Maaf, hanya ingin mengembalikan sorot matamu yang tersangkut di hatiku
saat kita bersitatap tadi, tanpa sengaja
MELANKOLIA PAGI YANG ENTAH (2)
Selesai sudah,
tak perlu menggantung tanya di kaca jendela kamarku
seperti aku yang membuang tanya itu ke liang lahat
tepat saat kususut air mata terakhir
bahkan embunembun di pepucuk dedaunan pun bermakna
walau adanya mungkin untuk disapu terik yang perlahan meninggi.
pun bening yang pernah jatuh, ingatkanku
waktu terbuang demi sesuatu yang entah sejak mulanya.
Sudahlah, lalu memang lebih layak dikenang
percayalah, kelak, kita akan membicarakannya kembali di beranda rumahku
sebagai jejakjejak yang sekarang pun aku tak tahu,
pantaskah disebut kesalahan?
Besok, aku mau belajar merindu lagi.
tak perlu menggantung tanya di kaca jendela kamarku
seperti aku yang membuang tanya itu ke liang lahat
tepat saat kususut air mata terakhir
bahkan embunembun di pepucuk dedaunan pun bermakna
walau adanya mungkin untuk disapu terik yang perlahan meninggi.
pun bening yang pernah jatuh, ingatkanku
waktu terbuang demi sesuatu yang entah sejak mulanya.
Sudahlah, lalu memang lebih layak dikenang
percayalah, kelak, kita akan membicarakannya kembali di beranda rumahku
sebagai jejakjejak yang sekarang pun aku tak tahu,
pantaskah disebut kesalahan?
Besok, aku mau belajar merindu lagi.
SEPENGGAL SAJAK TENTANG JATUH
Pagi ini kau ajakku menyanyi dalam sunyi
tentang embun, tersangkut di ketiak randu yang rindang
tersilap terik yang sepertinya sungkan menggagahi langit.
Berhubung aku tidak begitu akrab dengan nada, dan kau juga
.pasti tak mau menggugah amuk kucing yang asyik mendengkur di kolong meja
bagaimana kalau kita puisikan saja
rindu di lentik matamu itu.
setuju?
MELANKOLIA PAGI YANG ENTAH
Hujan pagi ini aku sambut dengan tarian
setelah semalaman aku meringkuk di sudut sunyi yang enggan menepi
lalu getir yang mencekik kularung dalam secangkir kopi
kusesap hingga tandas
seperti adamu yang perlahan luruh dari prasasti ingatan.
Kutera sepakat di atas darah
disaksi bulan yang mengaku masih waras
dan sepasang burung hantu yang mengintip dari balik jendela
takdir telah menulikan telinga. tak guna meratapi entah.
Bilapun kenangan sesekali rindu bertandang.kelak
kusambut dengan sepotong senyum. mungkin sedikit berbasa-basi
bercengkerama tentang lalu
sebab luka telah kutaruh di meja perjamuan bernama waktu.
aku benci berpura-pura kuat, tapi
aku lebih benci terlihat lemah di matamu.
setelah semalaman aku meringkuk di sudut sunyi yang enggan menepi
lalu getir yang mencekik kularung dalam secangkir kopi
kusesap hingga tandas
seperti adamu yang perlahan luruh dari prasasti ingatan.
Kutera sepakat di atas darah
disaksi bulan yang mengaku masih waras
dan sepasang burung hantu yang mengintip dari balik jendela
takdir telah menulikan telinga. tak guna meratapi entah.
Bilapun kenangan sesekali rindu bertandang.kelak
kusambut dengan sepotong senyum. mungkin sedikit berbasa-basi
bercengkerama tentang lalu
sebab luka telah kutaruh di meja perjamuan bernama waktu.
aku benci berpura-pura kuat, tapi
aku lebih benci terlihat lemah di matamu.
PAGI YANG MELANKOLIS

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
NB: Menjelang ualng tahun mama, rinduku kian terpasung waktu.
Langganan:
Postingan (Atom)