6.26.2011 | By: Fairynee

Day 02: Romantisme dalam Paradoks

Meskipun suka membaca, namun untuk mengulang bacaan bahkan sampai 3 kali itu di luar kebiasaanku. Wajar saja, setiap kali selesai membaca, aku terkadang lupa akan esensi dari suatu bacaan, apalagi bila tidak sesuai dengan “selera”ku yang memang aneh, bisa dipastikan, begitu lembar terakhir ditutup, saat itu juga aku akan lupa.

Tapi ada beberapa buku yang menurutku sangat menarik, bahkan meski dibaca berulang-ulang, aku masih merasakan euphoria yang sama ketika selesai membaca buku itu pertama kali, salah satunya Hujan bulan Juni.

Puisi yang paling berkesan dalam buku ini adalah Aku ingin dan Hujan bulan Juni yang juga menjadi Judul buku. Ada romantisme yang terasa dalam kesederhanaan bahasanya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1994.


Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu

Aku ingin mecintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sapardi Djoko Damono, (1989)



Dalam sajak Hujan bulan Juni kita temukan suatu hal yang paradoks (tapi paradoks yang memikat menurutku) karena seyogyanya bulan juni bukan termasuk musim penghujan. Demikian juga dalam sajak Aku ingin, kita menemukan hal yang kontradiksi kembali, api dan kayu, lalu awan dan hujan.  Lewat kata-kata bersahaja itu, kita menemukan pengalaman lebih saat membacanya, ketulusan yang ingin diungkapkan terasa sangat begitu sederhana, tidak perlu kata-kata yang berbunga-bunga.

Namun ada pula yang menganggap kesederhanaannya sebagai kemiskinan kata. Kosakata yang digunakan dalam rentang waktu 40 tahun karyanya dinilai terbatas. "Miskin itu relatif. Tapi Sapardi mengulang-ulang," kata kritikus sastra Nirwan Dewanto.


0 komentar:

Posting Komentar