7.31.2011 | By: Fairynee

DAY 05: HUBUNGAN CINTA DAN KATA-KATA


Begitu selesai membaca buku 9 dari Nadira karya Leila s Chudori, ada perasaan sesak karena disajikan ending yang menggantung seperti itu. Berbagai pertanyaan muncul di kepala saya. Bagaimana kisah cinta antara Nadira dan Utara Bayu selanjutnya? Sejujurnya, sisi melodrama saya (yang mungkin banyak dipengaruhi berbagai kisah “kebetulan” dan “ketidaksengajaan”) menuntut happily ever after ending, seperti yang sering saya temukan di sinetron atau melodrama di televisi.
Well, saya tidak akan bercerita lebih banyak tentang novel ini karena topik 30 days me of me kali ini bukan meresensi atau membuat sinopsis mengenai buku yang telah saya baca. Topik 30 days me of me kali ini tentang discuss your feelings on the word “love” and the way it’s used in today.  Topik yang sangat luas untuk diuraikan dan pasti akan menyesatkan saya dalam kebingungan-kebingungan yang lain (tersebab saya sendiri bingung mengartikan kata itu), sehingga saya memutuskan untuk mengangkat masalah yang telah menarik perhatian saya sehabis membaca novel 9 dari Nadira menjadi sub topik dari 30 days me of me ini.

ANTARA NADIRA DAN UTARA BAYU
Hal yang menarik untuk dibahas dan berkaitan dengan tema cinta yang menjadi pekerjaan rumah saya ini adalah mengenai kisah cinta Nadira dan Utara Bayu yang sepertinya tidak akan pernah bertemu di satu titik. Di sini sosok Tara (panggilan Utara Bayu) digambarkan sebagai atasan Nadira yang tegas, terkesan kaku, dan meskipun selalu berada di sisi Nadira (bahkan membantu perempuan ini mencari bunga Seruni di segala sudut kota saat pemakaman ibunya), Tara tidak pernah sekalipun menyatakan perasaan yang disembunyikannya pada Nadira.
Perihal ini pernah saya perbincangkan dengan salah seorang teman, tentu saja dari sudut pandang masing-masing. Saya sebagai perempuan merasa pasti akan melakukan hal yang sama dengan Nadira, berhenti menunggu Tara melakukan sesuatu untuk memperjelas “kebersamaan” mereka selama ini, dan memutuskan untuk meraih sesuatu yang lebih pasti yang ditawarkan seorang Niko (meski pun pada akhirnya keputusannya ini justru membuatnya terjatuh kembali dalam kubang kepedihan yang lain lagi). Mengapa? Begitu teman saya bertanya, bukankah karakter Utara Bayu yang mencintai Nadira dengan tulus, menerimanya apa adanya termasuk polemik yang dihadapi perempuan itu, dan senantiasa “ada” saat-saat paling sulit dalam hidup Nadira merupakan karakter pria yang banyak diinginkan perempuan manapun?
Benar. Tapi seorang Utara Bayu yang mengaku mencintai Nadira malah melupakan satu hal yang menurut saya penting. Dia tidak pernah benar-benar mengulurkan tangan ke arah Nadira yang terperosok ke dalam lubang kubur yang sesak, penuh teka-teki, dan gelap sejak kematian ibunya. Dia hanya berdiri di bibir lubang, memandangi Nadira yang setengah mati berusaha keluar dari lubang tersebut. Bahkan ketika dia menerima selembar “undangan pernikahan” yang semakin memustahilkan ikatan perasaannya dengan Nadira, Utara Bayu hanya murung dan gelap, dan sekali lagi mengulang kesalahannya, tidak mampu mengungkapkan kejujuran (termasuk perasaan kuatirnya karena reputasi percintaan Niko yang tidak baik) ketika Nadira memergokinya sedang dalam keadaan payah dan mabuk berat di kantor bersama dua rekannya yang lain.

“Nadira…, aku harus mengatakan sesuatu…”
Jantungku berloncatan kian-kemari. Tara, Tara, aduh…
“Ya, Mas….”
Hening.
Udara kantor terasa seperti kandungan seorang ibu yang berusia Sembilan bulan yang siap jebol kapan saja. Dan isi kandungan itu adalah rasa cinta yang sia-sia.
“Aku… mengenal Niko dengan baik….”
“Ya, Mas?”
“Nadira…, aku ingin kamu berbahagia dengan Niko… Itu saja.”
         Itu saja. Dia tidak mengemukakan sesuatu yang semestinya dikatakannya sejak awal. Dia hanya pasrah dan malah menenggelamkan diri dalam kegelapan yang justru diciptaannya sendiri.

CINTA DAN PERNYATAAN
Mungkin sebagai pembaca, banyak yang menyayangkan keputusan Nadira yang meninggalkan Tara dengan segala kebungkamannya. Meski dia menyikapi pilihannya dengan meniadakan dirinya saat memutuskan akan menikah dengan Niko, dan berusaha menyesuaikan diri dengan kesukaan lelaki itu--konsep yang salah sebenarnya dalam menjalin suatu hubungan karena dalam bersama-sama hidup adalah satu pilihan untuk saling meng-ada satu sama lain--tapi dia telah melakukan gebrakan baru dalam hidupnya, bangkit dan memutuskan menyambut uluran tangan seorang Niko. Empat tahun merupakan waktu yang sangat lama terhimpit dalam liang kubur, dan memang semestinya dia bangkit dan melanjutkan hidup.
Memang setelah itu, dia diperhadapkan dengan kenyataan bila Niko ternyata tidak selamanya menjadi sumber kebahagiaannya, tapi bukankah itu salah satu resiko yang pasti dihadapi ketika kita mengambil suatu keputusan. Resiko yang seringkali kita anggap salah “terbaca” di kemudian hari dan acap menjadi sandungan yang selalu kita anggap perlu disesali.
Saya bisa membayangkan, setelah empat tahun berkutat dalam kesedihan selepas kepergian Ibunya yang tak wajar (dan menjadi suatu aib bagi keluarga), lalu saudara-saudaranya yang memutuskan melarikan diri dari kenyataan, dan dia mesti menemani Bram, ayahnya yang--merasa disakiti harga dirinya ketika dipindahkan ke unit kerja yang tidak disukainya dan memilih pensiun—merasa frustasi karena tidak bisa melakukan apa-apa selain menonton televisi, sementara lelaki yang “diketahuinya” menaruh hati padanya. Sudah ratusan tahun, tepatnya…, demikian hiperbolis dari Kang Arya, kakaknya ketika mempertanyakan kembali keputusannya, sama sekali tidak melakukan apa-apa untuk membantunya keluar dari segala polemik hidupnya, keputusan untuk menyambut uluran tangan Niko menjadi pilihan terbaik baginya. Semenjak mengenal Niko hidupnya berubah. Penuh warna—tidak lagi abu-abu--dan dia lebih bergairah untuk menghadapi hari esok. Bukankah gairah merupakan kunci dalam menjalani hidup? Ketika gairah seseorang padam, maka sesungguhnya dia telah mati meski masih bernapas.

Tahukah, Kang.. selama bertahun-tahun sejak Ibu pergi meninggalkan kita, ada sebuah batu besar yang membebani tubuhku, hatiku, jantungku, yang menyebabkan aku hanya bisa celentang di dalam kubur itu, tanpa bisa hidup, dan juga mati?
Dan tahukah, Kang Arya, tidak ada satu pun, tidak ada siapapun yang bisa mengangkatku dari lubang kubur. Tara hanya bisa menjenguk diriku dari permukaan liang kubur dan memberikan wajah simpati…
Sampai akhirnya hanya satu, ya satu lelaki yang datang dan menyodorkan tangannya. Dia langsung mengambil tanganku dan menyodorkan tangannya. Dia langsung mengambil tanganku dan mengajakku untuk bangun dari lubang kubur itu. tanpa ragu, tanpa jeda. Dia tidak membutuhkan waktu untuk berpikir ulang karena dia yakin aku harus bersama dia. (CIUMAN TERPANJANG, hal 149-150).

Saya pernah mendengar, cinta lebih dari kata-kata. Benar sekali, saya mengamini hal tersebut. Kata bukan sekedar kata-kata yang bisa diumbar kepada siapa dan kapan saja. Cinta itu suci, sakral, tidak bisa dipersamakan dengan keinginan kedagingan semata. Tapi cinta juga perlu diungkapkan, dinyatakan lewat kata-kata. Kedua hal tersebut, saya pikir saling berkaitan satu sama lain.
Semua orang berhak bahagia.
Dan hal itu yang dilakukan Nadira, memutuskan menerima uluran tangan lelaki yang tanpa sungkan mengulurkan tangan ke arahnya. Tidak lagi menunggu Tara yang terus menerus hanya menjenguknya di dalam lubang kubur dari permukaan, tapi tidak pernah memintanya untuk menyambut uluran tangannya dan keluar dari kubur yang selama ini menekan. Hal tersebut tergambar jelas, ketika dia meminta pak Satimin untuk tidak mengusik Nadira yang meringkuk di kolong meja kerjanya, dan juga mengingatkan rekan sekantor untuk tidak protes akan kelakuan Nadira tersebut. Hanya itu. Dia hanya memandangi Nadira yang larut dalam dunianya yang lain.
Benar sekali, cinta lebih dari kata-kata. Tapi sebagai manusia, yang terbatas dalam mengartikan atau memaknai sesuatu, diperlukan kata-kata untuk meyakinkan kalau percik-percik yang muncul tidak absurd. Bahwa getar dan perasaan-perasaannya itu tidak salah alamat. Bila kita tinjau, Tara sebagai seorang atasan, sangat wajar bersimpati kepada salah satu bawahannya yang sedang dirundung kemalangan. Wajar pula bila dia menunjukkan perhatian (dan saya pikir, perhatiaannya hampir sama dengan Kris yang ternyata juga memperhatikan Nadira) serta membantu Nadira mencari bunga seruni demi memenuhi keinginan Ibunya untuk terakhir kalinya. Itu saja. Tidak ada yang lain. Saya pikir, hal yang sama pasti akan dilakukan orang lain dalam suatu hubungan pertemanan. Tidak bisa diartikan lebih.

MISKOMUNIKASI
Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, seorang teman perempuan saya datang kepada saya sambil menangis, bercerita mengenai peristiwa yang dianggapnya sangat memalukan.
“Aku malu bukan karena sudah menyatakan cinta padanya, tapi karena ternyata aku salah mengartikan kedekatan kami selama ini.”
Saya sangat mengingat pernyataan teman saya itu. Dan saya sama terkejutnya dengan dia, karena selama ini dia dan F (inisial teman pria yang diceritakannya itu) sangat dekat. Bukan saya saja, tapi yang teman-teman yang lain juga menduga kalau mereka bukan sekedar berteman. Tapi dugaan itu dipatahkan hanya dengan satu pernyataan. Tidak pernah ada apa-apa di antara mereka.
Sungguh kata-kata bisa membalikkan segala dugaan.
Bagi saya sendiri, kata-kata itu semacam deklarasi atau jaminan. Ketika ia menyatakan perasaan dalam kata-kata, sama halnya dia telah menyiapkan kereta kuda, lalu menyodorkan tangan sambil berkata, ikutlah aku, dan aku akan menunjukkan makna bahagia itu. Pernyataan sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang dirasakannya. Naïf memang, tapi demikian pentingnya kata-kata itu, sama hal dengan perasaan cinta itu sendiri.
Kata-kata menafsirkan dugaan-dugaan yang absurd, menghilangkan keraguan, dan menyingkirkan ketakutan. Sehingga tidak akan terjadi salah paham atau miskomunikasi. Tidak ada yang lebih memalukan daripada salah menduga, bukan?
...
Pada akhirnya, perjalanan Nadira dan Niko dalam novel ini diceritakan kandas, tapi itulah resiko dari suatu pilihan. Saya pribadi tidak menganggap itu sebuah kesalahan yang perlu disesali seumur hidup bila ditilik dari masa lalu Nadira. Seandainya dia tidak menyambut uluran tangan Niko, dia tidak akan pernah mencecap kehidupan yang disebut bahagia itu. Meski sebentar, tapi pada akhirnya dia telah keluar dari lubang kubur yang selama ini menekannya, dan menjalani fase hidupnya yang lain. Seandainya dia menepis uluran tangan Niko, ia tidak akan pernah kemana-mana, tidak akan memiiki Jodi, napas hidupnya yang baru, dan tidak akan pernah tahu bahwa dia sebenar sangat mencintai Tara.
Mungkin selama ini aku terlalu sibuk mencari lilin, mencari obor… Hidup ini selalu saja gelap, Kang. Aku terus mencari dan mencari, hingga ke Pedder Bay… Hingga ke ujung bukit Victoria. Dan tiba-tiba aku baru menyadari, di mana pun aku berada, selalu ada Tara. (At Pedder Bay, hal 267)
            Penyesalan selalu datang terlambat.
Semua pembaca pasti mengamini hal tersebut ketika membaca part akhir ini saat Nadira mengirimkan email kepada Arya perihal keputusannya untuk pulang. Kita akan geram dengan pilihan Nadira yang salah. Tapi itulah hidup, keterbatasan kita sebagai manusia, tidak bisa mereka-reka apa yang akan terjadi besok, atau menebak-nebak apakah keputusannya salah atau tidak, tapi mesti diperhadapkan pada kenyataan untuk memutuskan.
Orang yang berhasil adalah yang segera mengambil tindakan, bukan hanya diam, sibuk  berkutat dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan. Orang yang berdalih sedang berhati-hati dalam bertindak, pada dasarnya tidak pernah melakukan apa-apa, dan tentu saja dia tidak akan pernah mendapatkan apa-apa.

“Sebelum terlambat, katakan apa yang semestinya dikatakan. Kepada siapa saja yang kau kasihi. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok. Mencintailah seolah-olah tidak ada hari esok.”


3 komentar:

Swallow Learn To Fly mengatakan...

hiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa... bagus mbakk... :D

Fairynee mengatakan...

hehehehe, makasih, mbaknyaaaa..........

Samalona mengatakan...

Topik yang berat, ya. Tapi tulisan ini membuktikan Nee pembaca yang baik.

Posting Komentar