuai tawa.

"Dan semestinya kita menyikapi segala sesuatu tidak dengan berlebihan agar tidak jatuh dalam kekecewaan."

DAY 03: DUNIA ANAK-ANAK MAMAK YANG AJAIB

-->
 "Jangan pernah membenci Mamak kau, Eliana. Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian"

Tidak banyak buku berseri yang pernah saya baca, bahkan tidak lebih dari jumlah sepuluh jari saya. Sebut saja tetralogi Laskar Pelangi, Serial Anak-anak Mamak, The Bartimeus Trilogy, dan yang paling terakhir dan masih dalam proses pembacaan (yang entah kapan akan selesai) yaitu tetralogi pulau buru. Sebenarnya saya ingin berbagi mengenai tetralogi Pula Buru, tapi sepertinya terlalu riskan untuk mengulas buku yang fenomenal itu. Selain karena belum tuntas membaca, saya merasa kapasitas saya belum memadai untuk mengulas sampai saat ini saya tidak lebih dari seorang penikmat (yang jarang merenung lebih dalam untuk menangkap esensi dari suatau bacaan). 


Kali saya akan mengulas tentang buku seri karya Tere-Liye yang berjudul Serial Anak-anak Mamak, yang lagi-lagi saya belum menuntaskan buku yang terakhir, berjudul Amelia (yang belum terbit hingga saat ini) yang merupakan pembuka sekaligus penutup serial ini. 


Nur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mamak memiliki empat orang anak yang luar biasa. dengan karakter dan kelebihan yang berbeda-beda. Ada Burlian si anak special, Pukat si serba tahu atau brilian, Eliana si anak pemberani dan Amelia yang merupakan bungsu dari ke empat bersaudara tersebut.
Apa yang membedakan buku ini dari serial-serial lainnya atau dari buku lain yang mengangkat tema serupa?
Salah satunya mungkin adalah kesederhanaan dalam bercerita. Tere Liye begitu lihai menggambarkan makna dunia di mata anak-anak, Tentu saja tidak mudah menyelami pemikiran masing-masing tokoh dalam novel yang berbeda baik dari watak maupun usia. Tentu tidak mudah untuk dapat menyelami pemikiran seorang anak laki-laki yang serba ingin tahu, menguraikan pengalaman luar biasa seorang Pukat yang seumur hidupnya dipenuhi dengan teka-teki pemberian Wak Yati, menceritakan sisi feminisme dari seorang Eliana yang pemberani, atau pun menggambarkan kepolosan seorang Amelia yang selalu bertanya. Selain itu dunia yang diceritakan Tere Liye dalam novel ini tidak serba “mewah” atau berlebihan sehingga tidak bisa dijangkau khayalan pembaca seperti yang sering kita temukan dalam novel-novel lainnya. Cara bercerita Tere Liye yang sederhana itu berhasil mengajak pembaca bertualang menuju salah satu perkampungan kecil di Sumatera Selatan. 
Sayangnya, di beberapa bagian, ada cerita yang tidak masuk akal. Terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang sering kita temukan dalam layar kaca. Bahkan ada scene yang menggambarkan karakter “super hero” dadakan, seolah-olah tanpa sang tokoh, maka persoalan yang terjadi tidak akan selesai. Seperti Burlian yang selamat ketika hampir di makan buaya, tertimpa gedung sekolah yang ambruk yang menyebabkannya masuk IGD dan akhirnya bertemu dengan bapak menteri yang bersedia memenuhi segala permintaannya (termasuk mengangkat pak Bin menjadi PNS), atau berhadapan dengan buronan yang lepas dari tahanan. Suatu kebetulan yang klise.
Tapi terlepas dari kesemua itu, serial ini sangat layak baca, menarik dan tentu saja menghibur. Buku ini sebagai bentuk bacaan yang memadai bagi anak-anak yang "kenyang" dicekoki dengan novel-novel percintaan yang tidak masuk akal dansama sekali tidak mendidik.

Catatan Kecil:
Selain menikmati dunia kanak-kanak yang mempesona dan ajaib, saya juga menemukan banyak petuah-petuah yang bersifat tidak menggurui. Melalui pengalaman-pengalaman dari masing-masing tokoh kita bisa memetik hikmah. Namun inti dari keempat serial ini adalah betapa kasih Ibu itu tidak terbatas (seperti quota pembuka di atas". Sosok perempuan yang mampu melakukan banyak hal demi anak-anaknya. Itu tergambar jelas, ketika mamak rela tersengat tawon demi menyelamatkan Burlian kecil ketika berada di Ladang, atau ketika mamak rela bolak-balik dari rumah hanya untuk mengetahui kalau Eliana tidak kurang suatu apapun saat memutuskan keluar dari Rumah, tiap malam, saat Eliana tertidur. Dan buku ini berhasil membuat saya bersyukur akan keberadaan seorang ibu.

Ktuipan-kutipan menarik: 

"Pertanyaan akan memicu penemuan hebat, pemikiran masyur bahkan permulaan yang agung. Sementara jawaban terkadang malah mengakhiri sebuah petualangan yang seru"

"Tetapi apapun yang terjadi, kita sudah melaksanakan proses dengan baik. Sekarang tinggal menunggu dan berharap. Selalulah meminta pertolongan dengan dua hal itu. Menunggu berarti sabar, berharap berarti doa."

"Terkadang kita membutuhkan melihat langsung untuk mengerti hakikat kasih sayang"

"Jika kalian tidak bisa ikut golongan memperbaiki, janganlah ikut golongan yang merusak. Jika kalian tidak bisa berdiri di depan menyerukan kebaikan maka berdirilah di belakang. Dukung orang-orang yang mengajak pada kebaikan dengan segala keterbatasan"

Buku empat
Buku Tiga
6.26.2011 | By: Fairynee

Day 02: Romantisme dalam Paradoks

Meskipun suka membaca, namun untuk mengulang bacaan bahkan sampai 3 kali itu di luar kebiasaanku. Wajar saja, setiap kali selesai membaca, aku terkadang lupa akan esensi dari suatu bacaan, apalagi bila tidak sesuai dengan “selera”ku yang memang aneh, bisa dipastikan, begitu lembar terakhir ditutup, saat itu juga aku akan lupa.

Tapi ada beberapa buku yang menurutku sangat menarik, bahkan meski dibaca berulang-ulang, aku masih merasakan euphoria yang sama ketika selesai membaca buku itu pertama kali, salah satunya Hujan bulan Juni.

Puisi yang paling berkesan dalam buku ini adalah Aku ingin dan Hujan bulan Juni yang juga menjadi Judul buku. Ada romantisme yang terasa dalam kesederhanaan bahasanya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1994.


Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu

Aku ingin mecintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sapardi Djoko Damono, (1989)



Dalam sajak Hujan bulan Juni kita temukan suatu hal yang paradoks (tapi paradoks yang memikat menurutku) karena seyogyanya bulan juni bukan termasuk musim penghujan. Demikian juga dalam sajak Aku ingin, kita menemukan hal yang kontradiksi kembali, api dan kayu, lalu awan dan hujan.  Lewat kata-kata bersahaja itu, kita menemukan pengalaman lebih saat membacanya, ketulusan yang ingin diungkapkan terasa sangat begitu sederhana, tidak perlu kata-kata yang berbunga-bunga.

Namun ada pula yang menganggap kesederhanaannya sebagai kemiskinan kata. Kosakata yang digunakan dalam rentang waktu 40 tahun karyanya dinilai terbatas. "Miskin itu relatif. Tapi Sapardi mengulang-ulang," kata kritikus sastra Nirwan Dewanto.


Day 02: Surat yang tak Ingin Kukirim

"Terkadang ada sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar..."


Dear,

Aku tidak tahu pasti apakah surat ini mesti kukirimkan padamu atau tidak, sebab aku terlalu malu untuk mengakui sesuatu yang selama ini masih menjadi tanda tanya, tapi untuk menyimpannya sendirian, rasanya dadaku sudah terlalu penuh. Sebut saja aku bodoh atau naif atau apapun itu, tapi sungguh aku masih mempertanyakan getar-getar yang menggelisahkan ini tiap kali kita berpapasan. Bahkan sebelum aku menuliskan surat ini, aku masih berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan dan berusaha meyakinkan kalau perasaan ini benar adanya. Aku takut salah menafsirkan, bahkan lebih lagi, aku takut jatuh dan merasa sakit lagi. Bukan tak mungkin jurang yang menungguku di depan sana lebih dalam dari sebelumnya. Aku tahu benar apa itu rasa sakit.

"Setiap orang hidup dengan masa lalunya karena masa lalu tidak akan pernah betul-betul berlalu. Setiap kali seseorang berniat melupakan sesuatu dari masa lalu itu, sebetulnya ia telah mengguratkannya dalam hati."

Benar, kita bukan remaja ingusan lagi, yang berlebihan dalam menanggapi perasaan-perasaan atau terlalu cepat mengartikan ketertarikan fisik sebagai cinta. Seorang remaja yang tiba-tiba mampu menuliskan beratus-ratus sajak dalam buku harian mengenai sang pujaan hati, padahal tiap kali mendapat tugas mengarang, dia terpaksa menyalin dari buku-buku sastra yang dipinjamnya dari perpustakaan, dan nilai bahasa Indonesianya pun tidak pernah lebih dari enam. Cinta seperti itu bukan milik kita lagi, bukan?

Hakikat cinta bagiku bukan sekedar menyukai apa yang terlihat oleh mata, tapi lebih dari itu, cinta itu sakral.

Ah, kau terlalu merumitkan arti cinta, komentar temanku dulu saat mendengar curhatanku. Cinta itu spontanitas, bahkan kita tidak bisa menerka-nerka kehadirannya, imbuhnya lagi. Masa lalu telah menutup matamu sehingga kau selalu berusaha melogiskan sesuatu termasuk makna cinta itu sendiri.

Segala sesuatu itu tentu saja ada sebab-akibatnya.

Berulang kali aku mencari-cari jawaban yang paling masuk akal atas pertanyaan kenapa bisa terseret dalam arus ini, lagi. Kenapa denganmu, bukan dengan dia, dia atau dia yang lain? Aku mencoba membuat daftar, apa-apa saja yang kusuka darimu dan segala yang bertentangan dengan prinsipku. Nonsene. Aku selalu terbentur dengan hal-hal yang tak masuk akal itu. Oh, jangan-jangan logikaku telah mengalami kelumpuhan. Perbedaan  seakan-akan menjadi tidak penting saat ini.

Cinta yang memilih kita bukan kita yang memilih cinta.

Aku tidak bisa berbohong, getar-getar itu senantiasa mengikutiku kemana pun melangkah, membuat kegaduhan dalam dadaku tiap kali keadaan memaksa aku-kau saling berinteraksi. Getar yang perlahan-perlahan aku nikmati, melelahkan sekaligus membuat efek bahagia (Terserah kalau kalimatku ini kau anggap picisan), dan menjadi semacam kebutuhan. Gila, bahkan untuk merasa bahagia harus sebegitu melelahkannya, atau mungkin kelelahanlah yang membuat kita bingung memaknai kata bahagia itu sendiri.

Aku tidak akan bercerita sejak kapan dan di mana perasaan ini bermula, sebab aku juga tidak tahu, atau jangan-jangan getar-getar ini telah membuatku mengidap gejala amnesia atau alzheimer atau mungkin kerusakan memory total sehingga aku tidak bisa merunutkan satu per satu awal mula perasaan ini.

Sudahlah, semakin berusaha menjelaskannya secara logis, semakin aku terbentur dengan ketidaklogisan itu sendiri. Semoga saja kau tidak terganggu dengan suratku ini, karena bila itu terjadi aku akan sangat menyesal karena tidak membuangnya saja ketika keraguan merongrongku saat menulisnya.

Salam,







Day 02: Meracau perihal Kematian

Mati.

Saya tidak tahu apa-apa tentang kematian. Saya hanya tahu kematian itu adalah pasti, dan merupakan fase dari kehidupan yang musti kita lewati, hanya waktunya saja yang tidak ketahui kapan, misteri dari Sang Khalik. Karena kepastian itulah mungkin sehingga saya tidak terlalu memusingkannya apalagi berusaha ingin tahu misteri apa yang tersebunyi di balik kematian itu.

Ada yang pernah bilang, kematian itu merupakan akhir dari kehidupan, tempat peristirahatan abadi setelah perjalanan panjang yang melelahkan di dunia. Tapi dalam kitab suci, saya malah menemukan arti kematian tersendiri bagi orang yang percaya, sebagaimana yang disebutkan Paulus, sebagai awal dari kehidupan yang abadi.

Aku tidak akan menyorot lebih lagi masalah kematian itu, karena terlalu muskil. Tidak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi atau kondisi setelah kematian. Tapi aku tertarik membahas mengenai respon dari lingkungan sekitar saat menerima kabar kematian.

Kematian seringkali meninggalkan perasaan kehilangan dan duka yang mendalam bagi sanak keluarga, teman, rekan atau bahkan orang yang sama sekali tidak dikenal (yang terakhir ini lebih sering berlaku bagi artis atau orang terkenal). 

Saya pernah menonton satu film drama yang berjudul Rabbit Hole (dibintangi oleh Nicole Kidman dan Aaron Eckhart). Film ini bercerita tentang kondisi rumah tangga Becca dan Howie Cobert sepeninggalan Danny, anak semata wayang mereka. Kesedihan dan rasa kehilangan memunculkan masalah dalam diri mereka masing-masing, dan membentangkan jarak yang sulit untuk dilalui. Hubungan mereka menjadi dingin. Tekanan kian terasa ketika adik perempuan Becca menyampaikan kabar mengenai kehamilannya.

Meski mereka berusaha untuk keluar dari lingkaran kesedihan itu dengan mengikuti sebuah klub/ perkumpulan yang terdiri dari pasangan-pasangan yang mengalami hal yang sama, sama sekali tidak menolong apa-apa, bahkan Becca memutuskan untuk keluar dari klub itu dan menjalin hubungan yang aneh dengan Jason, maha siswa yang menyebabkan kematian Danny, putranya.


Film tersebut menyiratkan betapa kematian menimbulkan duka yang mendalam, bahkan traumatik seumur hidup. Ada pula yang begitu takut menghadapi kematian dan berusaha mencari cara untuk bisa hidup lebih lama, bahkan menempuh cara-cara yang tidak masuk akal. Kematian itu seperti teror, kapan saja dan di mana saja, kematian bisa menghampiri.
 
Saya pernah membaca cerpen yang dimuat di salah media, berjudul Pemakaman yang Bahagia oleh Sungging Raga. Dalam cerpen ini diceritakan bagaimana si tokoh merasa bahwa tidak ada lagi yang bisa diharapkan atau sesuatu yang patut dibanggakan dari hidupnya, maka dia bertekad menciptakan suatu sejarah yang pantas dikenang dari dirinya kelak. Dia berniat mengakhiri hidupnya dan meninggalkan wasiat surat yang meminta agar dalam pemakamannya nanti tidak ada air mata apalagi kesedihan. Dia menyebutnya pemakaman yang bahagia. Dalam suratnya, dia meminta pesta pemakaman yang meriah seperti layaknya pesta badut, dengan tawa yang lebar dan pakaian yang berwarna-warni. Suatu pemakaman yang aneh, mungkin itu yang terbersit di kepala kita saat membaca cerpen ini.

Sesungguhnya pemakaman yang bahagia seperti itu bukan cuma cerita khayalan penulis semata tapi benar-benar terjadi dalam masyarakat. Mungkin pernyataan ini membingungkan, tapi itu benar adanya. Contoh paling dekat dengan saya adalah prosesi pemakaman dalam budaya batak.

Dalam budaya batak, prosesi pemakaman itu memiliki tingkatan. Semakin berumur (tua) orang yang dimakamkan itu, maka semakin besarlah upacara adat yang dilakukan. Bukan hanya ada musik-musik atau tarian, tapi juga acara perjamuan yang besar. Suatu hal yang kontradiktif. Dan semua itu tentu saja membutuhkan dana yang sangat besar. Lalu pertanyaan yang muncul, bagaimana dengan pemakaman bagi keluarga miskin? Bagaimana mereka memenuhi biaya upacara adat yang demikian besar?

Pernah mendengar prestise lebih dari segalanya? Itu sebabnya tak jarang ada yang menabung selama hidupnya hanya untuk memenuhi biaya pemakamannya kelak. Bukan suatu hal yang asing, saat seseorang membangun tugu atau kuburannya padahal sama seperti kita, dia juga tidak tahu kapan kematian akan menghampirinya.

Tapi terlepas dari kontroversi upacara ini, ada hal yang menjadi pelajaran penting yang bisa dipetik. Bahwa hidup itu sebentar (tidak kekal), kita mesti berjaga-jaga agar tidak meninggalkan semacam penyesalan atau bahkan menyusahkan orang-orang yang ditinggalkan . Bukan cuma dalam hal materi tapi juga berkaitan dengan janji atau pekerjaan yang mungkin belum selesai.

when life ends, the mistery of life begins


Dan lagi-lagi saya meminta maaf karena meracau sembarangan di siang bolong ini. sama sekali tidak berniat menggurui apalagi sok menasehati. Selamat hari minggu semuanya.



SGA: Hujan, Senja, dan Cinta

                             

Karena ia mencintai dia, dan dia menyukai hujan, maka ia menciptakan hujan untuk dia
Begitulah hujan itu turun dari langit bagaikan tirai kelabu yang lembut dengan suara yang menyejukkan. Dia sudah tahu saja dari mana hujan itu datang.duduk di depan jendela, diusapnya kaca jendela yang berembun. Jari-jari-nya yang mungil mengikuti aliran air yang menurun perlahan di kaca itu.
”Hujan, o hujan …” Dia berbisik.
Dia begitu berbahagia menyadari cinta kekasihnya yang begitu besar, sehingga menjelma hujan yang selalu dirindukannya. Dia tahu betapa ia selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya. Dia terharu dengan cinta yang membuat segala benda dan peristiwa menjadi bermakna. Dia memandang keluar jendela, menembus tirai kelabu, melewati desau pohon-pohon bambu yang basah dan berkilat dalam hujan dan angin, mengirimkan getaran cinta yang melesat sepanjang langit mnuju kekasihnya di balik kabut. Kilat berkeredap dan guntur menggelegar diatas gunung dalam pertemuan cinta yang panas dan membara.
Hujan itu tidak pernah meninggalkan dia lagi. Hujan itu selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Ke mana pun dia datang, datang pula hujan ke tempat itu. Sambil menyetir, dari dalam mobil selalu diusapnya kaca jendela. Dingin hujan itu dirasakannya sebagai dekapan hangat kekasihnya. Cinta itu abstrak, pikirnya selalu, sepasang kekasih tidak usah selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka. Cinta membuat sepasang kekasih saling memikirkan dan saling merindukan, menciptakan getaran cinta yang merayapi partikel udara, melucur dan melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta. Dari milan, dari Kyoto, dari Jakarta…
Terkadang dibukanya jendela mobil, ditadahinya air hujan dengan tangannya, lantas direguknya. Begitulah caranya cinta meresap kedalam tubuh, menjadi bagian dari alam. Meskipun bukan musim hujan, selalu ada hujan yang turun hanya untuk dirinya. Bila dia keluar  rumah, lenyap pula hujan. Hujan itu mengikuti mobilnya sepanjang jalan. Sepanjang jalan yang dilaluinya menjadi basah karena hujan, dan hanya jalan yang dilaluinya saja menjadi basah dan sejuk sebentar karena hujan yang turun ke bumi mengikuti dia atas nama cinta.
”Heran,” kata pembantu rumah tangga di rumahnya, ”setiap kali ibu pergi, hujan berhenti, kalau Ibu datang, hujan lagi.”
”Heran,” kata kawan-kawannya, ”belakangan ini, asal kamu datang pasti hujan, kamu pergi hujan hilang. Padahal bukan musim hujan.”
Suaminya, yang selalupeka terhadap suasana hati istrinya, menadahi air hujan itu, dan membawanya ke laboratorium.
”Ah, ini hujan karena cinta,” katanya kemudian, ”siapa lagi yang jatuh cinta kali ini?”
Dia terkesiap dalam hati. Tapi wajahnya dingin saja.
”Tidak ada apa-apa. Kenapa sih?”
”Kamu kira bisa menutupi perasaanmu yang berbunga-bunga?”
Dia diam saja. Memang hatinya berbunga-bunga.
Diluar hujan masih saja menderas. Air hujan menganak sungai disela-sela rumput, dedaunan basah dan bergoyang-goyang. Tanpa diketahui suaminya dia mengusap seluruh embun disetiap kaca jendela rumah dengan kedua telapak tangannya., lantas membasuh wajahnya. Tubuhnya bergetar dan jiwanya menangis karena terharu. Hujan yang sangat disukainyatak pernah lenyap lagi dari hidupnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja.
”Hujan, o hujan” desahnya sembari memandang keluar jendela setiap malam.
***
Kemudian tibalah saat ketika cinta diantara dia dan ia memudar. Sebarapa lama sih umur cinta? Hujan yang semula mewakili perasaan cinta yang dahsyat itu sekarang terasa sangat menganggu.
”Cinta kita sudah berakhir, kenapa hujan itu masih saja mengikuti aku ke mana-mana? Lihat  semua orang jadi terganggu. Setap keluar mobil aku harus pakai payung. Jalan-jalan di halaman rumah sendiri harus pakai jas hujan. Gimana dong?  Kasihan tamu-tamuku. Dimana-mana asal orang berurusan denganku menjadi kehujanan dan basah. Bisa nggak kamu tarik hujanmu ini?”
”Mana bisa? Hujan itu akan selalu ada selama aku masih mencintai kamu.”
”Kamu kira aku senang dicintai kamu? Nggak usah cinta-cintaan lagilah. Tarik hujanmu ini.”
”Sudah kubilang, selama aku mencintai kamu, tidak bisa.”
”Kalau begitu jangan mencintai aku. Bikin repot saja.”
”Bukan salahku. Siapa yang cintanya memudar? Dulu minta-minta dikasih hujan, sekarang omongannya begitu.”
”Bukan salahku aku tidak mencintai kamu lagi. Cewek seabreg begitu. Mana kutahu kamu tetap setia?”
”Aku tetap setia. Menyentuh pun aku tidak pernah.”
”Bukan itu ukuran kesetiaan”
”Apa dong?”
”Sudah kubilang cinta itu abstrak.”
”Tidak.”
”Menurut kamu?”
”Cinta itu konkret.”
”Buktinya?”
”Hujan itu.”
Ia dan dia betengkar sampai malam sambil minum bir plethok. Aneh sekali. Mereka bahagia dalam pertengkaran itu. Barangkali karena mabuk.
”Setidaknya kita masih punya perasaan,” meraka merumuskan setangah mabuk.
Namun hubungan mereka tidak tertolong. Semenjak pertemuan terakhir itu, ia dan dia tidak pernah berjumpa lagi. Meskipun begitu hujan itu tetap mengiringi dia. Perempuan itu selalu bisa melihatnya dari balik jendela loteng, dimana dia mengalihkan cintanya melalu e-mail ke seluruh dunia.
”Masih cinta juga tuh si doi sama istri macam kamu?” suaminya menyindir.
Dia tak pernah menjawab. Tapi dia tahu jika ia masih mencintainya.
***
Sulit sekali bagi ia untuk tidak mencintai dia. Selama itu pula ia tidak mampu menarikkembali hujan cintanya yang menderas dari langit.
”Pikirkan saja istri kamu,” kata istrinya yang menangkap kegelisahan suaminya, ”jangan istri orang lain jadi beban pikiran.”
Ia tak pernah menjawab, karena tidak ada yang bisa dijelaskan. Setiap kali ia melewati jalan layang yang terlihat di mana sepetak hujan itu berada, tapi ia sudah tidak menghendaki perjumpaan macam apapun. Hatinya hancur berantakan seperti keramik jatuh ke landasan dari pesawat kargo yang sedang take off. Dengan kesal dihapusnya nomor-nomor telepon dia dari hand-phone, namun ini hanya membuat ia semakin kesal, karena toh masih hapal juga. Terlalu banyak hal dari dia telah meresap kedalam dirinya dan tak mungkin dihapus untuk selama-lamanya. Gambar-gambar, foto-foto, kata-kata. Waktu meninggalkan jejak, begitu pula saat-saat yang dilaluinya bersama dia. Segenap makna perjumpaanya meresap kedalam hatinya dan ia tidak bisa melupakan dia. Ia tak bisa lagi memandang segala sesuatu didunia ini seperti sebelum berjumpa dengan dia, ia tak bisa lagi berpikir di luar cara berpikir seperti dia. Mereka telah berpisah, tapi tidak terpisahkan. Begitukah caranya cinta berada? Pikirnya. Tapi setiap kali berpikir ia teringat dia. Maka ia berusaha berhenti berpikir. Ia marah sekali dengan cinta.
”Taik kucing dengan cinta,” umpatnya dalam hati.
Namun pada suatu senja yang gemilang, cinta jualah yang menyelamatkanya, ketika seorang dia yang lain muncul kembali dari balik kenangan yang sudah terhapus. Dia tidak berkata apa-apa, seperti kutipan sebuah saja: Tidak ada janji | pada pantai.2 
Ia pun tahu, tak ada janji pada perjumpaan yang manapun – tapi janji-janji memang tidak diperlukannya, karena janji sebuah cinta yang paling mebara sekali pun hanyalah janji seuatu senja yang terindah. Kecuali di negeri senja, adakah senja yang tidak berakhir?
”kuberikan segalanya untukmu,” katanya kepada dia, ”kuberikan cintaku, jiwaku, hidupku, apa saja yang kau mau.”
Dia hanya tersenyum menghela napas, memandang senja yang dipantulkan kaca-kaca gedung bertingkat.
”Lihatlah senja di kaca gedung itu,” kata ia kepada dia.
”Kenapa?”
”Bila engkau melewati jalan ini, senja itu masih akan berada disana, selama-lamanya.”
”Bisa?”
”Bisa sekali, selama engkau masih mencintaiku.”
”Aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu.”
”Tidak perlu. Senja itu sudah mengatakannya.”
Dia melihat langit senja yang menjadi abadi di kaca-kaca gedung bertingkat itu. Dia tahu betapa sulitnya melihat matahari tenggelam di Jakarta. Tapi kini ia telah mengabadikan senja ke kaca-kaca gedung bertingkat untuk dirinya saja. Dia bahagia sekali, namun tidak bisa berkata apa-apa. Ia pun tidak berkata apa-apa.
Mereka berdua menatap langit, kubah senja yang merah membara bagaikan sebuah impian yang menjanjikan bahwa Negeri Senja memang betul-betul ada. Tapi langit yang semburat kemerah-merahan itu hanyalah sebuah janji yang sebaliknya. Setiap detik terjadi perubahan warna, dari merah yang membara sampai memancar keemas-emasan ketika matahari mestinya telah terbenam. Mereka tak bisa melihat matahari di balik gedung. Senja yang keemasan-emasan itu kemudian dengan pasti menggelap, semakin gelap, dan menjadi malam. Bagi mereka yang terbiasa mengamati senja, akan selalu tahu bahwa senja belum betul-betul berakhir ketika matahari terbenam, dan senja masih juga berbisiki-bisik ketika langit jadi gelap dan permukaan air laut yang tadinya berwarna emas seolah-olah mendadak lenyap, tinggal kecipak suara lidah ombak. Pada saat seperti itu, sebuah renungan telah mencapai kesimpulannya.
Namun mereak tidak berada di pantai. Mereka di tengah kemacetan jakarta yang tidak membri peluang untuk kalimat yang – seperti kutipan sebuah sajak–-bisa berlarat-larat .3
”Mengapa kita tidak mencari bir plethok,” ujar perempuan itu.
Ia mengangguk. Ia berkesimpulan, banyak perempuan Jakarta suka bir plethok.4
***
Dia memandang keluar jendela lagi pagi itu. Sudah beberapa minggu ini diperhatikannya hujan itu berubah, dulunya lumayan deras, sekarang kederasannya lumayan berkurang, meski belum jadi gerimis.
”Apakah cintanya mulai berkurang?” pikirnya.
Kali ini dia sendiri yang menadahi air hujan itu dengan sebuah gelas, dan membawanya ke laboratorium.
Cinta mulai berkurang. Begitu tertulis dalam kertas laporan, dan dia merasa kecewa. Aneh, dia sendiri yang dahulu menolak hujan itu, dan sekarang ketika hujan itu menujukkan tanda-tanda mereda, dia merasa penasaran.
”Kenapa cintanya bisa berkurang? Cinta itu mestinya abadi dong!”
Dengan setengah panik dia memencet-mencet handphone, tapi tiada jawaban. Dia kirimkan sebuah lagu kelompok Queen melewati voice mail. Sebuah lagu yang menjerit:I Stil Love Youuuu! 
Tapi semuanya sudah terlambat. Pada senja hari itu juga hujan yang selalu mengikuti kemana pun ia pergi berubah menjadi gerimis dan akhirnya berhenti sama sekali.
”Hujan, o hujan, kemana kamu hujan,” desahnya
Pada senja hari itu dia menatap keluar dari jendela lotengnya, dilihatnya langit yang kemerah-merahan. Langit begitu cerah. Hujan sduah berhenti. Dia tahu betapa ia menyukai langit senja yang kemerah-merahan seperti itu. Dia ingin mengirimkan senja itu kepadanya, sebagai tanda bahwa dia masih mencintainya – mungkin cintanya memang masih ada sedikit, mungkin agak banyak, mungkin pula hatinya tak pernah berubah sebetulnya, tak jelaslah. Saat itu, detik itu, dia ingin sekali.
Dia menatap langit senja di kejauhan sana, dan tahu itu bukan miliknya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi perasaanya.

”Mungkin aku terlalu sentimentil,” pikirnya.6

Pondok Aren, Minggu 30 Juli 2000 ( harian Kompas, 13 Agustus 2001)

1. Dalam cerita ini, ia adalah kataganti orang ketiga lelaki, dan dia adalah kata ganti orang ketiga perempuan.
2. Dari sajak Goenawan Mohamad, pada sebuah pantai: interlude(1973)
3. Ibidem
4. Cocktail dengan unsure bird an tequila
5. Dari lagu Love of My Love dalam album Live Killers (Juli 1979) vocal oleh Freddy Merkuri (1946-1991)
6. Sajak Pada sebuah Pantai: Interlude(1973) dimulai dengan: semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak sentimentil