7.25.2011 | By: Fairynee

DAY 05: SONG THAT REMIND YOU OF SOMEONE

SAAT TERLAMBAT PULANG



Dia melirik jam tangan murahan di pergelangan tangan kirinya. Pukul tujuh malam. Sepanjang matanya memandang hanya ada kegelapan.
“Pinggir, Pak.”
Suara mendecit. Mobil mendadak berhenti. Para penumpang mengumpat karena tubuh mereka terlempar ke depan, saling berbenturan.
Dia acuh, tidak peduli umpatan penumpang lain, bergegas turun setelah menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan lusuh kepada supir. Supir separuh baya itu menajamkan penglihatannya untuk memastikan kalau penumpangnya berhak atas kembalian tiga ribu rupiah.
Angkutan itu pergi, meninggalkan asap knalpot yang tebal. Dia mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir kepulan asap lalu membetulkan letak tas yang menggantung di bahunya. Dia menyeka wajahnya yang berminyak. Lelah. Belakangan aktivitas organisasi kampus sangat padat apalagi sejak program bakti sosial akhir tahun berjalan, dia terpaksa bolak-balik Inderalaya-Palembang hanya untuk mengikuti berbagai kegiatan pencarian dana.
Tadi selepas mengunjungi beberapa kantor, mengajukan proposal, teman-temannya  mengusulkan agar dia menginap saja. Mereka berencana menghabiskan semalam suntuk dengan berkaraoke bersama. Dia menolak ajakan itu dan memilih pulang karena besok kebagian tugas menjadi organis di kebaktian minggu pagi.
Tapi lorong di hadapannya kini terlihat menakutkan. Tidak ada apa-apa selain gelap. Suara jangkrik yang sahut-sahutan semacam latar, membuat ngeri. Tiba-tiba dia menyesal karena tidak mengikuti ajakan teman-temannya tadi. Ah, seandainya tidak ada kecelakaan, gantian dia mengeluhkan peristiwa di tengah perjalanan tadi, tentu jalan tidak akan macet, dan dia bisa tiba di kos sebelum hari gelap.
Dia salah memilih tempat kos. Seharusnya dulu ketika masuk kampus ini, dia memilih tempat yang lebih strategis. Misalnya di tepi jalan besar yang ramai. Tapi di mana? Rata-rata tempat kos-kosan di sini berada di pedalaman, meski pun letaknya dekat dengan kampus. Di tepi jalan malah hanya ada ilalang dan tanaman yang tumbuh liar. Sekilas bila dilihat, daerah ini mirip hutan.
Sebenarnya jarak kos-kosannya tidak jauh dari kampus. Bila sedang rajin atau kehabisan uang bulanan--dan biasanya itu terjadi hampir tiap akhir bulan—akan ditempuhnya dengan berjalan kaki. Dia termasuk perempuan yang tidak meributkan masalah warna kulit yang berubah gelap karena berlama-lama tertimpa cahaya matahari. Tapi dalam kondisi seperti ini, dia benar-benar tidak bisa bergerak kemana-mana.
            Semestinya aku menunggu Doni selesai rapat, dan pulang bersamanya. Dia menyesal karena tidak menerima usul Doni saat akan pulang tadi. Tapi dia tahu, sebagai ketua organisasi Mapala, Doni sangat sibuk. Rapat bisa sampai larut malam, dan kemungkinan mereka akan menginap di sekret Mapala.
Lima belas menit berlalu tapi dia masih terpaku, tak beranjak, memandang lorong itu dengan gelisah. Jantungnya berdegup kencang, napasnya menjadi tidak teratur, dan kedua kakinya terasa kaku. Dalam hati dia mentertawakan diri sendiri. Sangat konyol.
Sebenarnya kosnya tidak terlalu jauh ke dalam, hanya beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri sekarang. Tapi di sekelilingnya sangat gelap. Lampu di depan lorong ini juga sudah lama padam. Dia tidak tahu persis kapan karena semenjak kedatangannya dua tahun lalu, lampu itu sudah akrab dengan gelap.
Tak sampai 10 meter melangkah, akan dijumpai kos-kosan elit. Komplek itu selalu sepi pada hari sabtu dan minggu. Sebagian besar penyewanya yang berasal dari kota Palembang lebih memilih pulang. Sebenarnya kompleks kos itu tidak begitu mewah, hanya karena dikelilingi pagar besi yang rendah, lalu tersedia gen set, pompa air, dan perabot, kos-kosan itu disebut elit. Wajar, bagi mahasiswa perantauan sepertinya, mengeluarkan uang empat juta rupiah  per tahun terasa sangat memberatkan. Itu sebabnya tidak semua petak-petak kamar terisi, membuat komplek semakin sunyi dan gelap gulita.
Setelah komplek itu, berjalan sedikit maka akan dilewati tanah yang hanya ditumbuhi batang ubi, lalu puing-puing bangunan yang dikelilingi semak belukar. Menurut cerita penduduk setempat, rumah itu terbakar saat terjadi insiden kerusuhan, dan pemiliknya pergi entah kemana.
Sebelum berbelok ke arah kanan menuju kosnya, ada warung Bu Dedek. Hampir semua maha siswa yang kos di sekitaran daerah ini makan di situ, selain karena lebih murah juga bisa bon pas akhir bulan. Sampai di situ, dia bisa sedikit tenang karena jam segini warung itu cukup ramai. Dia akan singgah, mengambil rantang makan malamnya lalu mengobrol sebentar dengan teman-teman yang sedang makan sambil menyimak obrolan seru perihal tayangan di televisi. Mungkin dia akan bertemu dengan Siska dan Tom, atau teman lain yang pulang searah dengannya. Dia akan bergabung dengan pembeli yang berkelompok, sibuk mengomentari tayangan televisi. Saling berkomentar mengenai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak becus menangani masalah negara. Di tempat ini sering terlihat beberapa mahasiswa bergerombol, serius membicarakan sesuatu. Dia tidak tahu persis membahas apa, dan memilih untuk tidak mau tahu. Idealismenya masih seharga keringat orang tua di kampung.
Setelah berbelok ke arah kanan, berjalan beberapa langkah lagi, dia akan sampai di kamar kosnya. Bukan jarak yang jauh. Dia bisa saja berlari, menghiraukan sekeliling dan tak berapa lama tiba di kos. Mandi lalu beristirahat. Tapi nyatanya dia masih mematung, tak kemana-mana.
Apa sebaiknya aku menelepon Doni? Tapi buat apa? Dia masih rapat. Seandainya dia bisa pulang sekarang, dia mesti menunggu di tempat ini selama satu jam lebih. Itu pun kalau truk yang kecelakaan tadi sudah ditarik sama mobil Derek sehingga jalanan normal kembali. Tapi dia tidak yakin akan hal itu. Lagipula menunggu satu jam di tempat ini juga bukan pilihan yang baik. Tempat ini sepi, kendaraan yang lewat hanya satu-satu, sementara lampu dari gerbang kampus tidak sanggup menerangi hingga ke tempatnya berdiri saat ini.
Dia melihat sekeliling, toko kelontong Pak Maman telah tutup. Hujan tadi sore membuat ia lebih memilih menikmati siaran televisi atau bersantap makan malam bersama keluarga ketimbang menunggu tokonya yang sunyi. Akhir bulan, para mahasiswa sebisa mungkin menekan pengeluaran.
Dia melirik jam tangannya lagi. Gelisah. Ponsel dalam saku diambilnya. Dia tidak mungkin selamanya berada di tempat ini.
Dia menekan-nekan tombol ponsel sambil melangkah, cepat-cepat. Sebenarnya cahaya ponsel tidak cukup mengusir gelap, tapi dia terus melangkah. Keringat dingin deras mengucur. Dia tidak bisa menghitung detak jantungnya sendiri lagi. Tiba-tiba peristiwa seminggu lalu melintas di kepalanya. Kak Mei, seniornya dirampok beberapa orang tak dikenal saat melewati lorong ini. Tasnya direbut paksa. Dompet dan ponselnya raib. Mereka keluar dari semak-semak. Kata kak Mei, mereka bersenjata tajam.
Langkahnya semakin panjang, dan cepat-cepat.
Beberapa meter melangkah, dia melihat pendaran cahaya lampu. Pasti dari komplek kos-kosan elit itu. Tapi bukankah setiap akhir pekan selalu sunyi? Dia sedikit merasa lega.
Lamat-lamat terdengar petikan gitar yang patah-patah. Dia memperlambat langkah, takut menarik perhatian si pemetik gitar itu. Petikan gitar kian terdengar jelas.
Lagu itu sangat akrab di telinganya, meski masih dinyanyikan setengah-setengah. Mungkin orang itu sedang mengepaskan antara suara dan petikan gitarnya. Suaranya serak, permainan gitarnya juga tidak begitu piawai (dibandingkan dengan Doni yang dijuluki master of guitar oleh teman-temannya).
Dia berhenti, berdiri tak jauh dari pintu pagar kos elit itu. Tanpa sadar dia tersenyum, teringat masa-masa di awal semester dulu. Saat Doni nekat tampil ke muka dalam acara penutupan orientasi maha siswa baru. Dia memetik gitarnya sebentar sebagai pembuka, lalu menyampaikan tujuannya berdiri di pentas.
“Lagu ini khusus buat Gina, Mahadewiku.”
Semua bersuit-suit. Ada yang tepuk tangan bahkan menyorakinya. Mukanya mendadak merah, tapi dia tidak bisa protes. Sebagai junior yang belum dibabtis, dia mesti patuh kalau mau selamat sampai acara ini usai. Dia menghentak-hentakkan kaki karena kesal.
Tapi ulah seniornya itu makin menjadi-jadi. Tangannya ditarik untuk maju ke depan. Siulan makin ramai. Dia ingin menangis saat itu.
Lantunan lagu itu kian mengayun di udara. Dia terhanyut. Meski serak, tapi orang itu bernyanyi dengan penuh penjiwaan. Sejenak ia terlupa dengan ketakutannya. Dia membayangkan Doni sedang berada di hadapannya, memetik gitar dan menyanyikan lagu itu dengan mata terpejam.
Sudah lama sekali, dan dia sangat merindukan saat-saat itu kembali. Ah, tiba-tiba dia rindu suara kekasihnya, petikan gitarnya, kerlingan jahilnya, juga matanya yang terpejam saat menyanyikan lagu ini.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dia terkesiap. Suara petikan gitar juga berhenti. Dia bergegas melangkah sebelum si pemetik gitar menyadari keberadaannya. Langkahnya cepat-cepat. Di depan sudah terlihat warung Bu Deden.
Ponselnya sudah tidak berbunyi lagi.
Dia singgah di warung Bu Deden, menyapa perempuan berumur itu dengan ramah, juga beberapa temannya yang sedang makan.
            Di kejauhan, suara petikan gitar itu terdengar kembali, mengayun di udara.


2 komentar:

Swallow Learn To Fly mengatakan...

hooo cerita hororr tho.

Kata orang, lima kalimat pertama itu penuntun jalan orang ketika membaca sebuah kisahan. Lima kalimat pertama itu yang menentukan apakah tulisan tersebut akan terus dibaca atau diabaikan. :D

Fairynee mengatakan...

Dan kelima kalimat pertama itu yang sangat susah ditemukan, mbaknya....
Ini lagi proses mencariii, hehehehhee....

Posting Komentar