7.11.2011 | By: Fairynee

DAY 07: UCAPAN

Hari ini ulang tahunmu.
Aku ingin memberikan sesuatu sebagai penyerta ucapan selamat padamu, tentu saja bukan air mata, karena sudah bukan waktunya lagi. Mungkin sebait doa untuk keselamatanmu atau memberikan salah satu dari cendera mata yang kubawa sebagai oleh-oleh saat ditunjuk mewakili perusahaan  dalam seminar di Singapura kemarin. Gantungan kunci berbentuk kepala singa atau mungkin gelas mug bergambar bendera kebangsaan Manchester United, tim sepak bola favouritemu. Aku sudah memikirkannya sejak semalam.
Tapi aku urung melakukannya, padahal sejak pagi aku sudah meletakkan bungkusan itu di atas meja kerjaku, di samping monitor komputer, sambil meyakinkan diri untuk melangkah, dan bergabung dengan teman-teman lain yang berkerumun di meja kerjamu. Mereka terlihat heboh menyelamatimu sembari menagih traktiran selepas jam kantor. Kau cuma tertawa. Dalam hati aku bertanya-tanya, Apa kau juga akan mengajakku?
Aku jadi teringat setahun yang lalu, pada tanggal yang sama. Kita merayakan ulang tahunmu bersama-sama. Perbedaan tanggal lahir yang cuma berselang dua hari memunculkan ide patungan untuk mentraktir rekan sekantor yang jumlahnya bisa menghabiskan hampir separuh gaji. Belum lagi kalau mereka mengajak karaokean, bisa dipastikan selama sisa bulan ke depannya kita diharuskan untuk mengencangkan ikat pinggang kalau tidak mau berhutang. Begitulah, entah siapa yang memulai tradisi konyol itu.
Dan sekarang, semua sangat berbeda, berubah 180 derajat. Aku bersyukur karena pada ulang tahun yang kesekian tahun ini, aku masih berada di Singapura. Menghabiskan satu hari terakhir di sana dengan berbelanja di beberapa pusat perbelanjaan yang tersohor. Sekedar menyalurkan salah satu bakat terbesarku yaitu berbelanja sampai over limit, atau lebih tepatnya mengelak dari ingatan-ingatan yang akan menguras air mata. Seharusnya seminar itu diperpanjang tiga hari lagi, dengusku.
“Kamu gak ngucapin selamat, Syel?”
Satu tepukan di bahuku, aku menoleh. Tantri menarik bangku di samping meja kerjaku, lalu memandangku tajam. Dia tahu persis apa yang sedang kupikirkan sekarang. Matanya terarah ke bungkusan yang ada di mejaku.
Aku gelagapan.
“Eh, ini oleh-oleh dari Singapura, Tan.”
Tantri menepis bungkusan itu.
“Sudahlah. Teman-teman yang lain saja sudah kebagian oleh-oleh dari kemarin. Tidak mungkin aku terlewatkan padahal aku yang menjemputmu di bandara. Aku pikir, stiletto Gucci lebih dari cukup.”
Aku menghela napas. Menggerakkan mouse yang tidak lucu dengan sembarangan sambil memandang layar monitor. Tantri menggeser bangku lebih dekat lagi. Dia mencari mataku yang mulai terasa berat. Ingin sekali aku mengatakan kalau saat ini sedang tidak ingin mendengar komentar apa-apa.
“Kamu tahu apa yang harus  kamu lakukan,” ucapnya setelah jeda lima menit. Dia bangkit, mengembalikan kursi ke posisi semula, lalu beranjak pergi, ikut bergabung dengan kerumunan itu. Aku menggerakkan kepala, mengikuti ketuk langkahnya, hingga berhenti di meja itu. Kerumunan belum berkurang, mereka terlihat merundingkan sesuatu.
Kenapa harus begini?
Aku tidak tahu bagaimana menyikapinya. Terkadang aku berpikir, untuk keluar dari kantor ini dan menjauh darimu, mungkin segalanya akan lebih mudah. Tapi aku sangat menyukai pekerjaan ini, meski tiap hari dikejar-kejar deadline yang memusingkan kepala. Pekerjaan ini hidupku, seperti dirimu yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi bila aku keluar. Setelah separuh hidupku mati sejak peristiwa itu, lalu aku diharuskan kehilangan pekerjaan ini juga, mungkin hidupku akan berakhir.
Tapi berada di tempat ini juga sama menyiksanya. Setiap saat aku diharuskan melihatmu, setidaknya berpapasan di lift, di pantry, di kantin, atau bersitatap saat berada dalam satu ruang rapat. Mau tidak mau, aku juga mesti berhubungan langsung denganmu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang diserahkan Pak Dewa. Aku sudah berusaha keras untuk lebih professional, mengesampingkan perasaan saat bekerja. Tapi aku juga manusia biasa yang kadang jatuh dalam melodrama menyedihkan yang kuciptakan sendiri.
Kalau boleh meminta, aku ingin waktu berputar dan kembali ke masa lalu. Saat-saat di mana aku dan kamu begitu dekat. Saling berbagi banyak hal karena kita merasa memiliki banyak kesamaan. Mungkin faktor zodiak yang sama, ujarmu asal menganalisis, dan aku menimpali dengan tawa lebar, tepatnya mentertawakan dugaan konyolmu. Aku tidak pernah percaya zodiak atau ramalan-ramalan sejenisnya, dan kau tahu persis itu.
Ah, seharusnya sebelum kita terlibat dalam perasaan-perasaan, kita membuat kesepakatan terlebih dahulu, sebagai bentuk antisipasi bila kondisi menjadi pelik seperti ini. Semacam perjanjian, siapa yang musti menjauh atau dijauhi.
Aku merasakan denyut menyakitkan di dada sebelah kiri. Kantung mataku kian berat. Aku mengambil bungkusan itu, membuka laci meja, lalu melemparnya ke dalam. Aku pikir, ini semua terlalu berlebihan. Kau pasti sudah mendapat kado yang lebih istimewa ketimbang benda ini. Dari seseorang yang telah membuat segalanya menjadi berbeda. Tidak, aku tidak akan menyalahkannya, karena aku bisa melihat betapa kau sangat bahagia saat ini. Cuma aku yang tenggelam dalam getir ini. Ucapan selamat dan sebaris doa, aku pikir sudah cukup.
Bergegas aku menarik tisu, membersihkan wajah, siapa tahu ada titik-titik air yang tak bisa kutahan. Aku sudah memutuskan untuk menghampirimu, lalu mengucapkan selamat ulang tahun. Sebagai rekan kerja tentu saja. Tidak lebih. Tidak ada kado konyol dan tentu saja air mata.
Setelah memastikan kalau wajahku tidak menyiratkan kegelisahan apa-apa, aku bangkit, merapikan kemeja dan rok yang kukenakan. Terakhir, menarik napas cukup dalam lalu menghembuskannya dengan cepat.
Tapi aku urung melangkah saat melihat kau berjalan menuju ke arahku dengan segaris senyum.
“Syel, kamu ikut kan, acara nanti malam. Di Happy Puppy yah.”
             Aku mengangguk. Lupa mengucapkan selamat ulang tahun seperti yang kurencanakan barusan.
             Waktu berhenti seketika.

0 komentar:

Posting Komentar