9.15.2010 | By: Fairynee

BERTEMU IBU

“Aku ingin membuat bintang dan mengumpulkannya di kotak ini. Kata suster Maria, kotak ini adalah kotak ajaib yang akan memenuhi permintaan bila diisi dengan bintang, ” tutur gadis kecil itu dengan polos. Tangannya sibuk menggunting sedotan-sedotan lalu memilin-milinnya dengan cekatan. Tak berapa lama kemudian, sebuah bintang pun terbentuk. Dia menaruh bintang itu dalam kotak kayu tua berwarna kecokelatan yang diberikan perempuan berusia 30 tahun yang dipanggilnya suster Maria.

“Bila kotak ini penuh, aku akan mengajukan sebuah permintaan. Aku ingin bertemu mama,” ujarnya lagi sambil menyebutkan permohonan. Aku terenyuh. Kasihan sekali Irene, gumanku, miris. Aku memperhatikannya lagi, dia masih memilin-milin sedotan-sedotan lalu mengisi kotak kayu itu dengan sebuah bintang.

Ah, aku ingat. Sejak peristiwa naas setahun silam, Irene menjadi pendiam. Dia serupa mayat berjalan, tak mau makan, tak mau bermain bahkan tak mau keluar dari bangsal asrama. Dia cuma terpekur dan memandang selembar foto yang dipajang di atas meja, di sisi ranjangnya. Bila malam menjelang, mimpi buruk senantiasa menyergap dan dia terbangun dengan napas tersengal, keringat mengucur juga pekik menyayat hati.

“Irene, jangan menangis lagi. Mama sudah tenang di Surga. Ssshh…” bisik suster Maria. Dia senantiasa menenangkan Irene saat gadis kecil itu menangis dalam ketakutan. Dia memeluk dan membelai rambut ikal Irene yang sesegukan dalam ceracau lirih.

Aku akui, kehadiran suster Maria sejak 4 bulan yang lalu telah mengubah Irene. Suster itu telah memberi semangat dengan mengajarkan sesuatu yang bernama mimpi dan harapan pada Irene, memeluk Irene yang terpekik kala mimpi buruk menghantui. dan mendongengkan banyak cerita termasuk cerita tentang kotak kayu ajaib itu. Sebenarnya aku ingin protes karena menurutku dia sedang berdusta, tapi memang tak bisa dipungkiri kalau cerita bintang dan kotak ajaib telah memercikkan semangat di mata Irene.

“Irene merindukan mama, suster. Irene rindu mama.” Isak Irene. Wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Malam ini dia kembali bermimpi tentang peristiwa setahun silam.

“Ssshh… Tuhan tahu koq kalo Irene merindukan mama. Sekarang Irene berdoa dan bilang pada Tuhan kalau Irene merindukan mama.”

“Apa Tuhan akan mendengarkan doa Irene, suster?’

“Tentu saja, sayang. Kan Tuhan sayang sama Irene.”

“Sama mama juga?" Suter Maria mengangguk. Irene menurut. Dia melipat kedua tangannya lalu menunduk, takzim. Lamat-lamat terdengar pengaduan yang begitu sendu.

“Tuhan yang baik, Irene merindukan mama. Tolong sampaikan pada mama kalau Irene menyayanginya. Jaga mama yah Tuhan. Jangan biarkan mama bersedih. Amin” Setelah itu suster Maria membimbingnya berbaring dan membentangkan sehelai selimut.

“Selamat malam, sayang.” Sebuah kecupan lembut mengiringi senyum Irene yang mulai larut dalam lelap.

***

Siang itu,
Seorang perempuan berparas cantik keluar dari mobil mewah yang berhenti tepat di seberang asrama yayasan Charitas. Sebentar-sebentar dia celingak-celinguk ke arah gerbang, seperti sedang mencari seseorang. Aku bisa melihat rona kerinduan di wajahnya. Ah, kerinduan itu pun menggeliat dalam mataku. Sungguh aku terenyuh saat mengetahui kalau rindu itu takkan pernah berlabuh.

Mengapa harus dengan cara itu? Aku sempat mempertanyakannya tapi aku juga tahu bila aku tak berhak protes. Aku hanya bisa mengamati dari jauh. Aku menoleh pada sosok yang berdiri di sampingku. Dia menggenggam sebuah kitab dan nama Inez-nama perempuan itu-tertera di sana.



Teng! Teng! Teng!

Bunyi lonceng sekolah pertanda jam belajar telah usai. Wajah Inez sumringah. Dia ingin segera menyeberang dan menyongsong seseorang yang akan muncul dari gerbang itu.  Tapi urung karena lalu lalang kendaraan yang begitu padat.

“Mama!!!”

Seraut wajah menyembul dari balik pagar. Gadis kecil berusia 6 tahun dengan seragam putih merah melambai padanya, dia membalas sembari memberi isyarat: biar mama yang ke sana, sayang. Gadis kecil itu mengangguk.

Aku menarik napas. Aku tahu, sebentar lagi semuanya akan selesai. Aku mengangkat tangan dan menutup pandanganku. Lalu….

Brakk!!!

Sebuah jeep yang melaju dengan kecepatan tinggi menerjang tubuh Inez. Dia sama sekali tak menyangka kalau Jeep itu akan muncul karena sebelumnya dia sangat yakin suasana sudah cukup lengang.

Tubuh Inez melayang ke udara, sedetik kemudian membentur aspal. Terdengar teriakan nyaring-memilu-menyayat hati dari arah gerbang. Gadis kecil itu menghampiri Inez yang terbaring dengan lumuran darah. Tak bergeming.

“Maammmmaaaaa!!!!”

“Mmmmaaaaammmmmaaaaa!!!!”

Semua orang berkerumun.

Aku menoleh pada sosok itu tapi dia sudah tak ada di sampingku lagi. Aku hanya bisa terpaku tanpa bisa melakukan apapun. Tak ada!
***

“Sayang, sudah larut malam, sebaiknya Irene istirahat dulu, besok dilanjutkan lagi, “ nasehat Suster Maria pada Irene. Jam yang bertengger di atas kusen pintu bangsal telah mengarah ke angka 11. Irene menggeleng pelan, tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk memilin dan membuat bintang.

“Aku harus menyelesaikannya, suster. Kotak ini sudah hampir penuh.”

Suster membelai rambut ikal kemerahan Irene dan berujar, “Besok saja dilanjutkan. Nanti kalau sakit, Irene tak bisa mengajukan permintaan.”

Irene menoleh sebentar, memandang ke arah suster Maria seolah bertanya, Benarkah? Suster Maria mengangguk.
Aku memandang suster itu.

Setelah Irene berhasil memenuhi kotak kayu itu, lalu apa? Bagaimana kamu memenuhi keinginan Irene? Apa kamu akan membuat kebohongan yang lain lagi? Ah, pasti Irene akan kecewa begitu tahu kalau cerita itu omong kosong belaka. Aku benar-benar tak suka. Ini benar-benar konyol. Tapi aneh. Aku tak menemukan kekhawatiran di wajah itu. Dia tersenyum melihat kegigihan Irene, seolah-olah dia pun percaya bila kotak kayu itu telah dipenuhi bintang-bintang maka keajaiban akan terjadi.

“Irene, sebelum tidur kita berdoa dulu. Kita minta pada Tuhan agar berkenan memberi keajaiban.” ajak suster Maria, mengambil posisi bertelut di sisi ranjang. Irene menirunya. Mereka melipat tangan lalu mengalunlah selirik doa.

Aku melihat segiris senyum mengiringi tidur Irene. Dia memandang wajah polos yang telah terpulas. Sungguh anak yang luar biasa, gumannya.

Aku pun menatap Irene dengan sendu.

***

“Ibu harap kalian mengerjakannya. Tugas itu akan dikumpulkan setelah musim liburan berakhir. Selamat berlibur, anak-anak.”

Selamat siang, bu guru…” Seruan serentak dari kelas 1 SD Charitas. Panjang.

“Selamat siang, anak-anak.”

Teng-teng-teng-teng….

Bunyi lonceng sekolah. Wajah-wajah mungil itu sumringah. Mereka menghambur keluar, Di antara gerombolan itu, tampak sosok anak perempuan dengan rambut dikuncir dan diberi pita merah muda. Dia berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah.

“Mama!!!” dia melambai begitu melihat sesosok perempuan di seberang jalan. Mamanya membalas sambil memberi isyarat: Biar mama yang ke sana, sayang. Dia mengangguk dan menunggu dengan sabar. Minggu lalu dia tak dijemput karena pekerjaan sebagai konsulat menuntut mama untuk senantiasa bepergian. Sementara Irene tak punya siapa-siapa lagi bahkan dia tak pernah mengenal wajah papanya. Kata mama, Papa sudah di Surga ketika Irene berusia 6 bulan.
Rindu kian menggeliat-geliat ketika dia melihat mama menyeberangi jalan yang telah lengang. Tapi,

“Brakkk!!!”

 “Maaaaammmmmmmmmaaaaaaaaaaa!!!”



Irene tersentak. Keringat mengucur deras, tenggorokannya sakit, dan air mata menggenang sementara sekelilingnya gelap. Pekat.

Dia ketakutan. Tiba-tiba,

Wushh….

Seberkas sinar muncul dari dalam kotak kayu yang diletakkan suster Maria di atas lemari. Sinar itu menyeruak dan berpendar di setiap sudut bangsal. Irene terpana, takjub. Dia pun lupa akan ketakutannya tadi. Dia mengucek mata, berkali-kali sambil melihat sekeliling. Benarkah? Erika dan Kanya masih terlelap, berarti cuma dia yang melihat keajaiban ini.

Irene menahan napas. Cahaya itu mulai mengumpul dan perlahan-lahan membentuk sesosok raut yang tak asing dalam matanya.

“Mama?”

Sosok bergaun putih-panjang bersayap-itu tersenyum. Dia membentangkan tangan. Irene segera beringsut dari ranjangnya dan membenamkan diri dalam pelukan sosok yang begitu dirindukannya itu.

“Mama, Irene rindu,” desisnya. Air matanya jatuh. Mama berjongkok. Dia menghapus air mata Irene.

“Irene jangan bersedih lagi. Tuhan menjaga mama dengan baik dan akan menjaga Irene juga. Irene tak boleh menangis. Irene harus menjadi anak kuat yang kelak membuat mama bangga.” Irene mengangguk pelan sambil berjanji dalam hati ‘tuk tidak menangis. Dia kembali membenamkan diri dalam pelukan mama. Erat.

“Irene sayang mama.”

“Mama juga sayang Irene.”

Lalu sinar itu menghilang, pun sosok yang memeluk Irene. Suasana kembali senyap. Gelap. Irene masih dalam posisi memeluk.

“Irene, jangan menangis, sayang.” Tiba-tiba suara suster Maria memenuhi telinga Irene.  Suster cantik dengan senyum sangat cantik membias dalam matanya. Suster? Irene memandang sosok itu lalu memeluknya lagi.

***

Sepuluh tahun kemudian,

“Mama!! Aku berhasil! Aku berhasil mendapatkan beasiswa itu” Irene menghambur dalam pelukan seorang wanita berbaju putih sambil menunjukkan surat yang menyatakan dia berhak melanjutkan pendidikan ke Inggris. Suster Maria tersenyum. Dia mencium Irene dengan air mata berlinang.

“Iya, sayang. Kamu berhasil,”

Aku merasakan bau haru memenuhi udara, memerih mata. Aku menoleh ke sebelah, seorang dengan sayap bidadari tersenyum. Air matanya mengucur.

“Aku bersyukur karena Irene menemukan seseorang yang begitu mengasihinya.” Lalu dia memandangku.
“Kamu tahu, aku tak pernah menyesali kematian. Ada pelajaran berharga untuk semua yang terjadi. Kita patut bangga karena Irene berhasil menemukan hal berharga itu.” Kali ini aku tak mengimbuh apapun. Hal itu benar dan aku bangga pada Irene.

Aku menggenggam jemari Ines, istriku, mama Irene. Dia tersenyum. Aku tersenyum, memandang ke arah Irene. Kami akan selalu menjagamu, sayang, bisik kami.

Samar-samar aku menangkap suara lirih Suster Maria di antara isak bahagia.

“Terima kasih, Tuhan karena telah menyempurnakan diriku dan memberiku kesempatan menjadi Ibu.”



========================================================================
Note: Bisa dibaca juga di KOMPAS ONLINE

0 komentar:

Posting Komentar