Semestinya dia tidak perlu merasa heran melihat pria itu berdiri di
muka pintu rumahnya sore ini. Bukankah sebelumnya pria itu juga sering
berkunjung, hampir tiap minggu, meski bukan untuk mengunjunginya secara
khusus. Tapi itu dulu, pikirnya. Saat ini pria itu sudah tidak memiliki
alasan untuk kembali memencet bel rumahnya, tepatnya sejak sebulan yang
lalu. Itu sebabnya dia sampai mengerutkan kening melihat kemunculan pria
itu lagi.
“Boleh aku masuk?”
Dia tergagap, menyadari kalau
sedari tadi hanya memandang tajam ke arah tamunya itu, tanpa mengatakan
apa-apa, apalagi mempersilahkannya masuk. Dia mengangguk, menyingkir
sedikit ke samping, dan membuka pintu lebih lebar. Pria itu tersenyum
tipis sebagai ucapan terima kasih, lalu melangkah masuk. Dia masih diam,
menutup pintu, dan mengikuti langkah pria itu dari belakang dengan
ragu.
Mereka memasuki ruang tamu. Meski terlihat berantakan, dia tidak berusaha merapikannya. Di atas sofa bermotif animal print tergeletak bantal dan selimut sembarangan. Sementara di atas meja, ada beberapa gelas, botol wine, dan kotak pizza
yang isinya tinggal separuh yang dipesannya semalam. Belakangan ini dia
lebih memilih tidur di sofa sambil memandangi televisi yang terus
menyala ketimbang di kamarnya sendiri. Rumahnya seperti sudah lama tidak
dihuni. Jendela tertutup, kotak surat tidak diperiksa, bahkan rumput di
halaman depan tidak dipangkas. Hanya suhu air conditioner yang disetel lebih rendah dari biasanya yang menunjukkan kalau rumah ini masih dihuni olehnya.
“Apa kau baik-baik saja?”
Dia
tahu, pertanyaan itu cuma basa-basi. Hampir sama ketika dulu dia
menyapa pria itu setiap kali membukakan pintu. Tetapi dulu dia hanya
perlu mengucapkan sapaan, hai apa kabar, memanggil Ryan, lalu melakukan
aktivitasnya, seperti menonton program memasak di televisi, membaca
novel yang baru dibelinya dari bazaar Gramedia di dekat
kantornya, atau menyelesaikan calon novelnya yang sudah memasuki usia
satu tahun namun tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Sekarang
dia bingung bagaimana menyambut tamunya ini.
Pria itu
melangkah menuju dapur. Dia terus mengikutinya. Sebenarnya dia ingin
mencegah ketika pria itu mencari sakelar lampu dan menekannya. Ruangan
mendadak terang. Mereka bisa memandangi setiap sudut dapur, yang
kondisinya tidak bisa dikatakan lebih rapi dari ruang tamu. Ruangan ini
menyatu dengan ruang makan, sehingga aktivitas masak memasak dapat
terlihat jelas dari meja makan. Perabot tidak banyak. Hanya meja bundar
dengan perkakas makan tersusun di atasnya, kulkas dua pintu, dan lemari
gantung penyimpan berbagai jenis peralatan masak. Peralatan masak yang
dimilikinya tergolong lengkap dan bagus, tapi dia sudah jarang
memakainya. Sebenarnya dia hampir tidak pernah memakainya. Seingatnya,
dulu dia membeli semua itu bukan untuk digunakan olehnya sendiri.
Pria itu berhenti, membalikkan badan, lalu memandang ke arahnya.
“Sudah makan?”
Dia
tidak tahan berlama-lama membalas tatapan itu. Alih-alih menjawab, dia
malah menggeser salah satu kursi, lalu duduk sambil melipat tangan di
atas meja makan.
Pria itu tidak bertanya lagi atau meminta
jawaban atas pertanyaannya, berjalan lurus, lalu membuka jendela yang
langsung mengarah ke lapangan. Mungkin hampir satu minggu-dia tidak
ingat persis-tidak membuka jendela, tidak juga menggosok bak cuci,
menyalakan kompor, atau menata meja. Roti yang dibeli ibunya di
supermarket ketika berkunjung seminggu lalu sudah membusuk, dan telah
memenuhi keranjang sampah di bawah bak cucinya. Pria itu memandang ke
luar jendela, pada sekelompok anak yang bermain sepak bola. Suara mereka
riuh rendah. Hampir sepuluh menit, mungkin juga lebih, dia tidak
menghitung. Sementara langit terlihat semakin pucat.
“Aku lapar. Kau juga pasti belum makan.”
Dia merasa tersinggung. Mendadak dia ingin menghardik pria itu
keluar dari rumahnya segera. Beberapa menit yang lalu pria itu berdiri
di muka pintu rumahnya, bertanya kabarnya, lalu sekarang seenaknya
berkata kalau dia lapar, dan tanpa merasa bersalah pula
membongkar-bongkar isi kulkasnya.
Kenapa mencari makanan
di rumahku? Apa perempuan itu sudah bosan memasak untuknya setiap hari?
Atau jangan-jangan dia merasa bosan mencicipi masakan buatan perempuan
itu, dan ingin mencari sedikit selingan?
Itu sangat tidak
mungkin. Dia ingat, dulu setiap kali Ryan pulang dari rumah mereka, dia
selalu bercerita dengan penuh semangat mengenai menu makanannya. Dengan
suara cadelnya, Ryan bilang, menu makanannya selalu berbeda setiap
minggu, dan kesemuanya sangat enak. Tapi dia tidak akan berpikir sejauh
itu bila pria itu tidak berada di hadapannya sekarang, membuka jendela
dapurnya dan mengacak-acak isi kulkasnya.
Tampaknya pria itu tidak menemukan apa-apa, selain dua bungkus mie instan,
sedikit mentega, dan tiga butir telur ayam ras. Beberapa bumbu dapur
yang sudah layu dalam keranjang yang digantung di dekat lemari
penyimpanan peralatan masak.
Persediaan makanan yang
dibeli Ibunya seminggu yang lalu telah habis. Sebagian besar isinya
terbuang ke keranjang sampah, atau terpaksa dimasak sendiri ala kadarnya
demi memenuhi janji pada ibunya untuk makan teratur. Terkadang dia
merasa ibunya terlalu cerewet, tidak pernah benar-benar menganggapnya
dewasa, dan masih saja memperlakukannya seperti ketika pertama sekali
masuk sekolah. Bertanya ini itu yang sebenarnya tidak perlu dikuatirkan.
Bahkan sehari sesudah kepulangan ibunya, telepon terus berdering, dan
dari seberang ibunya selalu mengingatkan tentang banyak hal, terutama
pola makan dan istirahat yang teratur.
Kompor dinyalakan. Lalu bunyi pisau beradu dengan papan
talenan. Tak berapa lama, bau harum bawang merah dan bawang putih yang
ditumis dengan mentega bergantian menyerbu hidungnya. Dia masih terpekur
sambil bertopang dagu, memperhatikan punggung pria itu yang
bergerak-gerak dengan cepat. Sama sekali tidak berubah, pikirnya. Sejak
dulu selalu saja cekatan memasak.
Dulu dia juga suka duduk
tenang di kursi ini sambil memandangi pria itu memasakkan sesuatu untuk
mereka berdua. Sepulang kantor atau ketika akhir pekan. Sup sayur, spaghetti, nasi goreng, omelette keju, atau hidangan lainnya. Berbagai jenis hidangan dari berbagai negara, dan kesemuanya sangat enak.
“Makanlah,”
kata pria itu beberapa menit kemudian sambil menenteng dua piring mie
goreng instan dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu menghidangkan omelette.
Pria itu menuang air mineral dingin dalam dua gelas, menggeser kursi,
dan duduk persis di hadapannya. Dia masih berdiam diri, memperhatikan
pria itu yang mulai makan dengan lahap.
Pria itu berhenti makan, dan memandang ke arahnya.
“Makanlah, aku yakin kau belum makan apa-apa sejak pagi tadi.”
Dia
mengangguk saja, tapi pria itu terus menatapnya, tidak memberinya
kesempatan untuk beralasan. Dengan malas dia mengambil sendok lalu
menyuapkan makanan ke dalam mulutnya yang sejak sebulan lalu lebih
banyak disentuh wine dan makanan siap saji yang dipesannya
lewat telepon. Dia memang sedang tidak ingin keluar rumah atau bertemu
banyak orang yang menurutnya sengaja memakai topeng simpati ketika
berpapasan dengannya. Bahkan minggu lalu dia telah mengajukan surat
permohonan cuti, dan berencana menghabiskan seluruh jatah cutinya tahun
ini, meski tidak kemana-mana.
Tidak bisa dipungkirinya, makanan itu lumayan enak. Dia
menikmatinya. Suara sendok mereka yang beradu dengan piring mengusik
keheningan. Dari bingkai jendela yang terbuka, malam turun perlahan.
Anak-anak yang bermain bola tadi sudah tidak terlihat.
***
Mereka
selesai makan bersamaan. Entah bagaimana caranya pria itu bisa
menyesuaikan ritme makannya sehingga dia tidak didahului, dan tidak
punya alasan untuk berhenti sebelum menghabiskan seluruh makanan di
piringnya.
Di depan bak pencucian, mereka berdiri
berdampingan. Tadi dia tidak membiarkan pria itu mengangkat piring yang
dipakainya. Mereka tidak mengatakan apapun. Hanya suara air mengalir,
dan desah napas mereka yang sesekali terdengar.
Pria itu
memaksanya untuk ikut membersihkan ruangan ini. Dia merasa tidak enak
jika hanya duduk memperhatikan pria itu mencuci seluruh peralatan makan
yang berdebu, membuang sampah ke bak sampah yang tidak jauh dari
rumahnya, mengepel lantai, dan menata meja makan. Untung saja pria itu
tidak berniat memotong rumput.
“Buat apa kau kemari?”
tanyanya ketika mereka sudah tidak melakukan apa-apa, hanya duduk
berhadapan dan saling berdiam diri di meja makan.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja, cuma lagi males terjebak kemacetan, apalagi mengurusi proyek yang lama-kelamaan terasa membosankan.”
“Bukankah kau menyukai pekerjaan itu sejak dulu?”
Entah
mengapa dia merasa pertanyaan barusan lebih mirip ejekan. Seperti
penegasan kalau pilihan yang pernah dibuatnya itu memang kesalahan
terbesar.
“Sekarang tidak lagi,” katanya dengan suara datar.
“Kau baik-baik saja?” ulang pria itu, kali ini dengan sedikit penekanan.
“Tentu
saja,” katanya dengan suara mendadak tinggi. Dia tersinggung, sejak dua
minggu yang lalu, orang-orang selalu mengajukan pertanyaan serupa,
seolah-olah dia tidak pantas lagi dipercayai untuk menjaga dirinya
sendiri.
“Tapi kau terlihat berantakan.”
“Maksudmu?
Aku baik-baik saja, dan akan terus baik-baik saja.” Tapi dia tahu, pria
di hadapannya ini tidak akan mempercayai ucapannya. Dengan rambut kusut
seperti sekarang, muka berminyak, bibir kering dan pecah-pecah, bahkan
daster yang dikenakannya semalam belum juga diganti, siapa pun tahu
kalau dia tidak dalam kondisi baik.
“Oh, memang aku terlihat sedikit berantakan, tapi aku baik-baik
saja. Hanya sedikit malas, maksudku bosan…” ralatnya dengan nada tidak
yakin. “Terima kasih, dan aku pikir, sebaiknya kau pulang saja sekarang.
Sudah malam.”
Pria itu menghela napas. Tidak menyahut.
Padahal dulu setiap kali suaranya meninggi maka akan disambut suara
meninggi pula. Lalu mereka bertengkar, mempermasalahkan banyak hal,
saling menuding, dan mengungkit kesalahan masing-masing. Dulu dia sempat
menyesali keputusannya menikah, karena ternyata mereka memiliki banyak
sekali perbedaan, jauh dari yang dapat dia bayangkan sebelumnya.
Pria itu menaruh bungkus rokok yang dikeluarkannya dari saku di atas meja, tapi tidak menyulutnya.
“Aku mengerti perasaanmu saat ini.”
“Kau tahu apa? Kau tidak mengerti apapun!”
“Aku juga masih mengingatnya sampai sekarang.”
Kepalanya serasa berputar.
“Kau
tidak ada di sana, tidak menyaksikan semua kejadian dari awal.”
Suaranya parau, seperti tersedak bebijian sebesar kelereng. Dadanya
serasa mau meledak, seperti ada yang menaruh bom di sana.
“Tapi aku juga merasa kehilangan,” kata pria itu. “Kita sama-sama kehilangan.”
“Tapi aku yang telah menyebabkan semuanya.”
Dia
tidak tahan lagi. Dadanya berguncang hebat. Mendadak dia menyaksikan
kembali peristiwa mengerikan itu. Ryan, mobil yang melaju kencang, lalu
teriakan paniknya saat melihat Ryan berlumuran darah.
Dia menjatuhkan kepala di kedua tangannya yang tertangkup di atas meja. Air matanya mengalir cepat.
Pria
itu tidak menyalahkannya. Tapi justru itu, dia merasa muak dengan wajah
simpati dan kata-kata yang berusaha menghiburnya. Dia tahu, mereka
berdusta dengan berpura-pura tidak menyalahkannya atas semua hal buruk
yang telah terjadi.
Bahunya disentuh. Dia masih menangis.
Pundaknya ditarik perlahan. Semula dia berontak, tapi pegangan di
pundaknya tidak melemah. Mungkin kesedihan tak terhingga telah
mendorongnya meletakkan kepala di pelukan pria itu. Mungkin karena dia
merindukan sentuhan seperti itu, atau mungkin tidak kedua-duanya.
Dadanya semakin sesak. Dia meraung. Kedua tangannya merangkul pria itu
dengan erat, sampai dia susah bernapas.
“Aku yang menyebabkan semuanya ini. Aku yang membuat Ryan meninggal.” Lidahnya terasa asin.
Pria
itu tidak mengatakan apa-apa, hanya memeluknya. Dia semakin membenamkan
wajahnya. Meski hidungnya terasa penuh, tapi dia sempat mencium aroma
pria itu. Wewangi kayu-kayuan bercampur keringat.
Sudah
lama sekali dan kini tiba-tiba dia merindukan pelukan itu. Terakhir kali
ketika mereka bertemu di rumah sakit. Pria itu datang tepat ketika
dokter keluar dari IGD. Tubuhnya melemah dalam pelukan pria itu saat
mendengar perkataan dokter. Sekarang, satu per satu, dia bisa mengingat
jelas pelukan-pelukan sebelumnya yang lain. Ketika dokter mengucapkan
selamat atas kehamilannya, ketika mendapat pekerjaan yang bagus, atau
ketika dia panik karena demam Ryan tidak juga turun. Tapi saat prosesi
pemakaman, dia tidak mau menemui pria itu apalagi memeluknya. Dia hanya
berdiri mematung dengan kaca mata hitam besar. Tidak juga menyahut
ketika perempuan yang datang bersama pria itu mengucapkan turut berduka.
Dia juga ingat, ketika keputusan hakim dibacakan, dia menolak untuk
menemui pria itu, dan bergegas pulang bersama Ryan.
Tapi
saat-saat seperti ini dia tidak mau sendirian. Dia lelah memandangi foto
Ryan dan menangisinya. Dia sangat kesepian. Ryan sudah tidak ada dan
dia tidak mau mati mengenaskan dalam kesepian.
Pelukannya
masih erat. Sekarang dia tidak bisa mengingat apa yang menyebabkan
mereka tidak bersama lagi, selain perasaan tidak suka yang berlebihan
terhadap perempuan yang datang bersamanya ketika prosesi pemakaman.
Justru dia merindukan sisa-sisa keringat yang melekat di kemeja pria
itu, percakapan seusai bercinta, atau perdebatan mereka mengenai banyak
hal. Bahkan kalau ingin jujur, belakangan dia lebih memilih tidur di
atas sofa sambil menonton pertandingan sepak bola tengah malam karena
ingin merasakan keberadaan pria itu bersamanya di sana.
Dia
menengadah, memandang dirinya dalam bola mata pria itu. Terlihat sangat
berantakan. Pipinya cekung dan rambutnya sangat kusut. Tapi dia tidak
bisa melihat bagaimana bentuk matanya setelah menangis di sana. Maka dia
mendekatkan wajahnya, memandang bola mata itu lekat-lekat hingga bisa
merasakan terpaan napas hangat di wajahnya.
***
Dia terbangun. Bukan di sofa animal print di ruang
tamu seperti malam kemarin. Cahaya matahari menerobos lewat gorden
jendela besar kamar tidurnya. Dia melihat ke samping, pria itu tertidur
pulas.
Dia beringsut, menendang selimut tebal yang
menutupi tubuhnya, meraih daster lusuhnya yang tergeletak di lantai lalu
mengenakannya dengan sembarangan. Dia melirik jam weker di atas meja,
di samping ranjangnya. Pukul tujuh pagi.
Dipandanginya
pria itu lagi yang tertidur dengan menyembunyikan sedikit wajahnya di
balik bantal yang dipakainya tadi. Persis Ryan, pikirnya. Tanpa
disadarinya dia tersenyum tipis.
Dia beranjak, melangkah
menuju dapur dengan bertelanjang kaki. Tidak berniat mencari sandalnya
yang mungkin tersuruk di kolong ranjang. Dia merasa haus, mungkin karena
terlalu banyak menangis semalam.
Sepanjang melangkah, dia
mengingat-ingat kembali peristiwa semalam. Bagaimana dia menangis
meraung-raung dalam pelukan pria itu, memintanya untuk tidak pergi, lalu
mereka berciuman dalam waktu yang sangat lama. Sampai dia susah
bernapas.
Dia membuka kulkas, mengambil sebotol air
mineral, menuangnya ke dalam gelas lalu meneguknya dengan cepat. Setelah
itu dia duduk terpekur, memandangi embun air di dinding gelas. Tapi
hanya sebentar. Dia merasa harus membangunkan pria itu sekarang dan
segera menyuruhnya pulang.
Dia bangkit, menyeret langkah
menuju kamar tidur. Di lorong, dia berhenti sebentar, memandangi lukisan
hasil karya Ryan ketika mengikuti lomba melukis dan mewarnai di
sekolahnya. Ryan membuat gambar dua orang dewasa dan anak kecil, lalu
menaruh tulisan di atasnya. Anak kecil itu diberi namanya sendiri,
Ryan. Sementara dua gambar orang dewasa diberi tulisan Papa dan Mama.
Tapi saat ini, entah mengapa dia merasa tidak pernah berada dalam gambar
itu.
***
0 komentar:
Posting Komentar