7.27.2011 | By: Fairynee

DAY 08: YOUR FAVOURITE INTERNET FRIEND

SENJA DI STASIUN

Hampir pukul lima. Bila sesuai jadwal, seharusnya 30 menit lagi kereta yang ditunggunya akan tiba. Tapi sejam lalu dia menerima pesan singkat yang mengatakan kalau tamu yang sedang ditunggunya ternyata menumpang kereta ekonomi, dan seperti yang diketahui, suatu hal yang aneh bila kereta ekonomi tidak terlambat.
Dia membeli minuman kaleng bersoda, lalu duduk di bangku panjang, tak jauh dari penjual minuman itu. selain dia, di bangku itu ada juga segerombol orang yang sepertinya sedang menunggu kereta yang sama. Tapi dia yakin, mereka tidak sedang menunggu seseorang. Seorang perempuan setengah baya yang baru saja selesai berbicara, memandang ke arahnya, mereka saling tersenyum. Di antara mereka ada wajah yang lesu, mendengar satu per satu nasihat yang ditujukan padanya.
Sekelilingnya sangat hiruk pikuk. Berbagai suara saling tumpang tindih, suara penjual makanan, tukang Koran, lalu anak-anak menangis, dan lengking kereta bisnis yang akan memulai perjalanan. Tak jauh darinya, orang-orang saling berpelukan, memeluk ayah, ibu, anak, sanak, pacar mungkin juga kekasih gelapnya. Mata mendadak memerah, menahan haru. Ada yang bersungguh-sungguh, tapi ada pula yang menganggapnya sebagai ritual semata.
Ponsel dalam sakunya berbunyi.
Kereta akan terlambat. Apa kamu sudah di stasiun?
Tepat seperti dugaan sebelumnya, kereta yang ditunggunya akan datang terlambat. Dia mengetikkan kalimat, memberi tahu bila dia telah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Tapi tak jadi, dia tidak ingin menimbulkan perasaan-perasaan sungkan.
Sebentar lagi mereka akan bertemu, saling bertatap muka. Sejak kemarin dia berusaha membayangkan pertemuan yang biasa. Begitu mereka saling berhadapan, mungkin akan dimulai dengan sapaan, bertanya apa kabar sambil berjabat tangan, kemudian saling bertanya mengenai pekerjaan masing-masing. Percakapan akan berlanjut sembari melangkah meninggalkan stasiun.
Saat pesan singkat diterimanya dua hari yang lalu, dia sempat kaget sekaligus bingung. Besok saya akan datang ke kotamu. Hanya itu, untuk urusan apa, dia dibiarkan penasaran sendirian.
Dia sendiri merasa lucu akan kebingungannya menanggapi kabar itu.  Bukan karena tidak suka, dia justru senang karena akhirnya bisa bertemu dengan seseorang, setelah hampir satu tahun empat bulan hanya berbincang di ruang maya, tapi entah mengapa dia mulai dikuatirkan hal-hal sepele, mulai dari perihal bagaimana hingga apa yang mesti dilakukannya bila bertemu nanti.
Semua kekuatiran sungguh beralasan bila dikaitkan dengan sifatnya yang kaku. Dia sendiri tidak tahu persis mengapa dia begitu pendiam dan membosankan, padahal seingatnya dulu, kedua orang tuanya termasuk golongan yang dikenal banyak orang. Ayahnya berkali-kali menjadi ketua lingkungan di kompleks tempat tinggalnya, atau ditunjuk menjadi ketua Sosial Tolong Menolong, sementara ibunya banyak mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang sebenarnya tidak penting. Hampir tiap minggu, ayah dijemput oleh teman-temannya, katanya untuk menghadiri rapat. Sedangkan ibunya sibuk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Mengobrol panjang lebar, tentang banyak hal, termasuk membahas gosip-gosip di televisi. Mereka cekakak-cekikik sampai malam. Mereka sepertinya tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
Saudara-saudaranya juga bukan orang yang membosankan. Arya, saudara tertuanya, dengan mudah berganti-ganti pacar, melancarkan rayuan maut dengan kata-kata manis, sementara Ranti, adik bungsunya sering terlibat dengan berbagai organisasi di kampus. Kedua saudaranya itu pintar berbicara dan selalu berhasil meyakinkan orang-orang untuk mempercayai ucapan mereka. Sementara dia, selalu bingung bila hendak memulai pembicaraan. Di kantor dia terkenal sangat irit  suara, berbicara bila hanya berkaitan dengan pekerjaan dan proyek-proyek yang sedang dijalankannya. Bahkan dalam rapat dia lebih banyak mendengar ketimbang mengajukan interupsi, seperti rekan-rekannya yang lain.
Mungkin itu sebabnya, mengapa Lisa, kekasihnya pergi dua tahun yang lalu, dan semenjak itu tak seorang pun perempuan yang mau mendekatinya. Mereka bilang, dia lebih mirip gunung es. Dingin.
Semestinya saya tidak membiarkan pikiran-pikiran ini mengganggu, pikirnya, gusar, mengusap wajahnya yang berminyak dengan sapu tangan. Minumannya habis. Dia memutar-mutar kaleng minuman itu. Tak berniat bangkit, apalagi membuang sampah anorganik itu pada tempatnya. Di sampingnya, orang-orang tadi sudah letih berbicara, mereka saling diam, mungkin juga sama gusarnya dengan dia, atau mungkin lebih.
Selama ini tidak pernah ada kesepakatan. Tidak ada yang perlu dikuatirkan. Berulang kali dia berusaha meyakinkan diri. Saya bisa bersikap seperti biasanya, saat kami menghabiskan sepanjang malam dengan mengobrol ke sana kemari. Tapi di tahu pasti, mengetikkan kalimat tidak sama dengan berbicara langsung.
Hmm, bila bertemu nanti, sebaiknya saya mengajaknya ke kafe favourite saya. Saya akan memilih meja dekat jendela yang mengarah ke trotoar, mengobrol sambil memandangi orang-orang yang lalu lalang. Dia menyusun rencana, termasuk memilah topik-topik pembicaraan yang dianggapnya tidak akan membosankan.
Dia ingat, mereka berkenalan pertama kali enam bulan yang lalu. Saat itu dia mendaftar di sebuah komunitas menulis pemula. Cuma iseng, hanya karena ingin tulisannya dibaca orang lain setelah semua media menolaknya. Entah siapa yang mulai menyapa, dia tidak ingat. Tahu-tahu dia sudah terlibat percakapan seru dan lebih banyak omong kosong di kotak chatting.   Saling bertukar nomor telepon, karena merasa kata-kata tidak lagi cukup menyampaikan apa yang hendak mereka bicarakan. Bukan dia yang menelepon lebih dulu.
Tapi tamu yang sedang ditunggunya saat ini sangat pandai mencairkan suasana. Dia suka bercerita, apa saja, tanpa memusingkan betapa kakunya lawan bicaranya. Ceritanya sangat mengesankan, lagipula dia merupakan pencerita yang memikat. Lewat cerita, kita yang menyimak ceritanya seperti diseret untuk mengalami pengalaman menakjubkan di berbagai tempat, seperti mengunjungi Mesir, menyusuri padang pasir atau memandang sungai Nil, atau duduk di bawah menara Eiffel sambil menghitung bintang. Dia kerap terheran-heran karena bisa terseret dalam cerita-cerita yang belum pasti kebenarannya.
Dia tidak lagi membenci kesunyian.
Pak Nurdin, koleganya yang ditemuinya dalam acara launching produk perusahaan sebulan yang lalu berkomentar kalau dia banyak berubah. Lebih mudah tersenyum dan wajahnya terlihat lebih cerah. Dia sampai mematut di depan cermin toilet untuk memastikan kebenaran ucapan itu, karena sebelumnya, beberapa rekannya juga berkata serupa.
Tapi dia tidak yakin sepenuhnya. Buktinya dia masih merasa gusar. Dia mentertawai dirinya sendiri, karena tingkahnya lebih mirip anak ingusan yang akan kencan pertama kalinya. Ini hanya pertemuan biasa, seharusnya saya bisa bersikao secara biasa.
Satu jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan. Dia gelisah. Langit di stasiun mulai terlihat muram. Berkali-kali dia bertanya pada petugas, tapi tampaknya mereka juga tidak mengetahui apa-apa. Orang-orang di sampingnya juga terlihat gelisah.
Dia menekan tombol ponselnya, hendak mencari tahu. Tapi mbak-mbak operator bilang kalau nomor yang dituju berada di luar service area. Dia mengulang panggilan. Sama saja. Pesan yang dikirimnya juga dalam posisi menunggu.
Hari mulai gelap.
           Dia kian dicekam gelisah.

3 komentar:

Swallow Learn To Fly mengatakan...

laahh... belum selesai ya?? soalnya kalaupun diakhiri, akhirannya ini nggak enak sangat. bahkan untuk sebuah cerita dengan akhir menggantung

Fairynee mengatakan...

as usual, mbakkk, aku susah menentukan ending, maunya nih diselesaikan dengan berita kecelakaan kereta, tapi aku gak gitu ngerti setting stasiun, wkwkwkwkwk,....
keknya musti jalan bareng mbak Nisa dulu baru bisa ngerti dan menuliskan suasana stasiun...
^^

Swallow Learn To Fly mengatakan...

baca aja berita2 koran mbak nee, culik saja dari sana hehehehehe... mengaburkan yang nyata, menjadi maya. dan menyatakan yang maya menjadi nyata.

itu kata abang saya, suatu kali. pendongeng yang baik adalah men"nyata"kan yang fiksi :D

Posting Komentar