9.21.2010 | By: Fairynee

SENANDUNG TANYA LEA

Akankah aku menemukan orang yang tepat?

Pertanyaan itu senantiasa bergelayut dalam hatiku. Sejak mengenal istilah cinta monyet di usia belasan tahun hingga semua orang memberi label warning karena usiaku telah menginjak kepala tiga. Aku masih saja berkutat dengan pertanyaan bodoh itu.

Aku sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sosok yang dapat dikategorikan tepat? Apakah harus memiliki sorot mata indah seperti kejora, lengan kuat, atau hati yang tulus bak malaikat? Aku sering mendengar pula celoteh-celoteh segelintir orang yang memaknai tepat hanya untuk orang setara Donald Trump atau Bill Gates. Benarkah?

  Aku menghela napas. Gusar.

“Lea, apa yang membuatmu belum memutuskan untuk menikah?” demikian mereka mencecarku dengan pertanyaan yang selalu memaksaku mengeluh. Bila lima tahun silam, aku masih bisa mengemukakan ketidaksiapan sebagai alasan. Kini alasan itu malah menjadi bumerang bagiku.

“Apa yang membuatmu belum siap? Bukankah usiamu telah matang dan siap.”

Benar. Bila ditinjau dari segi usia aku memang dikategorikan dewasa dan siap menuju komitmen yang serius. Tapi apakah karena kata matang itu, aku tak diberi kesempatan untuk mengajukan kriteria tepat bagi orang yang kelak menjadi pasanganku walau dapat aku pastikan pula orang itu pun tidak benar-benar tepat. Apakah orang yang tepat itu benar-benar ada? Lalu siapa yang akan menjadi orang yang tepat bagiku? Atau jangan-jangan aku telah melewatkan orang yang tepat itu?

Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya ke udara.

Mungkinkah aku telah melewatkan orang yang tepat itu? Aku memandang lantai kamarku, mencari jawab di permukaan ubin yang dingin. Ah, jangan-jangan aku memang telah melewatkan orang yang tepat itu, sesalku.

Perlahan–lahan ingatan membimbingku menjenguk kenangan di masa lalu, tepatnya tiga tahun silam. Saat itu, sesosok lelaki yang entah layak atau tidak kuberi label tepat pernah singgah dalam hidupku. Bukan cuma singgah tapi mengisi kekosongan hatiku dengan limpahan kasih sayang. Dia pula yang mengajarkanku merajut mimpi tentang masa depan.

Kuakui, dia tidak memiliki sorot mata indah seperti kejora. Sedikit redup tapi cukup meneduhkan. Dia tak memiliki lengan penuh otot, namun selalu membuatku merasa nyaman. Dia juga tak luput dari kesalahan sehingga tidak dapat dipersamakan dengan malaikat. Tapi dia begitu berlapang dada untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan itu.

Ando. Sesosok lelaki yang sangat aku cintai. Bahkan aku sempat berpikir kalau dia adalah orang yang tepat bagiku. Kami pernah mengukir janji. Malam itu, ketika hujan meteor di langit. Tak lupa kami mengajukan permohonan. Entah karena percaya pada mitos konyol itu atau sekedar memberi kesan menyentuh seperti drama-drama percintaan di layar kaca. Tapi kenangan itu masih tersimpan apik dalam ingatanku.

Sudahkan aku menemukan orang yang tepat?

Entahlah.

Aku bertanya bukan karena merasa tidak cukup atas kehadiran Ando dan memilih terus melaju menuju perhentian selanjutnya. Tidak. Tapi justru takdir yang menyatakan kalau dia bukan orang yang tepat untukku.

Dia. Sosok yang akan aku kenakan label tepat malah direnggut secara paksa beberapa saat menjelang prosesi pemberkatan janji menjadi ikatan seumur hidup. Aku cuma bisa termangu dalam tangis yang tak kunjung usai hingga saat ini.

Mungkin aku memang belum menemukan orang yang tepat, demikian aku berujar, menghibur hati. Perlu sedikit kesabaran hingga menemukan orang tepat pada waktu yang tepat. Yah, waktu yang tepat, imbuhku lagi, masih berusaha sekuat tenaga membujuk hatiku agar mau menerima putusan takdir.

Tapi kapankah waktu dapat dikatakan tepat? Apakah aku masih memiliki waktu? Bila benar, mengapa justru mereka yang diterjang panik dan terus saja menyodorkan pertanyaan menyebalkan itu?
...

Aku menatap sebentuk bayang yang membias di cermin. Sementara di atas meja berserakan botol-botol, tube-tube dan kotak kosmetik dengan berbagai merek juga setumpuk kapas bekas pakai. Aku menyisir rambut ikalku yang belum kering benar dengan perlahan sembari mengajukan pertanyaan,

“Apa kamu sudah menemukan orang yang tepat?”

Sosok dalam cermin itu malah berkomat-kamit dengan gerak bibir yang serupa denganku. Tak memberi jawab apapun.

Aku berbalik. Memandang sosok yang terpulas dalam dengkur-dengkur halus. Wajahnya begitu polos laik bocah yang kelelahan setelah seharian mengejar layang-layang yang putus. Aku menekuri tiap lekuk di wajahnya. Sempurna. Alis yang hitam legam, hidung yang bangir juga guman lirih dari bibir yang agak menghitam oleh tar. Tak ada yang salah. Lalu mengapa aku masih saja berkutat dengan pertanyaan itu?

Apa dia bukan orang yang tepat itu?

Berulang kali aku mengajukan pertanyaan itu, berulang kali pula aku memungut entah. Aku mengalih pandang kembali ke arah cermin. Mengajukan pertanyaan yang sama.

“Sudahkah aku menemukan orang yang tepat?”

Hah! Aku kembali tenggelam dalam pertanyaan semu.

***


Aku mengeluh saat mendengar ultimatum Bapak. Sore itu.

“Lea, Bapak pikir sudah saatnya kamu mencari pendamping hidup. Kakak dan adik-adikmu sudah menikah. Bapak berharap kamu juga segera menyusul mereka.” Aku bungkam. Tak berani membalas tatapan Bapak apalagi menyahutnya.

“Masalah ketidaksiapan akan selalu menghalangi langkahmu, Lea. Padahal waktu terus berlalu dan usiamu bertambah. Bapak mengerti bila di hatimu masih ada Nak Ando, tapi jangan biarkan kenangan menghalangimu untuk bahagia,” suara Bapak melemah, sedikit parau oleh batuk yang belakangan sering menyerang.

“Lea, turutilah permintaan bapakmu ini agar Bapak lebih tenang. Bapak ingin melihatmu bahagia sebelum Tuhan memanggil kelak,” pinta Bapak. Aku tak mampu membantah.

Aku hanya mengangguk ketika bapak menyodorkan satu nama yang dianggap paling sempurna untuk menjadi pasangan hidupku. Kita telah mengetahui bobot, bibit, dan bebetnya, ujar Bapak beralasan.

Hah, setidaknya aku telah memenuhi angan-angan bapak untuk mempererat hubungan persahabatan menjadi kerabat. itu sebabnya aku tak protes demi melihat senyum bapak yang terus saja mengembang selama upacara pernikahan berlangsung.

Saat itu, mereka mengulurkan tangan sebagai ucapan selamat dan memberiku selarik doa. Aku menyambut uluran itu tanpa perasaan apapun. Tak ada linangan air mata tak pula segiris tawa renyah. Sungguh berbeda dengan dongeng-dongeng dalam serial drama percintaan Hollywood.

Lalu, bahagiakah aku? Entahlah. Aku meliriknya sejenak. Dia tersenyum sambil menyambut uluran-uluran tangan mereka. Bahagiakah dia?

***

“Ok, Tari. aku segera meluncur ke sana,” jawabku meyakinkan teman yang telah tak bertegur sapa dalam kurun waktu yang terbilang lama.

“Haha, aku tak sabar melihat Tari kecil yang sering kamu ceritakan,” kataku lagi. Aku mendengar celoteh renyah dari seberang sana. Aku mempercepat laju mobil. Hari hampir gelap, kerling lampu-lampu di tiap sudut kota menandai kehidupan malam mulai bergulir. Aku berbelok.

“Aku hampir tiba. Eh, awas loh kalau tidak membawa oleh-oleh buatku,” ancamku. Aku tertawa kecil mendengar jawaban Tari yang masih saja konyol, seperti ketika kami masih siswa SMU dulu.

Tiba-tiba saja seberkas sinar dari arah berlawanan membentur mataku. Aku tak sempat memutar haluan untuk menghindar. Tubuhku terhempas keras. Lalu segalanya pun menjadi hitam. Pekat.

***

Sudahkan aku menemukan orang yang tepat?

Sepertinya pertanyaan itu akan selalu memenuhi pikiranku. Atau mungkin takdir telah menggariskan bila aku takkan pernah mampu menjawab karena memang tak pernah menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Atau mungkin pula aku terlalu memusatkan perhatian pada kata tepat sehingga tidak menyadari bila orang tersebut pernah melintas dalam hidupku. Atau jangan-jangan benar kata mereka, ketidakutuhan hati membuatku tak pernah menemukan orang yang tepat. Benarkah aku takkan menemukan orang yang tepat?


Seberkas sinar berpendar di mataku.

Aku mengerjap. Lemah. Perlahan aku mencoba menggerakkan kepala. Tapi nyeri menyerang dan memaksaku merintih lirih.

“Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga, Sayang.”

Satu sosok membias di mataku. Sebentuk senyum dengan sisa-sisa kecemasan yang menggurat di wajah lelahnya memenuhi pandanganku. Terdengar nada kelegaan dalam suaranya yang mendadak parau. Aku terpaku. Membiarkan saja hangat menjalar saat dia meraih jemariku dan mendekapnya dengan lembut. Tak peduli bila jarus infus akan bergeser.

“Aku akan memanggil dokter untuk memeriksa kondisimu.” Katanya lagi dengan nada penuh sukacita.

Akankah aku menemukan orang yang tepat?

Aku terus menatap sosok itu bahkan ketika dokter memeriksa dan menyatakan kalau kondisiku mulai pulih.

Aku memejamkan mata.

Apa aku telah keliru memaknai kata tepat sehingga tidak pernah menyadari bila telah memiliki hal yang disebut tepat itu.

“Kamu beruntung, Lea. Valent begitu memahamimu dan mencintaimu. Ternyata kamu telah menemukan orang yang tepat.” Penuturan yang sempat mereka cetuskan dengan nada cemburu mengiang kembali dalam anganku.

Benarkah?

Aku membuka mata. Sosok itu kembali membias dalam mataku.

“Kamu tahu, sebenarnya kamu telah menemukan orang yang tepat tapi hatimu hanya tertuju pada Ando. Benar, kamu tak pernah menuturkan kriteria tepat, tapi cara kamu dengan tak membiarkan Valent mengetuk pintu hatimu, membuatmu tak pernah mengerti makna tepat.” Aku ingat pernyataan Kak Reni sebulan lalu saat aku mengadu tentang kegalauanku.

Aku menatap sosok itu, penuh arti.

Lihat. Dia setia menemanimu walau berulang kali kau menyodorkan sunyi. Dia berusaha menyajikan tawa walau selalu menuai segiris senyum penuh paksa. Dan kini dia pula yang mendampingimu saat kau benar-benar tak berdaya. Tak pernah lalai menitipkan doa demi kesembuhanmu.

Air mata menggenang lalu perlahan menetes.

“Ada apa, Lea? Kenapa kamu menangis? Apa masih terasa sakit? Dimana?” tanyanya dengan nada cemas saat menemukan setitik bening yang lancang jatuh. Aku menggeleng pelan.

Ternyata aku tak pernah menyadarinya…

Air mataku kian menderas.

Sepasang jemari menyentuh pipiku dan mengusapnya dengan lembut. ***

0 komentar:

Posting Komentar